Pertemuan tingkat tinggi G20 ini melahirkan sebuah komunike atau kesepakatan bersama “G20 Leaders’ declaration Building consensus for fair and sustainable development” yang terdiri dari 31 butir kesepakatan. Selain itu, dihasilkan pula 11 persetujuan di tingkat kementerian dan 20 dokumen kelompok kerja. Khusus pembahasan permasalahan anak usia dini masuk kedalam isu Pembangunan berkelanjutan.
Para pemimpin dunia menekankan pentingnya pengembangan anak usia dini sebagai salah satu prioritas. Mereka meluncurkan Initiative for Early Childhood Development (ECD) yang bertujuan meningkatkan akses terhadap layanan pendidikan dan perawatan anak usia dini yang berkualitas. Inisiatif ini menyoroti perlunya pendekatan holistik yang mencakup aspek kesehatan, gizi, pendidikan, dan perlindungan anak.
Hal yang menjadi G20 inisiatif salah satunya di poin ke 8 yaitu “bertekad untuk berkontribusi dalam memastikan bahwa semua anak – dengan penekanan pada 1.000 hari pertama kehidupan mereka memperoleh gizi dan kesehatan yang baik, menerima perawatan, stimulasi dan kesempatan yang tepat untuk pembelajaran dan pendidikan dini dan tumbuh dalam lingkungan yang baik” juga di poin ke 11 “menekankan pentingnya gizi yang baik sejak dini dalam kehidupan seorang anak, dan bahkan sebelum kelahiran melalui peningkatan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan, yang menjamin dasar bagi perkembangan otak dan tubuh anak. Kami juga menekankan pentingnya pemberian ASI sebagai sarana penting untuk menjamin keamanan pangan dan gizi bagi bayi. Kami tetap prihatin bahwa akibat kekurangan gizi.”
Realitas Masalah Gizi Anak di Indonesia
Namun, setelah enam tahun berlalu dari kesepakatan di atas, laporan terbaru menunjukkan bahwa realitas di lapangan jauh dari harapan. Masalah kekurangan gizi, khususnya pada anak usia dini di Indonesia masih menjadi tantangan serius.
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting—kondisi di mana anak mengalami pertumbuhan yang terhambat akibat kekurangan gizi kronis—berada pada angka 21,6%. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan sebesar 2,8% dari tahun sebelumnya, target penurunan stunting menjadi 14% pada tahun 2024 masih memerlukan upaya yang signifikan.
Selain stunting, masalah gizi lain seperti wasting (berat badan rendah untuk tinggi badan) dan underweight (berat badan kurang) justru mengalami peningkatan. Data SSGI 2022 menunjukkan bahwa prevalensi wasting naik dari 7,1% pada tahun 2021 menjadi 7,7% pada tahun 2022, sementara underweight meningkat dari 17,0% menjadi 17,1% pada periode yang sama.
Kekurangan gizi pada anak usia dini dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, termasuk gangguan perkembangan kognitif, peningkatan risiko penyakit kronis di kemudian hari, dan penurunan produktivitas.
Oleh karena itu, intervensi yang komprehensif dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini, termasuk melalui program-program yang memastikan akses terhadap makanan bergizi dan edukasi gizi bagi keluarga.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pada tahun 2024 menempatkan isu kemiskinan dan kelaparan sebagai titik fokus di sesi pertama, secara kebetulan dan tepat sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini. Maka dengan hal itu Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmennya di forum KTT G20 untuk mengatasi masalah malnutrisi di Indonesia melalui program "Makan Bergizi Gratis" yang dimulai pada tahun 2025 sekarang ini.
Program MBG dirancang untuk memberikan asupan nutrisi gratis kepada anak-anak dan ibu hamil, dengan tujuan menurunkan angka stunting dan meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.