Pendidikan merupakan tombak peradaban bangsa, banyak yang mengatakan seperti itu. Faktanya tentulah benar, bahwa pendidikan merupakan landasan dari segala hal yang terjadi di dalam dunia ini. Pendidikan dapat kita dapatkan dimana saja, bahkan hanya dalam melalui interaksi sekalipun. Maka dari itu pendidikan tidak dapat dikatakan hanya terpaku pada buku saja. Bahkan menurut KBBI sendiri, pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Dalam perspektif kebudayaan, pendidikan dilihat sebagai transformasi sistem sosial budaya dari satu generasi ke generasi yang lain dalam suatu proses masyarakat. Pendidikan dijelaskan sebagai proses pembudayaan (Tilaar, 2009). Dimana pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan karena ketika berbicara tentang pendidikan, maka kebudayaan turut serta berada di dalamnya.
Maka dari itu tidak ada yang mewajibkan  pendidikan untuk diturunkan melalui buku dan sekolah, setidaknya jika penulis berpacu pada pengertian dari KBBI. Namun bukan berarti penulis menihilkan peran dari kedua instrumen tersebut. Yang dapat penulis tangkap dari pengertian tersebut, pendidikan menunjukan adanya sebuah "proses" dalam diri manusia. Proses untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bermartabat dari sebelumnya.
Baca juga: Uniknya Sistem Penanggalan Adat Suku Baduy di Provinsi Banten
Maka dari itu penulis merasa, untuk menilai seseorang berpendidikan atau bukan, tidak perlu melihat dari seberapa banyak gelar yang ia dapatkan. Namun penilaian yang sesungguhnya terlihat dari proses yang telah ia lakukan sejak ia mendapatkan pendidikan tersebut. Maka instrumen seperti bangunan sekolah dan buku yang tergambarkan melalui pendidikan formal bukanlah menjadi patokan apakah seseorang berpendidikan atau tidak.
Mengenal Suku Baduy
Seperti apa yang telah penulis cukup pelajari dari pendidikan ala Suku Baduy. Suku Baduy sendiri merupakan salah satu suku atau kelompok etnis di Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat Suku Baduy tinggal secara berpindah-pindah (nomaden) di lereng pegunungan Kendeng dan memasuki wilayah Desa Kanekes.
Terdapat stratifikasi yang membagi Suku Baduy kedalam tiga tingkatan, Baduy Tangtu, Baduy Penamping, dan Baduy Dangka. Baduy Tangtu atau Suku Baduy Dalam dapat dikatakan Baduy asli dimana pola kehidupan sehari-hari mereka masih sangat berpegang dengan adat yang berlaku. Mereka menolak masuknya modernisasi dan teknologi dan memilih hidup dengan kesederhanaan sesuai yang diajarkan turun temurun oleh para leluhurnya.
Selanjutnya Baduy Penamping atau Suku Baduy Luar. Berbeda dengan Baduy Dalam, Baduy Luar cukup menerima masuknya teknologi meskipun masih terbatas, namun cenderung lebih longgar dibandingkan Baduy Dalam. Perbedaannya juga terletak pada bagaimana Baduy Luar lebih menerima budaya luar dan orang asing (modernisasi), dibandingkan Baduy Dalam.Â
Terakhir yaitu Baduy Dangka yang berdampingan dengan Baduy Luar. Banyak di antara mereka merupakan pemeluk agama Islam, berbeda dengan Baduy Dalam yang umumnya adalah penganut Sunda Wiwitan atau kepercayaan yang diturunkan dari leluhur mereka.
Perbedaan antara ketiganya begitu terlihat dari warna pakaian mereka dan juga bagaimana pola kehidupan sehari-hari yang mereka jalankan. Ciri khas pakaian masyarakat Baduy Dalam adalah berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Sedangkan Baduy Luar menggunakan Pakaian tenun berwarna serba hitam.Â
Meskipun terdapat perbedaan prinsip dalam ketiga stratifikasi tersebut, namun ketiganya sama-sama menjunjung tinggi serta berpegang teguh pada adat istiadat yang berlaku dan melaksanakan upacara/perayaan yang serupa. Inilah yang membuat Suku Baduy menjadi suku yang begitu indah dimata penulis sendiri.
Baca juga: Kebal Cerai dan Anti-Poligami pada Pernikahan Baduy
Pendidikan ala Suku Baduy
Terlepas dari bagaimana mereka sangat menjunjung tinggi adat istiadat yang telah diturunkan oleh para leluhurnya. Tidak dapat dihindari jika akhirnya akan muncul stereotype bahwa masyarakat adat itu kuno, tradisional, dan anti modernisasi. Namun nilai-nilai yang mereka junjung tinggi tersebut justru disebabkan karena kesederhanaan yang telah mereka rawat bertahun-tahun lamanya. Â Kesederhanaan tersebut membuat masyarakat baduy justru terhindar dari hal-hal yang buruk bagi keberlangsungan sukunya. Sifat tersebut tertanam dalam keseharian masyarakat Baduy, bahkan termasuk dalam hal belajar.
Meskipun anak-anak di Baduy tidak diperbolehkan untuk mengikuti pendidikan formal di sana namun Masyarakat Baduy memiliki prinsip tersendiri dalam menanamkan ilmu kepada penerus selanjutnya. Penulis mendapatkan cerita ini melalui salah satu fasilitator Program Peduli bernama Mas Ridwan. Beliau menceritakan bahwa hanya orang tuanya saja yang berhak mendidik anak-anaknya.
Pendidikan sendiri akhirnya menjadi konotasi yang berbeda dari sudut pandang masyarakat Baduy dan sudut pandang masyarakat pada umumnya. Prinsip mereka, menjadikan anak-anak pintar itu mudah saja, namun yang sulit adalah untuk mencetak mereka menjadi anak yang menjalani hidup dengan benar. Kepintaran tidak selalu dipandang akan menghasilkan hal baik, namun kepintaran juga dapat menimbulkan potensi bagi mereka untuk sombong dan jadi membodoh-bodohi orang.
Akhirnya dampak dari larangan mengikuti pendidikan formal tersebut menjadikan banyak anak-anak Baduy menjadi buta aksara, dimana mereka tidak mengenal angka dan huruf. Segala ilmu yang diberikan oleh orang tuanya (seperti ilmu bercocok tanam, mengumpulkan makanan, dll), maupun tradisi turun temurun dari para leluhur mereka kerap kali disampaikan melalui lisan. Namun strategi yang dilakukan oleh masyarakat Baduy selanjutnya adalah dengan mengajarkan pendidikan aplikatif.
Pendidikan aplikatif itu dimana mereka belajar apa yang memang akan mereka butuhkan dalam kehidupan mereka, tidak seperti pendidikan yang hanya tertuang di dalam buku yang sifatnya cenderung selalu dieja dan kurang memacu daya nalar kritis anak. Misalnya seperti cara pembuatan kompos, dimana pembelajaran berlangsung sambil mempraktekan kegiatan tersebut dan jangan sampai seperti sedang monolog atau ceramah.
Selanjutnya penanganan buta aksara dari masyarakat Baduy sendiri juga dapat ditangani salah satunya dengan cara melalui pendidikan yang aplikatif. Mereka mempelajarinya secara otodidak sesuai apa yang mereka butuhkan. Misalnya, mereka dapat mempelajari huruf melalui kemasan kopi, "yang disebut torabika tuh yang tulisannya kaya gini nih ada huruf t ada huruf o". Semakin sering dilakukan, maka mereka jadi semakin terbiasa dan cenderung hapal bahwa kemasan kopi Torabika itu yang hurufnya seperti ini dan bungkusnya seperti ini. Hal lain juga berlaku seperti itu.
Baca juga: Suku Baduy: Hidup Apa Adanya Salah Satu Cara Terbaik untuk Dekat dengan Tuhan
Indahnya Prinsip Pendidikan ala Suku Baduy
Melalui hal ini, penulis mendapatkan perspektif baru dari sisi keindahan prinsip pendidikan tersebut. stereotype orang-orang yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah orang yang tertinggal dan terbelakang, dapat kita tangkis melalui prinsip pendidikan ini. Â Bahwa mereka memiliki alasan untuk memilih tidak mendapatkan pendidikan formal dan menerima konsekuensinya yakni buta aksara. Yang mereka perjuangkan adalah untuk menjaga nilai-nilai leluhur mereka.
Pendidikan tidak dapat selalu diartikan dengan baik. Proses tersebutlah yang menentukannya. Bagaimana proses tersebut dapat menciptakan output yang baik atau justru sebaliknya kepada masyarakat. Kita melihat banyak fenomena saat ini bahwa pejabat dengan pendidikan tinggi dapat melalukan kejahatan korupsi dan melakukan kerusakan lingkungan secara massal, yang akhirnya justru sangat bertentangan dengan prinsip masyarakat Baduy. Begitu juga dengan masyarakat biasa yang berpendidikan biasa, justru ia dapat menciptakan hal-hal baik di sekitarnya tanpa harus merugikan orang lain.
Jika pendidikan formal yang diberikan kepada masyarakat Baduy justru hanya akan menjauhkan mereka dari tradisi leluhur mereka, lebih baik hal tersebut tidak perlu diberikan. Bukan berarti pendidikan tidak ada artinya di mata masyarakat Baduy, namun pendidikan yang mereka inginkan adalah pendidikan yang dapat membuat mereka tetap melestarikan dan mencintai adat mereka beserta tradisi-tradisinya tersebut.
Daftar Pustaka
- H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 56.
- Hasanah, A. (2012). Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi Atas Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Baduy Banten). Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 12(1), 209-228.
- Salma Qowiyatun, N. (2019). Produksi Ruang Kampung Muslim Cicakal Girang di Tanah Ulayat Baduy (Doctoral dissertation, Universitas Islam Indonesia).
- Wawancara bersama Mas Ridwan selaku fasilitator Masyarakat Suku Baduy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H