Meskipun terdapat perbedaan prinsip dalam ketiga stratifikasi tersebut, namun ketiganya sama-sama menjunjung tinggi serta berpegang teguh pada adat istiadat yang berlaku dan melaksanakan upacara/perayaan yang serupa. Inilah yang membuat Suku Baduy menjadi suku yang begitu indah dimata penulis sendiri.
Baca juga: Kebal Cerai dan Anti-Poligami pada Pernikahan Baduy
Pendidikan ala Suku Baduy
Terlepas dari bagaimana mereka sangat menjunjung tinggi adat istiadat yang telah diturunkan oleh para leluhurnya. Tidak dapat dihindari jika akhirnya akan muncul stereotype bahwa masyarakat adat itu kuno, tradisional, dan anti modernisasi. Namun nilai-nilai yang mereka junjung tinggi tersebut justru disebabkan karena kesederhanaan yang telah mereka rawat bertahun-tahun lamanya. Â Kesederhanaan tersebut membuat masyarakat baduy justru terhindar dari hal-hal yang buruk bagi keberlangsungan sukunya. Sifat tersebut tertanam dalam keseharian masyarakat Baduy, bahkan termasuk dalam hal belajar.
Meskipun anak-anak di Baduy tidak diperbolehkan untuk mengikuti pendidikan formal di sana namun Masyarakat Baduy memiliki prinsip tersendiri dalam menanamkan ilmu kepada penerus selanjutnya. Penulis mendapatkan cerita ini melalui salah satu fasilitator Program Peduli bernama Mas Ridwan. Beliau menceritakan bahwa hanya orang tuanya saja yang berhak mendidik anak-anaknya.
Pendidikan sendiri akhirnya menjadi konotasi yang berbeda dari sudut pandang masyarakat Baduy dan sudut pandang masyarakat pada umumnya. Prinsip mereka, menjadikan anak-anak pintar itu mudah saja, namun yang sulit adalah untuk mencetak mereka menjadi anak yang menjalani hidup dengan benar. Kepintaran tidak selalu dipandang akan menghasilkan hal baik, namun kepintaran juga dapat menimbulkan potensi bagi mereka untuk sombong dan jadi membodoh-bodohi orang.
Akhirnya dampak dari larangan mengikuti pendidikan formal tersebut menjadikan banyak anak-anak Baduy menjadi buta aksara, dimana mereka tidak mengenal angka dan huruf. Segala ilmu yang diberikan oleh orang tuanya (seperti ilmu bercocok tanam, mengumpulkan makanan, dll), maupun tradisi turun temurun dari para leluhur mereka kerap kali disampaikan melalui lisan. Namun strategi yang dilakukan oleh masyarakat Baduy selanjutnya adalah dengan mengajarkan pendidikan aplikatif.
Pendidikan aplikatif itu dimana mereka belajar apa yang memang akan mereka butuhkan dalam kehidupan mereka, tidak seperti pendidikan yang hanya tertuang di dalam buku yang sifatnya cenderung selalu dieja dan kurang memacu daya nalar kritis anak. Misalnya seperti cara pembuatan kompos, dimana pembelajaran berlangsung sambil mempraktekan kegiatan tersebut dan jangan sampai seperti sedang monolog atau ceramah.
Selanjutnya penanganan buta aksara dari masyarakat Baduy sendiri juga dapat ditangani salah satunya dengan cara melalui pendidikan yang aplikatif. Mereka mempelajarinya secara otodidak sesuai apa yang mereka butuhkan. Misalnya, mereka dapat mempelajari huruf melalui kemasan kopi, "yang disebut torabika tuh yang tulisannya kaya gini nih ada huruf t ada huruf o". Semakin sering dilakukan, maka mereka jadi semakin terbiasa dan cenderung hapal bahwa kemasan kopi Torabika itu yang hurufnya seperti ini dan bungkusnya seperti ini. Hal lain juga berlaku seperti itu.
Baca juga: Suku Baduy: Hidup Apa Adanya Salah Satu Cara Terbaik untuk Dekat dengan Tuhan
Indahnya Prinsip Pendidikan ala Suku Baduy