Mohon tunggu...
Fitriyah Fitriyah
Fitriyah Fitriyah Mohon Tunggu... -

still learning :D

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pena-pena di Ujung Jemariku

12 Juni 2011   15:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jam menunjukkan pukul 20.00. Ayah dan Ibu sedang menonton acara talkshow di televisi. Temanya bagus sekali: Peran Media Massa dalam Membumikan Semangat Anti Korupsi. Dua kelompok mahasiswa hadir dan diberi kesempatan untuk bertanya dan mengungkapkan gagasannya. Hadir pula beberapa tokoh ternama yang sudah pasti dikenal oleh banyak orang : satu pakar politik, satu pakar media massa elektronik, satu pakar media cetak, satu tokoh agama, dan seorang aktris ternama yang terjun di dunia politik. Host-nya sangat pintar menurutku. Dia mampu membawakan acara dengan cerdas, namun tetap menyenangkan. Aku menonton acara itu sampai habis. Rupanya Ayah dan Ibu juga sangat menikmati acara, sampai-sampai mereka lupa mengingatkanku untuk belajar.

“Astaghfirullah, Fina! Sebentar lagi mau ujian... Ini malah nonton TV sampai jam sepuluh. Sudah Bu, TV-nya dimatikan saja! Biar Fina belajar...” kata Ayah lantas membangunkan Hasan, adik pertamaku, yang tertidur di depan Televisi. Posisinya lucu sekali, Buku PR Matematika-nya menjadi bantal tidurnya. Untung tidak tergambar peta dunia model baru di bukunya.

Aku hanya nyengir mendengar kata-kata Ayah. Setelah membawa gelas kotor dan stoples cemilan ke dapur, aku pun bergegas ke kamar. Talkshow di Televisi tadi membuatku mampu merangkai kata dengan lancar malam ini.

Pukul 01.00 dini hari cerita pendekku selesai. Mataku rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk mengedit tulisanku. Aku pergi ke kamar mandi dan mencuci muka. Rupanya Ayah sedang membuat susu buat Adi di dapur.

“Belum tidur, Fin? Kalau belajar jangan begadang! Segala sesuatu itu kalau berlebihan nanti malah jadi tidak baik. Habis ini langsung tidur, ya!” seru Ayah sambil menepuk pundakku. “Iya, Ayah... Setelah ini Fina tidur,” jawabku. Aku mengambil wudhu dengan hati gembira. Kesegaran dan semangat baru terasa mengalir di sekujur tubuhku seusai wudhu. Usai meminum segelas air putih, aku beranjak menuju kamar. Aku tertegun di depan pintu. Ayah ada di kamarku. Kulihat buku tulis tempatku menuliskan cerpenku dalam kondisi tertutup. Sementara sobekan koran berisi pengumuman lomba sudah tidak ada lagi di tempatnya. Ayah duduk di tepi ranjangku. Menyuruhku untuk cepat-cepat berbaring. Beliau menarik selimut guna menutupi badanku. “Anakku sayang, tidur yang nyenyak ya...,” kata Ayah lantas mencium keningku. Aku masih terkejut. Aku hanya terdiam ketika Ayah mematikan lampu lantas pergi meninggalkan kamarku. Aku tidak mampu memejamkan mata. Rasanya sudah tidak mungkin lagi untuk menyalakan lampu lantas mencari sobekan tabloid itu. Nanti Ayah akan marah kalau aku tidak segera tidur.

...

Paginya, aku tidak menemukan sobekan tabloid di meja belajarku, bahkan di seluruh kamarku. Saat sarapan, aku jadi kurang bersemangat. Apalagi setelah melihat melihat sobekan tabloid-ku semalam ada di tempat sampah. Sementara itu, Ayah tampak berbeda dari biasanya. Aku pergi ke sekolah dalam kondisi yang sangat tidak nyaman: mengantuk dan pikiranku tidak mampu fokus ke pelajaran. Ayah terus saja mengganggu pikiranku.

...

Ibu sedang pergi mengikuti arisan RT sore ini. Adi diajak oleh Ibu. Sementara Hasan sedang belajar di rumah Agung, teman sekelasnya. Di rumah hanya ada aku dan Ayah. Aku menjadi canggung sore ini. Ayah juga begitu. Sepertinya beliau marah. “Fina!” beliau memanggilku. Aku mendekat. Ayah meletakkan koran yang tadi dibacanya. “Kenapa kok cemberut saja dari tadi?” tanya Ayah sembari tersenyum. Rupanya aku diperhatikannya sedari tadi. “Nggak kok, Yah...!” jawabku sambil tersenyum pula. “Tadi Ayah beli cemilan waktu pulang kantor. Di meja makan. Sana ambil, Fin! Dimakan sambil ngeteh dan nonton TV pasti enak sekali...,” kata Ayah. Aku tersenyum lantas segera bergegas ke dapur, membuat dua cangkir teh hangat dan mengambil cemilan di meja makan, kemudian segera membawanya ke ruang keluarga. Aku dan Ayah menonton TV bersama. Kami membicarakan banyak hal. Aku merasa rasa sayangku kepada Ayah semakin bertambah hingga diam-diam aku membuat keputusan: aku akan rajin belajar, aku harus mempertahankan peringkat pertamaku di kelas, tidak boleh tidak!

...

Pukul 22.00, aku selesai belajar. Kuputuskan untuk mengedit cerita pendekku sebentar. Baru sebatas tulisan tangan, padahal aku harus mengirimkannya dalam bentuk ketikan. Sayang, di rumahku hanya ada satu komputer di ruang kerja Ayah. Jika aku meminjam komputer Ayah lantas aku ketahuan sedang mengetik cerita pendek, sudah pasti aku akan dimarahi habis-habisan. Aku tidak mau ambil risiko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun