“Cerpennya dibuang oleh Ayah. Setelah itu, aku seperti trauma untuk menulis lagi. Bahkan aku sempat menganggap remeh aktivitas menulis,” kataku sambil tersenyum tipis, “Meskipun sebenarnya sesekali aku mengkhinati Ayah dengan menulis secara sembunyi-sembunyi. Kalau dipikir-pikir, aku seperti Kartini saja ya, Mbak? Bedanya, aku dipingit Ayah dari dunia tulis-menulis saja.”
“Wah, sayang sekali! Padahal, waktu tanpa sengaja aku membaca tulisanmu di flashdiskmu, aku jadi tahu kalau Fina sangat berbakat,”kata Mbak Namira penuh semangat.
***
Cilacap, kelas 3 SMA
Aku bingung sekali saat harus menentukan jurusan mana yang akan kupilih. Aku sangat menyukai sastra, namun Ayah pasti tidak memperbolehkan aku masuk jurusan sastra Indonesia. “Pilih jurusan Ekonomi atau Akuntansi, Fin! Biar kelak kamu bisa seperti Ayah!” pesan Ayah dalam setiap obrolan baru-baru ini. Akhirnya, aku memilih Jurusan Pendidikan Ekonomi. Kelak aku akan menjadi guru Ekonomi dengan dukungan kuat dari Ayah. Malamnya, aku menulis diary seperti biasanya... Hello, Ayah! (buat perencana masa depan nomor satu di dunia)
Aku menjadi anak yang paling berbahagia sore ini Melihat dua lesung pipit di antara bahagiamu Aku bangga - engkau Ayahku Aku bangga - aku anakmu
Aku tahu Ayah professional Aku akan selalu mempercayaimu Terimakasih, Ayah!
***
Yogyakarta, kuliah semester empat...
“Cieeee.... Selamat ya, Fin! Bukumu keren!” kata Mbak Namira sembari memelukku. Aku tersenyum malu, “Makasih, Mbak... Ini baru permulaan. Masih butuh latihan dan perbaikan.” “Alhamdulillah... Bagaimana kabar Ayah di Cilacap?” tanya Mbak Namira menggodaku sambil tersenyum. “Beliau ikut senang, Mbak! Ayah mendukungku. Aku boleh terus menulis selama IPK-ku masih di atas 3,4” kataku dengan mata berbinar. “Subhanallah...” Mbak Namira kembali memelukku.
***