Isu kesetaraan gender kembali menjadi topik diskusi yang ramai diangkat masyarakat Indonesia khususnya oleh generasi muda pada zaman sekarang. Budaya patriarki bagaikan benang kusut yang mengakar kuat di negeri ini dan sedang ramai diperbincangkan.Â
Menurut Bressler, patriarki adalah sistem sosial masyarakat yang berotasi pada laki-laki sebagai pusat dominasi dan memegang kewenangan pokok dalam tatanan masyarakat.Â
Sementara perempuan dan orang-orang dari jenis kelamin lainnya seringkali mengalami penindasan atau diskriminasi. Dominasi budaya patriarki yang kuat ini menyebabkan terpinggirkannya posisi perempuan dan sering dianggap menyebabkan ketidakadilan peran kaum perempuan dalam jalinan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Kenyataannya pada masyarakat tradisi ini malah kaum perempuan sendiri yang melanggengkan dan memelihara budaya tersebut. Jika melihat sejarahnya dalam budaya Jawa, perempuan yang ideal adalah perempuan yang memiliki  sifat lemah lembut, penurut, dan tidak diperbolehkan untuk melampaui laki-laki.Â
Sehingga, kerap kali peran yang melekat pada perempuan ideal adalah mengelola rumah tangga, pendukung karir suami, istri yang patuh dengan suami dan ibu bagi anak-anaknya.Â
Sementara laki-laki dicitrakan sebagai sosok yang "serba tahu", sebagai panutan, berpikiran rasional dan agresif. Peran ideal laki-laki adalah sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarga, pelindung, dan pengayom.Â
Dalam pembentukan identitas gender, kaum perempuan sering kali masih terjebak dalam norma-norma patriarki yang menekankan pada peran tradisional seperti menjadi ibu rumah tangga atau menekuni pekerjaan yang dianggap "sesuai" dengan gender.Â
Meskipun telah banyak kemajuan dalam memperluas wawasan tentang identitas gender, masih ada tekanan besar bagi kaum perempuan untuk memenuhi ekspektasi sosial yang telah ditetapkan oleh patriarki.
Kaum perempuan khususnya orang tua pada zaman dahulu mendidik anak-anak yang berjenis kelamin perempuan hanya untuk mengerjakan pekerjaan domestik dalam berumah tangga seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci, kepiawaian dalam berbelanja, serta keperluan lainnya.Â
Sedangkan untuk anak laki-laki, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang mana pemimpin keluarga merasa bukanlah kewajibannya melakukan pekerjaan rumah.Â
Kebiasaan ini diberikan dan dicekoki sedari mereka dini, dimana perempuan harus bisa mengerjakan semua urusan pekerjaan domestik dalam berumah tangga sedangkan untuk kaum laki-laki sebaliknya.
Pada lingkup sosial pergaulan sehari-hari juga kadang-kadang perempuan turut melanggengkan sikap dominan pria dengan memperkuat stereotip gender. Misalnya, dengan menilai perempuan lain berdasarkan penampilan fisik atau perilaku yang dianggap "feminin".Â
Tindakan seperti ini tidak hanya memperkuat patriarki, tetapi juga menghambat kemajuan perempuan dalam mencapai kesetaraan. Hal ini memberikan dampak stereotip gender dalam kehidupan bermasyarakat mengenai keberadaan perempuan yang hanya dikodratkan mengurus pekerjaan rumah tangga, tidak perlu pendidikan tinggi, dan narasi lainnya.Â
Akibatnya banyak ditemukan laki-laki yang semena-mena terhadap hak perempuan yang memberikan persepsi bahwa perempuan dianggap hanya bisa berada di rumah untuk melanjutkan keturunan, mengasuh anak, dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Stereotip seperti ini harusnya dihilangkan karena kedudukan pria dan wanita adalah seimbang. Pada zaman sekarang ini laki-laki bukanlah raja yang harus selalu dilayani. Semua gender berhak merasakan kedudukan yang sama untuk berpendidikan, tampil dalam masyarakat, dan sebagainya.Â
Hal kecil seperti memasak, membersihkan rumah bukanlah tugas yang hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan dan semua gender bisa mengerjakannya. Tidak sepatutnya sedari dini mencekoki anak dengan memberikan pendidikan dan beranggapan bahwa kaum perempuan lebih rendah secara martabat dibandingkan kaum laki-laki.
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua perempuan terlibat dalam melanggengkan budaya patriarki, masih banyak kaum aktivis yang memperjuangkan kesetaraan gender.Â
Untuk mencapai masyarakat yang lebih adil dan inklusif, penting bagi semua individu, termasuk kaum perempuan, untuk memahami dampak dan konsekuensi dari melanggengkan budaya patriarki. Melalui kesadaran dan tindakan kolektif, kita dapat bersama-sama meruntuhkan belenggu budaya patriarki dan menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua orang.
Referensi:
- Rabbaniyah, S., Salsabila, S., & Studi Psikologi, P. (2022). Patriarki Dalam Budaya Jawa; Membangun Perilaku Pembungkaman Diri Pada Perempuan Korban Seksual Dalam Kampus. Community, 8(1). http://jurnal.utu.ac.id/jcommunity/article/view/4586/2928
- Rama Mahardika, G. (2020, April 22). Belenggu Budaya Patriarki terhadap Kesetaraan Gender di Indonesia. Retrieved May 26, 2024, from its.ac.id: https://www.its.ac.id/news/2020/04/22/belenggu-budaya-patriarki-terhadap-kesetaraan-gender-di-indonesia/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H