Mengapa kita tak juga bisa mengerti bahwa ketika berdarah, kita berdarah dengan sakit yang sama?
Tak ada yang bisa kulakukan dengan benar
… dengan benar…
Sejak aku bertemu denganmu!
Oh, sepi, berakhirlah!
Kapankah sepi ini akan berakhir?
Mari berbicara tentang tujuan. Saya percaya bahwa sebagian besar dari kita secara sederhana akan mendefinisikan tujuan sebagai sesuatu yang ada diujung sebuah perjalanan. Dan sebagai sesuatu yang ada di ujung, maka dia harus digenapkan dengan kata ‘sampai.’ Jika tidak, maka ‘perjalanan’ itu akan menjadi sebuah tragedi: orang yang melakukannya mungkin tersesat, menyerah, atau mati ditengah jalan. Karena kita semua datang ke dunia dalam bentuk yang paling sederhana, yaitu bayi, maka pencarian tujuan hampir selalu dilakukan dengan cara belajar dan mencoba-coba. Penjajakan akan kemungkinan-kemungkinan menjadi cara terbaik untuk bisa menerka ujung. Kita selalu tertarik untuk mengerti hal-hal yang belum kita mengerti. Kita seperti menghubungkan titik satu dangan titik lainnya untuk bisa melihat gambaran utuh dari hidup itu sendiri. Cara pandang ini, mau tidak mau, membuat kesan bahwa hidup adalah peristiwa yang bergerak satu arah, hanya lurus ke depan. Dan sebagai sesuatu yang diletakkan di akhir, ‘tujuan’ akhirnya menjadi ketegangan puncak dari hidup.
Seorang teman di Facebook pernah menulis sebuah status yang masih saya ingat sampai sekarang. Kurang lebih, status itu dituliskan seperti berikut, “Ada air yang sedang dijerang di dapur. Seorang ilmuan akan langsung mengaitkannya dengan proses fisika dimana ada panas yang diberikan ke air yang membuatnya mencapai titik didih lalu menguap. Seorang suami yang malas ke dapur akan mengira istrinya sedang menyiapkan makan malam untuknya. Seorang remaja masa bodoh tidak akan mau repot untuk berfikir ada apa; hanya sebuah air yang dijerang, bukan hal yang penting. Namun seorang yang relijius akan menyeduh kopi lalu menikmati malamnya yang tenang.
Teman saya ini bermaksud mengatakan, tujuan tertinggi dari menjerang air mungkin sangat sederhana, sesederhana menikmati malam yang indah ditemani secangkir kopi yang nikmat. Tapi untuk bisa menghubungkan peristiwa menjerang air dengan peristiwa malam yang indah, kita sama sekali tak bisa berfikir sederhana. Ini sama sekali bukan ilmu alam atau pragmatisme, ini murni sebuah spiritualitas. Izinkan saya meyakinkan Anda. Tiga peristiwa lain mungkin bisa menjelas tentang peristiwa air yang sedang dijerang di dapur; ilmu alam menjelaskan proses fisika yang terjadi, pragmatisme menjelaskan situasi: apa dan bagaimana, bahkan ketidakpedulian bisa menjelaskan fakta bahwa ada air yang sedang dijerang. Tapi ketiga hal ini tidak bisa menjelaskan tentang keinginan, mengapa seseorang menjerang air, atau bagaimana sebuah malam yang indah hadir melalui secangkir kopi. Ada lompatan magis yang terjadi dari sesuatu yang bersifat empiris, yaitu menjerang air, ke sesuatu yang bersifat spiritual, yaitu rasa bahagia.
Walau semua orang sama-sama bergerak maju, namun tidak semua orang mencapai titik mengerti yang sama. Selalu ada perbedaan sampai sejauh mana seseorang mampu melompat dari hal yang empirik ke hal yang spiritual. Beberapa orang hanya perlu mencoba beberapa kali dan mengerti, beberapa orang menghabis seluruh masa hidupnya untuk mengerti, dan sebagian besar sisanya tidak cukup beruntung untuk bisa mengerti sampai kapanpun. Masalahnya mungkin adalah, banyak orang lebih tertarik untuk melihat apa yang ‘sedang’ terjadi dan berhenti di titik itu. Beberapa mungkin terdorong untuk menggali lebih banyak namun tidak tahu bagaimana harus menyikapinya, jadi mereka hanya menghabiskan waktu untuk menjelaskan atau memperbicangkannya saja. Beberapa ada yang masa bodoh. Namun ada beberapa orang yang mampu melihat jauh ke depan lalu menciptakan keajaiban. Perbedaan ini terjadi, tidak hanya dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang dipegang dan bagaimana seseorang dididik, tapi juga kemampuannya untuk menerima dan bersahabat dengan kemungkinan-kemungkinan, seliar apapun kemungkinan itu. Orang-orang seperti ini bisa melihat dan percaya pada hal-hal yang belum berbentuk. Banyak dari kita yang hanya bisa melihat apa yang ada di depan mata lalu puas. Rasa puas ini membuat kita mudah terjebak dalam perdebatan, bahkan pertengkaran, hanya untuk membuktikan kita benar: walau itu sementara, hanya untuk saat ini! Ada sebuah kebanggan palsu yang melekat: bahwa memenangkan perdebatan sama dengan kebahagiaan.
Kembali mengenai tujuan, ada 2 hal sederhana yang coba saya jelaskan. Pertama, keadaan sekarang adalah fakta. Kondisinya tidak bisa diubah karena sudah terjadi, kebenarannya bersifat mutlak, tidak bisa berubah kecuali kita berbohong, tapi itu masalah lain yang tidak akan saya bahas disini. Kedua, keadaan masa depan atau ‘tujuan’ adalah sebuah proyeksi. Karena belum terjadi, kondisinya bisa berubah tergantung apa yang kita inginkan dan bagaimana kita mewujudkannya. Kebenarannya bersifat relatif atau parsial, berbeda untuk setiap orang. Tujuan bisa saja menjadi fakta jika kita bisa benar-benar sampai kesana. Tetapi tetap saja, dia menjadi fakta hanya ketika waktunya tiba. Karakter dua keadaan ini sangat berbeda karena dipengaruhi latar waktu terjadinya. Sesuatu yang sudah terjadi menjadi sangat kaku karena tidak bisa diubah, sedangkan sesuatu yang belum terjadi selalu menyisakan ruang untuk kemungkinan dan ini menjadikannya fleksibel. Dan karena sesuatu yang tidak bisa diubah bersifat mutlak, maka kita selalu bergerak dari masa kini menuju ke titik yang lebih fleksibel, masa depan.