Mohon tunggu...
Sylvania Hutagalung
Sylvania Hutagalung Mohon Tunggu... -

Saya orang yang berfikir sederhana. Tertarik dengan arsitektur, sejarah, cerpen, dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Map of The Problematique

3 Februari 2014   21:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fear and panic in the air

I want to be free from desolation and despair

And I feel like everything I saw is being swept away

Well I refuse to let you go

I can’t get it right

Get it right

Since I met you

Loneliness be over

When will this loneliness be over?

Life were flashed before my eyes

So scattered and lost

I want to touch the other side

And no one thinks they are to blame

Why can’t we see that when we bleed, we bleed the same?

I can’t get it right

Get it right

Since I met you

Loneliness be over

When will this loneliness be over?

(Muse, 2007)
(Terjemahan Bahasa Indonesia):

Ketakutan dan kepanikan dimana-mana

Aku ingin terbebas dari keterasingan dan rasa putus asa ini

Dan aku merasa semua yang pernah kulihat dihapus perlahan

Tapi aku menolak untuk melupakanmu

Tak ada yang bisa kulakukan dengan benar

… dengan benar…

Sejak aku bertemu denganmu!

Oh, sepi, berakhirlah!

Kapankah sepi ini akan berakhir?

kehidupan berkelebat di depan mataku

Begitu terserak dan kacau

Aku ingin menyentuh sisilain dari dunia ini

Tidak ada orang yang rela untuk dipersalahkan

Mengapa kita tak juga bisa mengerti bahwa ketika berdarah, kita berdarah dengan sakit yang sama?

Tak ada yang bisa kulakukan dengan benar

… dengan benar…

Sejak aku bertemu denganmu!

Oh, sepi, berakhirlah!

Kapankah sepi ini akan berakhir?

Mari berbicara tentang tujuan. Saya percaya bahwa sebagian besar dari kita secara sederhana akan mendefinisikan tujuan sebagai sesuatu yang ada diujung sebuah perjalanan. Dan sebagai sesuatu yang ada di ujung, maka dia harus digenapkan dengan kata ‘sampai.’ Jika tidak, maka ‘perjalanan’ itu akan menjadi sebuah tragedi: orang yang melakukannya mungkin tersesat, menyerah, atau mati ditengah jalan. Karena kita semua datang ke dunia dalam bentuk yang paling sederhana, yaitu bayi, maka pencarian tujuan hampir selalu dilakukan dengan cara belajar dan mencoba-coba. Penjajakan akan kemungkinan-kemungkinan menjadi cara terbaik untuk bisa menerka ujung. Kita selalu tertarik untuk mengerti hal-hal yang belum kita mengerti. Kita seperti menghubungkan titik satu dangan titik lainnya untuk bisa melihat gambaran utuh dari hidup itu sendiri. Cara pandang ini, mau tidak mau, membuat kesan bahwa hidup adalah peristiwa yang bergerak satu arah, hanya lurus ke depan. Dan sebagai sesuatu yang diletakkan di akhir, ‘tujuan’ akhirnya menjadi ketegangan puncak dari hidup.

Seorang teman di Facebook pernah menulis sebuah status yang masih saya ingat sampai sekarang. Kurang lebih, status itu dituliskan seperti berikut, “Ada air yang sedang dijerang di dapur. Seorang ilmuan akan langsung mengaitkannya dengan proses fisika dimana ada panas yang diberikan ke air yang membuatnya mencapai titik didih lalu menguap. Seorang suami yang malas ke dapur akan mengira istrinya sedang menyiapkan makan malam untuknya. Seorang remaja masa bodoh tidak akan mau repot untuk berfikir ada apa; hanya sebuah air yang dijerang, bukan hal yang penting. Namun seorang yang relijius akan menyeduh kopi lalu menikmati malamnya yang tenang.

Teman saya ini bermaksud mengatakan, tujuan tertinggi dari menjerang air mungkin sangat sederhana, sesederhana menikmati malam yang indah ditemani secangkir kopi yang nikmat. Tapi untuk bisa menghubungkan peristiwa menjerang air dengan peristiwa malam yang indah, kita sama sekali tak bisa berfikir sederhana. Ini sama sekali bukan ilmu alam atau pragmatisme, ini murni sebuah spiritualitas. Izinkan saya meyakinkan Anda. Tiga peristiwa lain mungkin bisa menjelas tentang peristiwa air yang sedang dijerang di dapur; ilmu alam menjelaskan proses fisika yang terjadi, pragmatisme menjelaskan situasi: apa dan bagaimana, bahkan ketidakpedulian bisa menjelaskan fakta bahwa ada air yang sedang dijerang. Tapi ketiga hal ini tidak bisa menjelaskan tentang keinginan, mengapa seseorang menjerang air, atau bagaimana sebuah malam yang indah hadir melalui secangkir kopi. Ada lompatan magis yang terjadi dari sesuatu yang bersifat empiris, yaitu menjerang air, ke sesuatu yang bersifat spiritual, yaitu rasa bahagia.

Walau semua orang sama-sama bergerak maju, namun tidak semua orang mencapai titik mengerti yang sama. Selalu ada perbedaan sampai sejauh mana seseorang mampu melompat dari hal yang empirik ke hal yang spiritual. Beberapa orang hanya perlu mencoba beberapa kali dan mengerti, beberapa orang menghabis seluruh masa hidupnya untuk mengerti, dan sebagian besar sisanya tidak cukup beruntung untuk bisa mengerti sampai kapanpun. Masalahnya mungkin adalah, banyak orang lebih tertarik untuk melihat apa yang ‘sedang’ terjadi dan berhenti di titik itu. Beberapa mungkin terdorong untuk menggali lebih banyak namun tidak tahu bagaimana harus menyikapinya, jadi mereka hanya menghabiskan waktu untuk menjelaskan atau memperbicangkannya saja. Beberapa ada yang masa bodoh. Namun ada beberapa orang yang mampu melihat jauh ke depan lalu menciptakan keajaiban. Perbedaan ini terjadi, tidak hanya dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang dipegang dan bagaimana seseorang dididik, tapi juga kemampuannya untuk menerima dan bersahabat dengan kemungkinan-kemungkinan, seliar apapun kemungkinan itu. Orang-orang seperti ini bisa melihat dan percaya pada hal-hal yang belum berbentuk. Banyak dari kita yang hanya bisa melihat apa yang ada di depan mata lalu puas. Rasa puas ini membuat kita mudah terjebak dalam perdebatan, bahkan pertengkaran, hanya untuk membuktikan kita benar: walau itu sementara, hanya untuk saat ini! Ada sebuah kebanggan palsu yang melekat: bahwa memenangkan perdebatan sama dengan kebahagiaan.

Kembali mengenai tujuan, ada 2 hal sederhana yang coba saya jelaskan. Pertama, keadaan sekarang adalah fakta. Kondisinya tidak bisa diubah karena sudah terjadi, kebenarannya bersifat mutlak, tidak bisa berubah kecuali kita berbohong, tapi itu masalah lain yang tidak akan saya bahas disini. Kedua, keadaan masa depan atau ‘tujuan’ adalah sebuah proyeksi. Karena belum terjadi, kondisinya bisa berubah tergantung apa yang kita inginkan dan bagaimana kita mewujudkannya. Kebenarannya bersifat relatif atau parsial, berbeda untuk setiap orang. Tujuan bisa saja menjadi fakta jika kita bisa benar-benar sampai kesana. Tetapi tetap saja, dia menjadi fakta hanya ketika waktunya tiba. Karakter dua keadaan ini sangat berbeda karena dipengaruhi latar waktu terjadinya. Sesuatu yang sudah terjadi menjadi sangat kaku karena tidak bisa diubah, sedangkan sesuatu yang belum terjadi selalu menyisakan ruang untuk kemungkinan dan ini menjadikannya fleksibel. Dan karena sesuatu yang tidak bisa diubah bersifat mutlak, maka kita selalu bergerak dari masa kini menuju ke titik yang lebih fleksibel, masa depan.

Lalu masalahnya dimana?

Masalahnya adalah ketika kedua keadaan ini ternyata bisa disusun terbalik. Ketika tujuan itu bukan lagi sekedar proyeksi, namun fakta yang harus dan pasti terjadi. Masa kini justru menjadi relatifitas karena harus menyesuaikan dengan masa depan yang sudah terlanjur diamini sebagai sebuah kemutlakan. Inilah yang disebut dengan simulacra (simulacrum jika bersifat jamak).

Dalam pembukaan tulisannya, ‘Simulacra and Simulations – I. the precession of simulacra,’ Jean Baudrillard mengutip dongeng karya JorgeLuis Borges yang bercerita tentang tragedi sebuah peta. Alkisah, dahulu kala tersebutlah sebuh kerajaan yang sangat masyur. Sang raja ingin sekali membuat sebuah simbol yang bisa menunjukkan keadidayaannya. Lalu ia memerintahkan kartografer untuk membuatkan baginya sebuah peta yang berbeda dari biasanya. Sang kartografer pun menggambar sebuah peta yang begitu besar dan detail sehingga ukurannya sama besar dengan luas kerajaan itu. Karena peta itu begitu besar, maka sedikit demi sedikit kerajaan itu tertutup oleh peta itu sendiri. Sekarang peta itu adalah kerajaan itu, kerajaan itu adalah peta itu. Tidak adalagi pembeda antara yang nyata dengan yang rekaan. Kehebatan kerajaan itu sama masyurnya dengan kehebatan peta yang begitu besar itu. Ketika kerajaan itu runtuh karena tertutup peta, tragedinya pun sama menggenaskannya dengan sang peta yang akhirnya lapuk dimakan cuaca. Keduanya menjadi identik dalam segala hal yang membuat orang-orang tidak lagi bisa membedakan apakah mereka sedang berbicara tentang sebuah peta atau tentang sebuah kerajaan.

Simulacra tidak sama dengan simulasi. Simulasi bisa dipahami dalam hubungan antara diri kita dengan bayangan kita, dimana cermin bertindak sebagai batas. Batas disini sangat signifikan karena menjadi dasar dalam mendefinisikan mana yang nyata dan mana yang rekaan. Walau kita dan bayangan kita tampak identik, cermin yang berada diantara menjadi penegas bahwa hubungan yang terjadi selalu satu arah: kita mempengaruhi bayangan kita, bukan sebaliknya. Dalam simulacra, tidak ada lagi batas. Rekaan itu adalah kenyataan itu sendiri. Baudrillard menulis, “The simulacrum is never what hides the truth – it is the truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true.” Simulacrum bukanlah tentang menyembunyikan kebenaran (pengadaian dan seolah-olah), simulacrum adalah kebenaran yang menutupi fakta bahwa sebenarnya tidak pernah ada apapun. Simulacrum itu benar adanya.

Masa kini dan masa depan dimaknai berbeda dalam simulacra. Jika biasanya kita menarik garis lurus dari masa kini menuju masa depan, maka dalam simulacra masa kini dan masa depan berada pada satu titik yang bertindih. Satu-satunya cara menghubungkannya adalah dengan membuat sebuah lingkaran, sehingga sebuah perjalanan bisa tetap terjadi walau masa kini dan masa depan adalah satu kejadian dengan dua nama berbeda. Dalam cara pandang pertama, dua titik – masa kini dan masa depan,menciptakan jarak yang membuat perjalanan sering dimaknai sebagai pencapaian. Namun dalam cara pandang simulacra, masa depan adalah sesuatu yang pasti terjadi, karenanya tidak penting kapan dia terjadi. Yang penting adalah bagaimana membuatnya terjadi. Kemutlakannya membuatnya terasa hadir saat ini, tidak ada lagi rasa penasaran tentang apa itu masa depan karena masa depan telah didefinisikan saatini. Karenanya, sama seperti lingkaran yang harus bergerak 360 derajat untuk kembali ke titik awal, perjalanan disini dimaknai sebagai sebuah penggenapannya.

Bagaimana kita memahaminya dalam kehidupan kita sehari-hari? Mudah, tonton saja televisi! Ada terlalu banyak prediksi tentang penyakit, bencana, dan perang, dan lihatlah bagaimana beberapa masa kemudian hal tersebut benar-benar terjadi. Atau jika kita membaca kitab suci, kita akan mendapati begitu banyak nabi dan santo yang mendapat wahyu tentang masa depan, lalu mengamininya, dan hal tersebut kemudian digenapi. Entah kita orang suci yang menghidupi apa yang kita percayai dengan iman, atau orang tanpa kepercayaan tertentu yang hanya ingin hidup baik-baik, kita dapat memahami simulacrum disekitar kita dengan cara pandang yang sama. Simulacrum bukan sekedar teori, dia adalah fenomena yang coba dibahasakan secara akademis. Kita tidak lagi boleh menyederhanakan masa depan hanya sebagai sebuah misteri, seakan-akan misteri memberi ruang lebih untuk terjadinya kemungkinan-kemungkinan lain. Terlalu banyak hal yang harus kita sangkal untuk bisa kembali ke cara pandang seperti itu.

Inilah yang cobadiceritakan oleh Muse, sebuah grup rock asal Inggris, dalam lagu mereka Map of Problematique yang liriknya saya kutip pada awal tulisan ini. Namun, jauh sebelum Muse menjadikannya judul untuk lagu mereka, Map of Problematique adalah istilah yang lekat dengan sebuah kelompok bernama Club of Rome (CoR). Kelompokini terdiri dari orang-orang terpandang dan berpengaruh; mulai dari para kepala negara, birokrat, politisi, ilmuan, ekonom, hingga ke pemimpin bisnis dunia. Kelompok ini fokus dalam isu-isu penting yang menyangkut kemanusiaan dan keberlangsungan hidup manusia. Melalui analisa dan identifikasi masalah yang ada disekitar kita, mereka ingin mempropagandakan sebuah ‘perubahan.’ Salah satu laporan mereka, yang terangkum dalam buku The Limit to Growth, telah mampu membuka mata dunia tentang kenyataan bahwa di masa depan bumi akan lumpuh. Buku ini seperti kotak Pandora yang dibuka dan kemudian menciptakan ketakutan global.

Secara singkat, The Limit to growth (1972) adalah sebuah buku yang bercerita tentang interaksi antara faktor-faktor dalam ekonomi eksponensial dan pertumbuhan populasi manusia yang diperbandingkan terhadap ketersediaan sumber daya alam yang sifatnya sangat terbatas. Interaksi ini dijabarkan melalui sebuah simulasi komputer yang menggambarkan bagaimana sistem kehidupan manusia bersilangan dengan bumi dan sumber dayanya. Ada lima variabel yang menjadi fokus pengujian dalam permodelan awal; yaitu populasi manusia, laju industrialisasi, tingkat pencemaran lingkungan, laju produksi pangan, dan laju pengurangan sumber daya alam. Dengan mengubah kondisi lima variabel ini bentuk-bentuk konsisten dari kemungkinan yang ada dapat diketahui. Buku ini bukanlah ramalan pasti dan terukur tentang masa depan, hanya sebuah studi mengenai kecenderungan bagaimana sistem kehidupan kita akan bereaksi, sehingga gambaran mengenai masa depan dapat diprediksi. Dan dari hasil simulasi didapati bahwa ada 2 skenario negatif dimana bumi menjadi begitu kewalahan sebelum akhirnya kolaps, dan sebuah skenario positif dimana bumi akan mampu menstabilkan diri. Walau bukan sebuah jawaban yang terukur, namun hasil simulasi ini menjadi alarm bahwa kita perlu bersiap untuk kemungkinan terburuk. Sebagai sebuah buku dengan penjualan terlaris pada masanya, The Limit to Growth banyak mendapat pujian, juga kritikan secara luas. Beberapa ilmuan sempat ragu, apakah simulasi ini layak dijadikan pijakan (mengingat dampak ketakutan global yang ditimbulkannya) karena model yang dipakai sangat sederhana, bahkan terlalu sederhana untuk merepresentasikan dunia secara nyata. Namun gejala-gejala kegagalan bumi itu sedikit demi sedikit mulai terlihat kini, sama seperti apa yang diprediksikan beberapa dekade lalu, membuat banyak orang meyakini bahwa kotak Pandora itu memang telah terbuka.

Dalam dongeng tentang kotak Pandora, kutukan terjadi karena adanya keinginan untuk mengungkap apa yang seharusnya menjadi sebuah rahasia, sehingga mengkhianati sifat alami dari rahasia itu sendiri. Kita mencurangi waktu dengan melihat bagaimana sesuatu itu akan berakhir jauh sebelum kita menunaikan bagian kita, yaitu menjalani prosesnya dari awal hingga ke akhir. Karenanya, sebuah tujuan yang seharusnya menjadi ketegangan puncak dari perjalan hidup kehilangan misteri dan kegelapannya. Ketegangan itu bergeser ketengah, keproses dimana ramalan itu mencoba bertemu dengan penggenapannya.

Kita bisa memahaminya seperti ini; katakanlah kita memegang sebuah batang kayu yang ujungnya terbakar. Untuk beberapa saat, kita bisa tetap memegang sang kayu dengan aman karena api membutuhkan waktu untuk mencapai tangan kita. Tapi pada akhirnya kita harus melepaskan kayu itu jika tidak ingin ikut terbakar. Ketika kita melihat api pada batang kayu yang kita pegang, pertanyaannya selalu sederhana: kapan kita akan melepaskan kayunya? Apakah secepatnya atau menunggu detik-detik terakhir sebelum api membakar kita? Ini bukan lagi tentang bagaimana kita bisa menghentikan sang api, atau bagaimana kita menyelamatkan sang kayu. Ini hanya tentang seberapa cepat kita bisa menerima kenyataan bahwa api itu pasti akan membakar habis sang kayu.

Sekali lagi, lalu masalahnya apa?

Mungkin tidak ada. Karena kepastian akan masa depan menjadikan apa yang terjadi pada masa kini lebih dapat dimengerti dan diterima; entah itu pahit, entah itu manis. Namun ketika kita menerima simulacra sebagai sebuah kebenaran, sesungguhnya kita sedang melakukan lompatan magis secara terbalik: dari hal yang bersifat spiritual ke hal-hal yang bersifat empiris, dan ini seperti melawan gravitasi. Kembali ke titik awal untuk mengakhiri sebuah perjalanan juga adalah keanehan lain yang harus dapat diterima, karena berakhir berarti memulai kembali. Hidup bukan lagi tentang awal dan akhir. Jarak menjadi tak punya ujung.

Dan akhirnya, jika kita kembali ke bahasan awal tentang tujuan, apakah Anda masih akan berfikir bahwa tujuan adalah akhir dari pencarian? Saya harap tidak! Tujuan bukan lagi tentang pencapaian, melainkan sebuah penggenapan. Masa depan memang sesuatu yang pasti, namun penantian akan penggenapannyalah yang menjadikan perjalan hidup menjadi menyenangkan. Ini adalah proses menemukan diri sendiri, sebuah pencarian jawaban tentang alasan mengapa kita datang ke dunia dan apa yang bisa kita bagikan untuk kesejahteraan bersama. Kita mungkin terlahir sebagai seorang jenius, biasa saja, atau bahkan bodoh. Tapi kita tidak bisa TIDAK melakukan bagian kita. Kita harus menemukan dan menyelesaikan apa yang menjadi bagian kita, seremeh apapun itu kedengarannya. Karena kita semua terikat hubungan sebab-akibat, dan dalam hubungan sebab-akibat, tidak ada peran yang terlalu kecil atau besar. Kita semua saling bergantung untuk bisa berfungsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun