Mohon tunggu...
Valtyn DW
Valtyn DW Mohon Tunggu... Lainnya - Urusan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Cinta Alam dan Lingkungan berarti kita menghormati Tuhan sebagai sang Pencipta dan Leluhur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bulan Purnama di Dusun Kecil

1 Desember 2023   02:00 Diperbarui: 1 Desember 2023   07:48 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar bulan purnama 

Bulan di langit  memancarkan sinarnya ke bumi, posisinya berarada  tepat  diatas ubun ubun kepalaku, cahayanya terang menyinari, indah dan mempesona, semua menyambut sang bidadari malam dengan sukacita, bulan purnama melukiskan tentang betapa agungnya ciptaan Tuhan, Malam ini begitu damai  tenang dan sepi,

Listrik yang menjadi kebutuhan nomor satu di era digital saat ini lagi padam Sudah menjadi kebiasaan di lingkungan kami,ketika listrik padam semuanya panik seperti Gempa bumi 7,0 Skala Richter (SR), terdengar jelas suara tetangga yang lagi marah karena  padamnya listrik tersebut,karena siaran atau berita yang yang sedang mereka saksikan di layar televisi terpotong dan terganggu, televisi adalah salah satu hiburan buat penduduk yang lagi bersantai dan beristirahat di rumah setelah penatnya bekerja seharian.

Di halaman saya duduk di sebuah batu dibawah rimbunnya pohon kersen yang Saya tanam dua tahun yang lalu,dalam kesendirian itu saya membayangkan tiga puluh tahun silam, di zaman ketika aku kecil dulu,

Tiga puluh tahun yang lalu di dusun kecil, di lembah sebuah gunung Inerie,Dusun yang subur dengan panorama alamnya yang indah,bukit yang hijau dengan segala komoditi didalamnya, penduduknya yang ramah budaya yang kental, sopan santun dan orangnya yang ramah terus dipupuk dan dijaga sampai saat ini, nama dusun itu Buu, berada di Kecamatan Jerebuu, Kab.Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur,

Waktu itu umurku sebelas tahun ketika bulan terang seperti malam ini, itulah saat saat terindah buat kami anak – anak seusia berkumpul dan bermain. ,permainan yang paling cocok untuk bulan terang seperti ini yaitu perimainan hadang yang kami sebut permianan terima, tidak ada aktifitas lain selain permainan itu.

Di masa itu Listrik dan Televisi merupakan barang langka, belum ada PC Laptop, Handpone,dan alat digital lainnya belum ada Kami saat mengenal televisi hanya lewat buku dan gambar atau melihatnya di kelender usang yang tempel di dinding kantor sekolah.

Satu satunya yang memiliki televisi saat itu hanya di di kediaman pastor paroki kami, kami hanya diperbolehkan menonton pada hari Sabtu,dari pukul 19.00 sampai 21.00. bila kiat terlambat datang berarti nontonnya dari luar jendela karena ruangan sudah terisi penuh. Supaya dapat nonton dengan nyaman kita harus datang lebih awal.

Waktu nontonnya cukup Dua jam karena besok hari Minggu ada kebaktian di gereja“itu kata pastor.

Sinetron saat itu Tuturtinular cerita seorang Kesatria yang gagah berani pada zaman kerajaan tempo dulu.

Jadi kami yang hidup di zaman batu nonton cerita sinetron tentang zaman batu ,kami mengikuti ceritanya tidak sampai selesai karena sinetronnya bersambung .biasanya lanjutan cerita kami dengar dari karyawan paroki,entah benar atau tidak, dan dalam bercerita beliau selalu menambah bumbu penyedap,dan sedikit lelucon sehingga kita jadi bersemangat mendengarkan ceritanya maklumi saja karena yang menonton kelanjutan cerita hanya mereka di malam berikutnya

Kita kembali ke  cerita permainan hadang atau terima

Permainan terima (hadang) adalah permainan olahraga tradisional yang tidak mempergunakan alat apapun sebagaimana permainan tradisional lainya. Permainan ini dimainkan secara beregu, baik putera maupun puteri. Jumlah anggota regu sebanyak 8 orang, permainan ini dapat dibuat di lapangan terbuka atau halaman rumah

Bentuk area permainan terima merupakan area petak persegi panjang yang mempunyai panjang lapangan sesuai luas halaman rumah, area tersebut dibagi 6 atau 8 petak dengan ukuran masing-masing petak sesuai ukuran halaman. Garis permainan ditandai dengan garis dari abu bekas pembakaran kayu (abu dapur) dan garis tersebut mudah luntur atau hilang..Tidak ada wasit dalam permainan ini,yang suaranya paling kuat kelompoknya yang menang.Bunyi hentakan kaki dan teriakan mendominasi permainan ini.

Bila tangan lawan sudah bersentuhan atau mengenai badan kita berarti kita dinyatakan kalah atau game over, dan regu lawan akan bergantian masuk dan yang lain menjaga atau menghadang

Waktu finish permainan tidak ditentukan,permainan selasai saat salah satu guru datang dengan rotan di tangan dan berteriak dengan suara yang cukup keras : “bubar besok sekolah”

Dengan sendirinya kami menyudahi permainan dan pulang ke rumah untuk beristirahat.Guru adalah sosok yang sangat kami patuhi.

Di Tempat lain tampak duduk sekelompok pemuda dan pemudi bernyanyi riang diiringi permainan mudik gitar dan okalele, lagunya meriah, suara dan alunan musik sangat merdu dan syadu terdengar di telinga:

Mereka melantunkan lagu lagu dan syair atau saling melempar pantun dan saling berbalas balasan.

“Nona nona zaman sekarang,mau laki laki tidak tau masak nasi”

Atau “merah pakai lah baku merah

Pegang di tangan nona tidak marah

Lihat di mata nona muka merah padam”

Sepenggal syair lagu yang masih saya ingat Sampai saat ini.Dan masih banyak lagi dan pantun mereka lantunkan di malam itu

Entah apa maksud dan pesan dari syair lagu tersebut, waktu itu kami tidak begitu paham, tidak ada seorang anakpun mendekat atau menggangu aktifitas mereka.Dan kita fokus pada permainan dan keasyikan kita masing masing.

Kalau tak ingin Telingamu merah dan bengkak dijewer mereka, jangan coba coba mendekat dan menggangu ktigitas mereka.Itu aturan wajib yang tidak tertulis waktu itu. Jangan ganggu kami, anak-anak,karena saatmu belum tiba

Dari sebuah rumah panggung di sekitar area permainan kami, terdengar  gelak tawa bapak bapak yang lagi asyik duduk melingkar dan bercerita,terdengar suara mereka  berbisik pelan kadang berbicara keras, tuak putih dan  jagung goreng menjadi hidangan wajib ,mereka menikmati dengan bahagia dan kegembiraan, itulah kekhasan mereka.

Gotong royong dan kerja bakti membersihkan kampung menjadi agenda diskusi mereka malam itu ,atau berdiskusi tentang pipa sebagai akses air minum dari sumbernya ke kampung kami yang putus total karena longsor, sehingga penduduk harus mengambilnya ke sungai yang jauh,

Mereka berdiskusi tanpa Juknis dan berbicara tanpa Rancangan dan biaya, untuk kehidupan dan kesejahteraan masyarakat hanya totalitas dan pengorbanan. Sukarela, bekerja tanpa pamrih dan tanpa iming iming apapun.Salut. Beda Kehidupan di zaman dulu dan sekarang memang setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya,

Di zaman sekarang, di era digital dan Teknologi informasi yang canggih, kemerosotan etika dan kejahatan lainnya terjadi dimana mana, keegoisan dan individu sangat menonjol, kehidupan manusia modern dengan mengabilakan segi kemanusaian dan norma norma kesopanan. sudah tidak bisa membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tidak tau menghargai orang yang lebih tua.

Televisi, handphone,laptop dan alat alat canggih lainnya bulan barang langka tetapi sudah menjadi barang kebutuhan pokok.

Pada suatu ketika tidak sengaja saya melihat anak anak di depan gerbang sekolah duduk dengan handphone di tangannya semua syik dengan aktifitas mereka masing – masing, Jari tangan terus bergerek dan mata fokus pada layar android .anak yang satu senyum,yang satu matanya berkaca kaca ,anak yang sebelahnya tertawa,aneh tetapi nyata duduk bersama tetapi dengan ekspresi yang berbeda.

Saya sepakat dengan opa Kobus tetangga saya beliau berkata: sekarang zaman Edan, Handphone itu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh

Hari sudah larut,arah bulan Sudah condong ke timur dan sinarnya sudah mulai redup, mata sudah mengajakku tidur dan tidak berkompromi untuk terus terbuka ,saatnyaa ke pembaringan.

Dari kejauhan  sayup sayup terdengar indah suara si burung malam, mengingatkan saya bahwa hidup tidak selamanya berirama seperti nyanyian indah malam ini.

“”SEKIAN”””

by : Om Ondoz

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun