Holocaust---meskipun itu adalah pengalaman yang sangat tragis bagi kaum Yahudi Eropa---menyediakan legitimasi yang sangat kuat bagi berdirinya negara Yahudi di Palestina. Maka dari itu, Israel dideklarasikan sebagai negara Yahudi di atas tanah Palestina pada tahun 1948, 44 tahun setelah wafatnya Theodor Herzl.Â
Pembaca barangkali bertanya mengapa kata solusi diberi tanda petik oleh penulis. Demikian jawabannya. "Solusi" dari Herzl maupun Partai Nazi bukanlah solusi sama sekali. Solusi merupakan pemecahan masalah. Alih-alih memecahkan masalah anti-Semitisme, "solusi" Herzl justru menggeser anti-Semitisme dari Eropa ke Timur Tengah, karena kaum Yahudi Eropa menjajah Palestina guna mendirikan negara sendiri. Rakyat jajahan akan melawan penjajahnya, dalam bentuk apa pun dan skala sebesar apa pun. Kaum Yahudi yang dulunya tidak hidup damai dan tentram di Eropa pun tidak akan hidup damai dan tentram di Palestina, karena gelombang perlawanan dari rakyat jajahan dan negara-negara sekitar begitu bertubi-tubi. "Solusi" dari Partai Nazi pun tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan trauma kolektif terhadap kaum Yahudi di seluruh dunia, tidak hanya di Eropa. Trauma kolektif ini menjadi legitimasi atas berdirinya negara Israel di atas tanah jajahan, yakni Palestina.Â
Bentuk penjajahan Israel di Palestina dikenal dengan sebutan settler colonialism. Ini berarti tanah jajahan tidak hanya dieksploitasi sumber daya alamnya, tetapi juga ada masyarakat baru yang didirikan di sana, yaitu masyarakat penjajah. Konsekuensi dari bentuk penjajahan ini adalah munculnya kewajiban bagi pemerintah kolonial untuk mengosongkan tanah jajahan dari rakyat terjajah untuk ditinggali oleh rakyat penjajah. Settler colonialism juga pernah diterapkan oleh Britania Raya di Amerika Utara dan Australia. Praktek pengosongan tanah jajahan ini dilakukan dengan salah satu atau gabungan dari dua cara: pengusiran dan/atau pemusnahan massal (genosida) terhadap rakyat terjajah oleh pemerintah kolonial. Cara kedua dilangsungkan oleh Israel terhadap Palestina sejak pertengahan abad ke-20 hingga detik ini.Â
"Solusi" baru pun ditawarkan untuk "menyelesaikan" masalah baru ini. "Solusi" yang dimaksud adalah two-state solution (solusi dua negara). Esensinya, "solusi" ini menyatakan bahwa "konflik" Palestina-Israel dapat diselesaikan dengan dibentuknya dua negara terpisah untuk kaum Arab dan kaum Yahudi. "Solusi" ini berakar pada laporan dari Palestine Royal Commission, sebuah komisi yang dibentuk oleh pemerintah Britania Raya guna menyelidiki sebab-sebab konflik di Palestina pada tahun 1937. Laporan komisi ini pada intinya mengusulkan pengalokasian tanah subur dan pinggir laut bagi Yahudi, sedangkan kaum Arab akan dialokasikan sisanya, yaitu gurun pasir gersang. Sudah tentu usulan ini ditolak oleh komunitas Arab, tetapi diterima oleh komunitas Yahudi. Persatuan Bangsa-bangsa (PBB)---baru dibentuk dan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis seperti AS dan Britania Raya---merancang "solusi" serupa pada tahun 1947. Palestina, dalam rancangan ini, hanya disisakan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Israel akan diberi sisanya, lebih dari 50% tanah Palestina. Negara-negara Arab menentang rancangan ini, karena ketika itu jumlah masyarakat Arab di Palestina mencapai angka 70% dan sisanya adalah masyarakat Yahudi. Sungguh tidak masuk akal bahwa masyarakat berjumlah lebih sedikit mendapatkan wilayah lebih banyak. Walaupun begitu, rancangan PBB ini merupakan fondasi legal bagi Israel untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina setahun kemudian.Â
Two-state solution didukung oleh mayoritas negara di dunia, termasuk AS, Britania Raya, Tiongkok, negara-negara anggota Uni Eropa, negara-negara anggota Liga Arab, bahkan Indonesia dan Palestina. Mereka menghendaki berdirinya dua negara terpisah supaya yang satu tidak bertindak sewenang-wenang terhadap yang lain.Â
Israel sendiri menolak two-state solution. Mereka tidak menghendaki adanya negara Palestina berdaulat. Mereka tetap hendak menjalankan "solusi" yang saat ini tengah berjalan, yaitu pemusnahan massal rakyat Palestina demi terbentuknya negara Israel yang bebas dari "gangguan" Arab.Â
Keengganan Israel untuk mengimplementasikan two-state solution saja dapat mendukung argumen bahwa "solusi" ini merupakan jalan buntu. "Solusi" ini terlepas dari kenyataan yang dihadapi oleh rakyat Palestina---sipil maupun militer---setiap hari. Mengapa demikian?Â
Two-state solution merupakan "solusi" yang memerlukan negosiasi sehat dari pihak Palestina dan Israel. Negosiasi ini melibatkan perundingan-perundingan mengenai gencatan senjata, garis batas negara, hukuman terhadap pelaku kejahatan perang dari kedua belah pihak, dan masih banyak lagi. Keengganan Israel untuk menerapkan "solusi" ini telah mengeliminasi kemungkinan adanya negosiasi apa pun. Israel terus-menerus menjatuhkan bom dan menghujankan peluru ke rumah sakit, sekolah, universitas, rumah warga, serta pusat pengungsian yang terletak di Jalur Gaza maupun Tepi Barat. Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, dibunuh. Penerusnya, Yahya Sinwar, dibunuh pula. Padahal Hamas merupakan elemen penting dari pemerintahan Palestina. Tidak cukup sampai di situ, pemimpin Hizbullah---partai politik Islam militan Lebanon dan sekutu utama Hamas---yaitu Hasan Nasrallah, juga dibunuh. Selain tiga orang krusial tersebut, Israel telah membunuh rakyat sipil Palestina yang terdiri dari anak-anak, orang dewasa, orang lansia, perempuan hamil, tenaga medis, jurnalis, pemuka agama, dan lain-lain. Kekejaman-kekejaman Israel telah menunjukkan penolakan kerasnya terhadap two-state solution. Bila pemusnahan massal dan pembunuhan negosiator-negosiator kunci masih berlangsung, gencatan senjata saja hanyalah sekadar angan-angan, apalagi berdirinya dua negara terpisah yang sama-sama berdaulat. Posisi negara-negara yang mendukung two-state solution adalah posisi yang naif, posisi yang buntu, posisi yang tidak mempertimbangkan fakta-fakta.Â
Andaikata "solusi" ini benar-benar akan diterapkan. Katakanlah Israel tiba-tiba menghentikan genosida dan bersedia berunding dengan Palestina demi terbentuknya dua negara terpisah. Lalu apa?Â
Negara Palestina akan dibentuk melalui perundingan yang mengedepankan two-state solution. Wilayah manakah yang akan dimiliki Palestina? Jalur Gaza? Dibombardir 24 jam setiap hari dalam seminggu. Tepi Barat? Sudah ada wilayah pendudukan Yahudi di sana. Bersediakah Israel menghentikan pemusnahan massal dan memindahkan wilayah pendudukan dari sana? Terlepas dari kenyataan, katakanlah bersedia. Apakah adil bagi Palestina bila wilayah yang diberikan kepada mereka hanya Jalur Gaza dan Tepi Barat? Tentu tidak, karena tanah yang dicuri Israel jauh lebih luas daripada dua wilayah itu. Bila two-state solution hendak diterapkan seadil-adilnya, Israel sebagai penjajah harus mengembalikan seluruh wilayah jajahan kepada Palestina. Namun, bukankah seluruh bekas wilayah Palestina adalah wilayah jajahan Israel? Bukankah itu berarti Israel harus menyerahkan seluruh wilayahnya kepada Palestina? Dengan begitu, bukankah negara Israel akan bubar sepenuhnya?Â
Di sinilah terletak kecacatan lain dari two-state solution. "Solusi" ini bersifat tidak adil bagi rakyat Palestina yang terjajah. "Solusi" tersebut dibungkus sebagai solusi yang menguntungkan kedua belah pihak, terjajah maupun penjajah. Padahal tidak demikian. Ilustrasi di atas menyebutkan konsekuensi yang adil bila "solusi" ini akan diterapkan. Lain halnya dengan niat negara-negara imperialis Barat yang mendukung two-state solution. Mereka---terutama Amerika Serikat---alih-alih menghendaki penerapan yang konsekuen dari two-state solution, justru menghendaki tetap adanya negara Israel di Timur Tengah. Tanpa adanya Israel, negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, Lebanon, Iran, dan Yaman akan lebih berani menentang imperialisme Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan didukung mati-matian oleh Israel. Bila imperialisme Barat mendapat tekanan hebat di Timur Tengah, sumber daya-sumber daya berharga seperti minyak, akses ke Terusan Suez, pasar teknologi serta lahan investasi di Arab Saudi, Qatar, atau pun Uni Emirat Arab, dan lain-lain berpotensi lepas dari genggaman mereka. Demikian dapat disimpulkan bahwa two-state solution bukanlah win-win solution, karena lebih mementingkan kepentingan imperialisme Barat daripada kesejahteraan dan kedaulatan rakyat bagi Palestina. Dapat disimpulkan pula, bahwa bila pun Israel dan Palestina dipisah, Palestina tetap akan berada di bawah tekanan hebat dari Israel khususnya dan imperialisme Barat umumnya.Â