Di era digital yang berkembang pesat saat ini, istilah "FOMO" atau "fear of missing out" telah menjadi bagian dari bahasa sehari-hari. FOMO menggambarkan kecemasan yang dialami seseorang ketika mereka merasa orang lain mendapatkan pengalaman yang lebih baik atau informasi yang lebih menarik, sementara mereka merasa tertinggal. Fenomena ini telah mengubah cara kita berinteraksi dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita, baik secara pribadi maupun sosial.
Istilah FOMO pertama kali diperkenalkan oleh ahli strategi pemasaran Dr. Dan Herman pada awal tahun 2000-an. Namun, fenomena tersebut sudah ada jauh sebelum istilah tersebut diciptakan. FOMO mengacu pada ketakutan atau kecemasan yang terjadi ketika seseorang merasa kehilangan peluang, pengalaman, atau informasi penting yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Dengan berkembangnya teknologi dan jejaring sosial, FOMO menjadi semakin nyata dan meresap dalam kehidupan kita. Platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter memungkinkan kita melihat kehidupan orang lain secara real time, sehingga kita mudah merasa tersisih atau terisolasi.
Media sosial berperan besar dalam meningkatkan FOMO. Ketika teman atau kenalan terus-menerus berbagi pembaruan status, foto liburan, pesta, atau pencapaian profesional, kita sering merasa kehidupan orang lain lebih menarik dan memuaskan daripada kehidupan kita sendiri. Hal ini dapat menimbulkan perasaan iri, cemas, dan tidak puas terhadap apa yang kita miliki.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh University of Essex, FOMO tidak hanya memengaruhi kesehatan mental tetapi juga dapat memengaruhi kualitas tidur dan kebahagiaan secara umum. Orang yang sering mengalami FOMO cenderung memiliki kecemasan yang lebih tinggi dan merasa kurang puas dengan hidupnya.
FOMO tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga interaksi sosial. Orang yang mengalami FOMO mungkin merasa perlu untuk tetap terhubung dengan media sosial untuk memastikan mereka tidak ketinggalan informasi atau peristiwa penting. Hal ini dapat menimbulkan ketergantungan terhadap teknologi dan menurunkan kualitas interaksi tatap muka.
Selain itu, FOMO juga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Misalnya, seseorang mungkin memaksakan diri untuk menghadiri acara yang sebenarnya tidak ingin mereka hadiri hanya karena takut ketinggalan. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan sosial dan kurangnya kepuasan dalam pengalaman kehidupan nyata.
Mengatasi FOMO membutuhkan kesadaran diri dan mengubah cara kita berinteraksi dengan media sosial dan teknologi. Berikut ini beberapa strategi yang dapat membantu:
1.Batasi penggunaan media sosial: Coba tetapkan waktu tertentu untuk memeriksa media sosial dan hindari menghabiskan terlalu banyak waktu tanpa tujuan untuk menelusurinya.
2.Fokus pada kehidupan nyata: Menjauhlah dari layar dan fokus pada aktivitas yang memberikan kepuasan nyata, seperti hobi, olahraga, atau berkumpul langsung dengan keluarga dan teman.
3.Latih mindfulness: Teknik mindfulness dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan kesadaran akan momen saat ini, sehingga kita dapat menikmati apa yang kita miliki alih-alih mengkhawatirkan kekurangan kita.