Setap manusia ciptaan Tuhan, sejatinya mewarisi sifat dan watak positif di dalam dirinya sekalipun di sisi lain oleh karena kejatuhan leluhurnya ke dalam dosa, mereka memiliki ketidaksempurnaan untuk berpikir dan bertindak berbagai hal yang dianggap tidak baik.
Akan tetapi setiap orang yang memiliki sifat dasar berpelilaku baik, akan tetap berusaha dan mempertahankan nilai-nilai kebaikan dalam hati, pemikiran maupun tindakannya. Hal ini sangat dimungkinkan oleh semua orang lewat usaha yang disadari dan dijalankan dengan kesungguhan hati.
Adapun bagi oleh orang lain yang menilai sesorang adalah sebagai orang yang baik , dapat bersifat subjektif maupun obyektif dari berbagai sudud pandang atau kepentingan tertentu.
Tulisan ini merupakan pemikiran filasafat, tidak masuk terlalu jauh pada prinsip-prinsip hukum ajaran berbagai agama, dengan asumsi mereka yang tergolong orang baik adalah pemeluk agama yang taat yang menjalankan hukum secara konsekwen sesuai ajaran agama sebagai perintah Ilahi yang mutak dan wajib dijalankan.
Namun sebagai warga negara, di negara manapun, memerlukan "Hukum Manusia" baik itu peraturan dan perundang-undangan yang mengikat wargana negaranya, yang dirumuskan berdasarkan berbagai pemikiran, kajian yang diberlakukan menurut mekanisme ketatatanegaraan atau sistem hukum yang berlaku pada negara tertentu dan tentu saja mengadopsi dari praktik hukum atau nilai-nilai etika yang berlaku secara universal.
Menurut Robertson, dalam buku "Kejahatan terhadap kemanusiaan", Halaman 90. Hukum diartikan sebagai seperangkat aturan yang dibuat dan diberlakukan oleh lembaga sosial atau pemerintah untuk mengatur tingkah laku. Sekalipun dapat diperdebatkan dan muncul definisi dan teori hukum yang berbeda. Namun pada hakekatnya memiliki semangat dan tujuan yang sama.
Filsafat hukum biasa dikenal dengan yurisprudensi. Yurisprudensi normatif bertanya "apa seharusnya hukum?", sedangkan yurisprudensi analitik bertanya "apa itu hukum?" ("what should law be?", while analytic jurisprudence asks "what is law?")
Sedangkan Philosophy (filsafat), menurut Encyclopdia Britannica. 23 February 2021 Tentang Definition, Systems, Fields, Schools, & Biographies". Menjelaskan bahwa adalah studi sistematis tentang pertanyaan umum dan mendasar, seperti tentang keberadaan , akal , pengetahuan , nilai , pikiran , dan bahasa.
Dewasa ini. menurut Kamus Merriam-Webster tentang "Epistemologi" yang Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Mei 2020 . Menjelaskan bahwa Saat ini, subbidang utama filsafat akademik termasuk metafisika , yang berkaitan dengan sifat dasar dari keberadaan dan realitas ; epistemologi , yang mempelajari hakikat pengetahuan dan kepercayaan ; etika , yang berkaitan dengan nilai moral ; dan logika , yang mempelajari aturan inferensi yang memungkinkan seseorang memperoleh kesimpulan dari premis yang benar . Subbidang penting lainnya termasuk filsafat agama , filsafat ilmu, filsafat politik , estetika , filsafat bahasa , dan filsafat pikiran.
Sehingga sesungguhnya Judul tulisan ini, sengaja disederhanakan sesuai pemikiran penulis dari kutipan aslinya, yaitu dari tokoh penting, Plato sang filusuf yang tersohor itu, yang mengemukakan bahwa
"Good people do not need laws to tell them to act responsibly, while bad people will find a way around the laws".
( Orang baik tidak membutuhkan hukum untuk menyuruh mereka bertindak secara bertanggung jawab, sementara orang jahat akan mencari jalan keluar dari hukum)
Bahasa Aslinya
“Οι καλοί άνθρωποι δεν χρειάζονται νόμους για να ενεργούν υπεύθυνα, ενώ οι κακοί άνθρωποι θα βρουν τρόπους να τους παρακάμψουν”
Plato, yang hidup antara 427 SM - 347 SM adalah seorang filsuf Yunani Kuno penulis philosophical dialogues dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia ini.
Kutipan tersebut, menimbulkan kontradiksi dalam proses menerjemahkan dari bahasa Yunani asli ke bahasa Inggris sederhana. Sehingga Beberapa orang menerjemahkan kutipan tersebut sebagai
"Laws are made to instruct the good, and in the hope that there may be no need of them; also to control the bad, whose hardness of heart will not be hindered from crime." (Hukum dibuat untuk mengajarkan yang baik, dan dengan harapan mungkin tidak diperlukan lagi; juga untuk mengendalikan kejahatan, yang kekerasan hatinya tidak akan terhalang dari kejahatan)
Ini menyiratkan bahwa dibutuhkan hanya sedikit upaya yang dilakukan untuk mengatur orang baik dan banyak usaha yang diiperlukan untuk mengatur orang jahat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang baik selalu mematuhi hukum, begitu hukum atau peraturan perundang-undangan dibuat. Sementara, orang jahat melakukan kejahatan dengan impunitas (pembebasan dari hukuman atau kehilangan atau melepaskan diri dari denda ) khususnya di hadapan hukum. Namun, bukan berarti hukum tidak berguna dan tidak berdaya dan orang baik cukup bijaksana untuk memutuskan sendiri baik dan buruknya.
Jika lebih lanjut dijelaskan sesuai pandangan saya, mungkin saja berbeda dengan orang lain. Namun saya anggap suatu kewajaran. Benar ataupun salah, menjadi penilaian anda. Selanjutnya dapat mengkritisinya.
Pertama bahwa, moralitas rasanya tidak berlaku secara universal dalam hal tertentu. Apa yang dianggap moral oleh satu orang atau budaya bukanlah apa yang mungkin dianggap oleh orang atau budaya lain. Di era globalisasi, ketika peleburan lintas budaya yang cepat, beberapa standar undang-undang sangat dibutuhkan. Bahkan, ketika orang baik dengan tingkat moralitas tinggi, berpindah dari satu negara ke negara lain, memerlukan aturan hukum negara baru. Undang-undang yang menginfeksi menyelamatkan orang-orang baik dari gangguan yang tidak diinginkan.
Juga ada hukum atau peraturan yang tidak ada hubungannya dengan kebaikan atau keburukan moral, seperti undang-undang lalu lintas. Undang-undang mengatakan setiap orang harus mengemudi di sisi kanan itu tidak berarti bahwa ada penilaian moral di sisi jalan mana yang Anda kendarai, itu hanya untuk membakukan praktik mengemudi karena lebih nyaman dan aman jika semua orang mengemudi di sisi yang sama.
Hukum juga membimbing orang baik bagaimana memenuhi tanggung jawab mereka. Dengan kata lain, empati perlu dipadukan dengan kebijaksanaan agar efektif. Orang terlihat "kurang cerdas" ketika berempati berkeliaran mencoba membantu orang, tetapi dia dapat saja akan memperburuk keadaan. Tapi begitu dia tahu cara yang tepat, maka akan lebih terinformasi dan waspada dalam perbuatannya. Inilah undang-undang yang memberi orang-orang rasional penuh untuk tindakan mereka dan konsekuensinya.
Ketika berbicara hukum dalam ajaran agama, ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh orang-orang baik juga. Tapi begitu ajaran Agama yang mereka pegang teguh dan diyakini dengan sungguh-sungguh maka mereka tidak akan melanggar "hukum Tuhan", juga ketika pemeluknya secara segaja menghindarinya atau melanggarnya. Akibatnya, ketuhanan mengikat pengikutnya.
Sekarang hal yang perlu direnungkan adalah bagaimana orang jahat menemukan jalan keluar dari hukum. Jawabannya adalah lembaga penegak hukum yang ompong, dan prosedur yang berbelit-belit yang memakan waktu, serta tak lupa menghabiskan uang negara dalam penyelidikan, penyidikan hingga penindakan hukum (persidangan), hitung saja berapa kasus korupsi yang ditangani yang melibatkan berbagai institusi yang juga memiliki tugas pengawasan terhadap internal lingkup institusi tersebut. Sehingga bukan hukum itu sendiri yang salah. Hukum tidak lebih dari kata-kata tertulis di selembar kertas. Pertama-tama, adalah tanggung jawab lembaga penegak hukum negara untuk menegakkan hukum minimal dengan semangat yang sebenarnya.
Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Mentri keuangan, Sri Mulyani dalam kasus di kementeriannya belakangan ini dan masih viral, bahwa ada celah peraturan maupun hukum dimanfaatkan oleh oknum pejabat dengan niat jahat sangat dimungkinkan. Seperti kesepakatan yang agak sulit terdeteksi yaitu adanya *deal-deal ) kesepakatan) antara wajib pajak dengan petugas atau bersama pejabat pajak.
Begitu pula seperti yang dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan bahwa soal pasal pesanan dalam pembentukan undang-undang (UU) yang disebutkannya banyak terjadi dan merupakan data lama.
Lebih lanjut menurutnya, tidak jarang ada pasal-pasal pesanan atau aturan hukum yang dibeli untuk kepentingan tertentu dalam proses legislasi sebuah peraturan perundang-undangan. Pasal-pasal pesanan itu, kata Mahfud, tidak hanya muncul dalam undang-undang, tetapi juga peraturan daerah.
Maka, meskipun dibutuhkan banyak upaya untuk menegakkan hukum terhadap orang-orang yang tidak percaya akan Tuhan dan menjadi ugal-ugalan, namun hukum membuat orang jahat menjadi tidak nyaman. Ketakutan akan hukum selalu ada. Seandainya undang-undang tidak ada sama sekali, tingkat kejahatan akan jauh lebih tinggi. Ketakutan akan hukumanlah yang memaksa penjahat untuk melakukan kejahatan terselubung jika tidak, kejahatan akan terjadi secara lebih terbuka. Jadi hukum mencoba untuk mengontrol pelaku yang salah setiap kali mereka melakukan kejahatan.
Lebih jauh lagi, pelanggaran terhadap ketuhanan hukum tidaklah mudah. Masyarakat yang menganut agama tertentu memiliki pegangan yang kuat terhadap pelaksanaan hukum agama. Jika ada kontradiksi yang muncul maka hukuman sosial tidak terhindarkan yang lebih menyiksa daripada putusan hukum.
Hukum ilahi atau buatan manusia, selalu menjamin keamanan dan kemajuan umat manusia. Namun demikian, hukum buatan manusia perlu diubah sehubungan dengan waktu dan keadaan. Hukum tidak hanya menghalau orang yang salah tetapi juga membimbing orang baik bagaimana memenuhi tanggung jawab. Mereka yang menemukan jalan keluar dari hukum buatan manusia seringkali dihadapkan pada tugas tersebut oleh hukum alam. Jadi melarikan diri dari hukum hampir tidak mungkin.
Pandangan lain yang Relefan
Saya ambil lagi sebuah Kutipan Lain dari Plato Tentang Tindakan yang Baik dari prespektif filsafat yaitu
Good actions give strength to ourselves and inspire good actions in others
Bahasa aslinya
Οι καλές πράξεις παρέχουν δύναμη στον εαυτό μας και εμπνέουν καλές πράξεις και στους άλλους.
Kutipan ini, jka diterjemahkan secara bebas dapat diartikan Tindakan yang baik memberi kekuatan pada diri kita sendiri dan menginspirasi tindakan yang baik pada orang lain
Bagaimana memahaminya secara sederhana, untuk menjadi contoh yang baik. Ini menyiratkan bahwa kita harus berlatih melakukan perbuatan baik sampai mereka terbiasa dan menjadi bagian dari inti keberadaan kita. Dari situ, Anda akan menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Selalu ada penentu tren, orang yang membantu membentuk arah negara dan bahkan dunia. Beberapa diantaranya melakukannya untuk kekuasaan (politisi). Yang lain melakukannya dengan diam-diam dan tanpa gembar-gembor (Bunda Theresa) dan dengan penuh kerendahan hati (Gandhi). Manakah dari orang (atau kategori orang) yang tercantum di atas yang ingin Anda ikuti contohnya?
Jika kita adalah anggota suatu kelompok, apa yang dapat Anda lakukan untuk membantu memperkuat hal-hal positif dan menghilangkan hal-hal negatif dalam kelompok? Apakah anggota organisasi yang membantu anak-anak? Apa yang dapat kita lakukan untuk membantu anak-anak tumbuh dan menjadi lebih baik dari rata-rata, dan dengan demikian, meningkatkan apa yang dianggap rata-rata?
Dimana atau kapan lagi lagi di dalam hidup anda, ketika anda dapat menjadi teladan dari prinsip kemanusiaan yang terbaik dan dipraktekan dengan tulus tanpa pecitraan, meskipun hanya untuk beberapa jam seminggu? Cobalah, Anda mungkin akan terkejut betapa efektifnya hal itu, dan seberapa baik perasaan Anda tentang diri sendiri. Namun perlu diingat bahwa ketika anda terbiasa melakukannya, konsekwensinya jika anda menjadi panutan, maka anda harus menerapkan terlebih dahulu dalam kehidupan anda dan menjaganya. Jika tidak, maka dapat dibayangkan bahwa anda bisa menjadi teladan seperti apa jika hal itu terjadi.
Oleh karena itu berusaha menjadi orang yang baik, bijak dan betakwa perlu usaha dan konsisten. Dengan demikian Hukum apapun yang di berlakukan negara, anda tidak takut dan bahkan sadar atau tidak, dalam melakukan sebuah tindakan dimanapun anda berada, dalam status sosia dan latar belakang ekonomi apapun anda, seolah-olah kepatutan akan hukum itu tidak menjadi beban pikiran bahkan tidak terpikirkan, dengan hanya menjalankan norma dan etika yang baik dengan sungguh-sungguh, tanpa merugikan diri sendiri apalagi orang atau pihak lain.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H