"Perlu saya sampaikan, pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan. Dari mukanya itu kelihatan. Dari penampilannya itu kelihatan. Banyak kerutan di wajahnya karena mikirin rakyat. Ada juga. Ada juga yang mikirin rakyat sampai rambutnya putih semua. Ada. Ada Itu," - Jokowi -
Pernyataan Presiden Joko Widodo tentang ciri pemimpin yang memikirkan rakyatnya. Hal itu diungkapkan Jokowi saat menghadiri silaturahmi relawan Jokowi bertajuk Nusantara Bersatu di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (26/11/2022). Yang sudah banyak diberitakan media.
Dapat dimengerti jika dibaca atau di degar dari pernyataan Presiden tersebut, menimbulkan banyak spekulasi dikalanagan pengamat politik, partai politik, budayawan bahkan masyarakat awam.
Apabila terdapat  kritikan bahwa Presiden tidak tepat atau etis melakukan manuver persoalan politik khususnya terkait siapa calon pengantinya. Saya anggap wajar-wajar saja. Tapi sesungguhnya siapa yang bisa menjawab apakah pernyataan itu menandakan dukungan Presiden terhadap capres tertentu? Nanti dulu. Anda punya presepsi dan spekulasi tersendiri, saya pun demikian.
Bagi saya Presiden Jokowi adalah sosok berdarah jawa dan masih melestarikan petuah dan filosofi jawa yang sarat dengan makana. Sosok beliau yang boleh dianalogikan, masih bisa diterima oleh di akal sehat saya bahwa sebagian besar orang jawa beliau merupakan sosok seorang "Raja"
Saya memang sengaja menulis dengan mengambil prespektif filsafat jawa, karena seorang Jokowilah yang saya pandang memiliki warisan filosfis jawa yang diwejewantahkan secara  Nasional dalam visi dan misinya selama memerintah. Sehingga adanya sentimen negatif terhadap dominasi orang jawa di Indonesia, dapat ditepis dan diterima oleh sebagian besar suku bangsa di negara  kesatuan Republik Indonesia.
Oleh beberapa penulis dan pemerhati budaya, menilai bahwa nilai-nilai kearifan lokal (kepemimpinan) Jawa tergambar didalam berbagai hasil karya budaya, seperti babad, wulang, wayang, suluk, dan sebagainnya. Sebagian besar karya budaya tersebut menguraikan tentang hubungan antara raja dengan rakyat dan raja dengan Tuhan. Sebagai contoh: adegan pertama (jejeran) pada petunjuk wayang kulit purwa.Â
Dikisahkan bahwa raja (pemimpin) yang utama (terpuji dan berderajat tinggi) jika memiliki dan mengimplementasikan sifat berbudi (memberi hadiah/ ganjaran dan memberi penghargaan bagi yang berjasa bagi bangsa dan negara) bawaleksana (segala sesuatu yang diucapkan/ diperintahkan tidak dapat ditarik/ diubah harus dapat dilaksanakan sebaik-baiknya).
Ungkapan yang mengandung filosofi moralitas kepemimpinan juga terdapat pada sabda pandhita ratu tan kena wola-wali, secara harfiah artinya adalah ucapan pendeta dan raja tidak boleh diulang-ulang.
Maknanya adalah bahwa seorang pemimpin haruslah konsekwen untuk melaksanakan atau mewujudkan apa yang telah diucapkannya, apapun akibatnya. Dalam khasanah bahasa Indonesia sebenarnya kita pun memiliki ungkapan semacam itu, yaitu satunya kata dan perbuatan (Sujamto, 1992: 21; G. Moedjanto, 1987: 35; Sunoto, 1987: 42).