Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Money

Kisah Kisruh di Balik Kesuksesan Mbak Tutut Menangi Sengketa Saham TPI

15 April 2011   00:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 4068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13028285952105781200

[caption id="attachment_102359" align="aligncenter" width="417" caption="Mbak Tutut"][/caption]

Seperti yang diberitakan dua mediaonline terkemuka di Indonesia detiknews dan Harian Kompas (Kamis 14/04/2011), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan pihak Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) yang menuntut pengembalian saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang sekarang bernama MNC TV dari tangan Hary Tanoesoedibjo.

"Majelis memutuskan menghukum para tergugat (Hary Tanoe) untuk mengembalikan TPI seperti sebelum 18 Maret 2005. Menghukum untuk membayar ganti rugi materil kepada penggugat (Tutut) sebesar Rp 680,25 miliar plus bunga 6% per tahun sampai lunas," jelas Hakim Ketua Tjokorda Rae Suamba dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Kamis (14/4/2011).

Tjokorda mengatakan, rapat umum pemegang saham (RUPS) yang dilakukan pihak Tutut pada 17 Maret 2005 adalah sah, meskipun dulu hasil RUPS tak bisa didaftarkan ke Sisminbakum. Sementara RUPS 18 Maret 2005 yang dilakukan pihak Hary Tanoe dibatalkan dan tidak sah.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyimpulkan RUPS yang dilakukan pihak Hary Tanoe tidak sah dan pemblokiran RUPS dari pihak Tutut adalah tidak sesuai hukum.

Seperti diketahui, pihak Tutut menyatakan pihak PT Berkah Karya Bersama (Hary Tanoe) menggunakan surat kuasa yang tidak berlaku lagi dalam melakukan RUPS LB TPI pada 18 Maret 2005. "Selain itu terjadi pemblokiran akses Sisminbakum oleh PT SRD saat Tutut mau mendaftarakan hasil RUPS LB versinya di 17 Maret 2005," paparnya.

Gugatan ini diajukan oleh Tutut yang mengaku memiliki 75% sahamnya di TPI direbut secara tidak sah oleh PT Berkah Karya Bersama. Sehingga dirinya hanya memiliki saham 25%.

Dalam proses mediasi sebelumnya, Berkah menawarkan pembelian saham 25% milik Tutut. Namun, putri sulung Soeharto itu bersikeras Berkah harus melaksanakan terlebih dahulu seluruh perjanjian investasi tertanggal 23 Agustus 2002.

Perjanjian investasi itu ditandatangani terkait utang yang telah jatuh tempo yang membeli di tubuh TPI. Disebutkan dalam investment agreement tersebut Berkah mempunyai kewajibannya menyediakan dana mencapai US$ 55 juta dan paling banyak sebesar US$ 65 juta. Yang nantinya dipakai untuk membeli kembali utang kredit yang telah jatuh tempo.

Namun yang terjadi, Berkah mendapatkan 75% saham TPI yang sebelumnya dimiliki 100% oleh Tutut. Inilah yang menjadi keberatan pihak Tutut. Saat ini pihak Hary Tanoe telah mengubah nama TPI menjadi MNC TV.

Bagaimana sebenarnya kisruh ini bermula? DetikNews (02/07/2010)

TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari.

TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada.

Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki kinerja keuangan yang baik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut pada pertengahan 1990-an.

Secara berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun itu.

Mbak Tutut pun yang saat itu juga terbelit utang maha besar kelimpungan. Di satu sisi dirinya menghadapi ancaman pailit, di sisi lain utang TPI juga terancam tak terbayar.

"Di tengah kondisi tersebut, Mbak Tutut meminta bantuan kepada saya untuk membayar sebagian utang-utang pribadinya," ungkap Hary Tanoe, Kamis (2/7/2010).

Sebagai catatan, Hary Tanoe saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Bimantara Citra merupakan perusahaan kongsi antara Bambang  Trihatmojo, adik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe dan kawan-kawan.

"Akhirnya kami sepakat untuk membayar sebagian utang mbak Tutut sebesar US$ 55 juta dengan kompensasi kami akan mendapat 75% saham TPI," jelas Hary.

Oleh sebab itu, kedua belah pihak yakni pihak Mbak Tutut dengan pihak Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama (BKB) menandatangani investment agreement pada 23 Agustus 2002 dan ditandatanganinya adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI kepada BKB pada Februari 2003.

"Investment agreement dan adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI ini ditandatangani Mbak Tutut dan saya," ujarnya.

Hary menjelaskan, dana sebesar US$ 55 juta itu digunakan untuk penyertaan modal sebesar US$ 25 juta serta refinancing utang Mbak Tutut sebesar US$ 30 juta.

"Meskipun perjanjiannya US$ 55 juta, realisasi dana yang kita keluarkan mendekati US$ 60 juta. Tapi tidak apa-apa, namanya juga membantu," ujarnya.

Hary menegaskan, dengan perjanjian itu maka kepemilikan TPI sebesar 75% boleh dibilang sudah berada di bawah kepemilikan Bimantara Citra. Namun selanjutnya, Mbak Tutut melayangkan surat kepada BKB pada 20 Desember 2004. Isinya meminta kembali 75% saham TPI yang sudah dipindahtangankan kepada BKB dan Mbak Tutut menjanjikan akan melakukan due diligence (uji tuntas) untuk membayar kompensasi gantinya.

"Tapi dalam surat itu, Mbak Tutut tidak menjelaskan detil mekanisme pembayarannya dan sebagainya. Jadi kami memutuskan membahas dulu permintaan tersebut di internal kami," jelasnya.

Pada 7 Maret 2005, para petinggi Bimantara Citra, induk BKB, menggelar rapat internal. Rapat ini menghasilkan 3 opsi yang akan ditawarkan kepada Mbak Tutut.

Opsi pertama, BKB menjual 75% saham TPI yang dimilikinya kepada Mbak Tutut seharga Rp 630 miliar. Opsi kedua, BKB membeli 25% saham TPI yang dimiliki Mbak Tutut senilai Rp 210 miliar. Opsi ketiga, jika Mbak Tutut tidak mengambil sikap maka kepemilikan saham di TPI tetap BKB sebesar 75% dan Mbak Tutut 25%.

"Pada 8 Maret 2005, kami menyampaikan 3 opsi tersebut kepada Mbak Tutut. Dan pada 10 Maret 2005, kami melayangkan surat pemanggilan RUPS kepada seluruh pemegang saham TPI untuk membahas opsi-opsi tersebut dalam rapat yang  dijadwalkan pada 18 Maret 2005," jelas Hary.

Mbak Tutut pun didaulat harus menyampaikan opsi yang dipilihnya paling lambat pada 17 Maret 2005, agar RUPS dapat membahas mengenai opsi yang dipilih Mbak Tutut.

"Tapi sampai 17 Maret, Mbak Tutut tidak memberikan opsi yang diambil olehnya. Oleh sebab itu, RUPS 18 Maret 2005 memutuskan opsi ke 3, yakni kepemilikan tetap BKB 75% dan Mbak Tutut 25%," ujarnya.

Namun menurut Hary, Mbak Tutut kemudian mengklaim telah menggelar RUPS sendiri pada 17 Maret 2005 yang menghasilkan keputusan bahwa 75% saham TPI kembali ke tangan Mbak Tutut.

"RUPS ini sebenarnya cacat hukum. Pertama, RUPS 17 Maret tidak diketahui oleh jajaran direksi dan komisaris TPI lainnya, kecuali 1 orang saja yang menandatangani RUPS. Direktur ini adalah orang yang ditempatkan Mbak Tutut di jajaran direksi. Kedua, RUPS 17 Maret dilakukan tanpa melalui proses pemanggilan pemegang saham," papar Hary.

"Ketiga, RUPS digelar dengan alasan Mbak Tutut telah membatalkan secara sepihak adendum surat kuasa pengambilalihan 75% saham TPI ke BKB yang telah ditandatangani pada Februari 2003. Padahal, surat kuasa yang dimaksud ditandatangani oleh dua pihak, sehingga tidak dapat dibatalkan sepihak oleh Mbak Tutut," imbuh Hary.

Selain itu, Mbak Tutut juga menuding Hary Tanoe dengan saudaranya Hartono Tanoe yang menjadi Komisaris di PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) sengaja membuat hasil RUPS 17 Maret 2005 tidak dapat dimasukkan ke dalam Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum), seperti yang dikuak oleh Yohanes Waworuntu.

Namun menurut Hary, alasan ini terlalu dibuat-buat. Hary menegaskan, pertama, baik Bimantara Citra, PT Bhakti Investama Tbk (BHIT) maupun PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) tidak memiliki saham di SRD.

"Kedua, kalau kita bisa memblokir Sisminbakum, negara ini sudah kita kuasai. Mana bisa kita melakukan itu? Saya kira alasan ini terlalu dibuat-buat yang tujuannya satu, merebut kembali TPI dengan cara-cara yang tidak baik," ujarnya.

Tak berhenti sampai disitu, mendadak pada 23 Juni 2010, Mbak Tutut kembali menggelar RUPS yang kemudian menunjuk Ketua Umum Partai Patriot Pancasila Japto Soerjosoemarno sebagai Direktur Utama TPI bersama 3 orang jajaran direksi lainnya.

Landasan Mbak Tutut mengadakan RUPS tersebut adalah dikeluarkannya surat Pejabat Pelaksana Harian (Plh) Direktur Perdata Kementerian Hukum dan HAM, Rieke Amavita bertanggal 8 Juni 2010 yang menyebutkan bahwa Menteri Hukum telah membatalkan surat-surat pengesahan anggaran dasar TPI.

Kubu Mbak Tutut mengklaim, keberadaan surat tersebut dengan sendirinya membatalkan susunan direksi dan komisaris TPI yang sekarang menjabat. Sementara kubu Hary Tanoe mempertanyakan status surat yang dikeluarkan oleh Rieke tersebut. Menurut Hary, surat tersebut secara hukum tidak dapat membatalkan keputusan RUPS 18 Maret 2005.

Kendati demikian, kubu Mbak Tutut terus melakukan berbagai upaya merebut TPI. Bahkan pada 26 Juni 2005, Japto bersama orang-orangnya mendatangi kantor TPI guna mengklaim dan menduduki kantor tersebut. Kubu Hary Tanoe pun melaporkan upaya pendudukan tersebut ke pihak kepolisian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun