Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjalanan

15 Mei 2022   12:34 Diperbarui: 15 Mei 2022   12:37 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Emanu, sumber: Unsplash.com   

Lea dan Osa

Perubahan besar terjadi pada Osa, hanya setelah dia melihat Lea menitikkan air mata. Padahal tangisan itu sangat tidak jelas. Lea diam, tidak menjelaskan apapun yang dipikirnya dan Osa tidak akan mendesak.

Iva sebagai manajer Osa sangat paham pengaruh Lea dalam kegiatan cowok itu. Maka, ketika Osa menunjukkan tiket terpagi dari Sumba menuju Jakarta hanya berdua dengan Lea, dia membiarkannya. Nael harus aku beri cerita lain, batin Iva tentang produser film dokumenter yang sedang syuting dengan aktor tunggal Osa.

Hari masih gelap ketika Osa sudah sampai di depan pintu kamar hotel. Ketukan baru tiga kali tapi Lea langsung membukanya. Dia sudah berpakaian lengkap dengan koper di sampingnya. Osa hanya tersenyum lalu menarik koper tersebut. Tangan satunya langsung menggenggam tangan Lea yang dingin. Entah karena AC atau memang mood Lea yang negatif mempengaruhi suhu telapak tangannya.

Lea membiarkan apapun yang dilakukan Osa padanya. Selain dia merasa nyaman, harus diakuinya, dia juga sangat sadar kapan lagi digenggam Osa, aktor ganteng idola cewek seuniverse dan metaverse. Setelah ini pun dia tidak yakin masih akan bertemu cowok ini. Apalagi setelah dia menceritakan semuanya pada Osa.

Dalam diam mereka berjalan keluar, memberikan kunci kamar ke lobi dan masuk ke taksi yang menunggu di depan pintu masuk. Genggaman Osa terlepas ketika Lea mengurus administrasi di lobi. Setelah itu, dia tidak memberi celah untuk cowok itu mendapatkan tangannya lagi. 

"Aku harus menelpon klien yang aku tinggalkan," kata Lea menjelaskan ketika kedua tangannya harus sibuk dengan HP, bolpen dan catatan.

Osa hanya tersenyum paham. Sepanjang perjalanan ke bandara, taksi hanya berisi suara Lea menelpon sana sini, membuat appointment baru dan menghubungkan pengacara lain untuk para kliennya.

"Boss kamu ...," suara Osa terputus ketika Lea memberikan jarinya di bibirnya tanda Osa tidak boleh bicara. Cewek itu menelpon seseorang lagi. Masih kliennya.

Ketika sampai di bandara, semua urusan check-in dan masuk ke gate dilakukan oleh Osa. Lea sibuk dengan catatannya. 

"Kamu tidak bawa tas, Os?" Lea tiba-tiba sadar sedari tadi Osa hanya menarik koper kecilnya. Jaket bomber Osa seperti sudah cukup untuk membawa segala keperluan cowok itu.

"Kamu sudah siap ngobrol?" jawab Osa dengan sabar. Lea menggeleng.

Peruntungan belum di pihak Osa. Kursi di ruang tunggu penuh, ada dua yang kosong tapi terpisah. Terpaksa mereka duduk tidak berdampingan. Masih ada harapan di dalam pesawat, pikir Osa. Dia rindu menyentuh tangan Lea.

Di ruang tunggu mereka duduk terpisah tapi sedikit berhadapan, agak serong beberapa kursi. Namun Oosa tidak mau mengambil resiko dengan mengajak Lea bicara. Selain Lea mungkin tetap diam, dia harus menyembunyikan diri dari publik. Walau sepertinya orang di bandara tidak ada yang mengenalinya.

Kecuali petugas check-in tadi. Untung bapak-bapak senior, jadi tidak terlalu heboh ketika membaca namanya.

Akhirnya boarding tiba, Osa melihat Lea nampak bosan. Dia sudah selesai dengan klien dan catatannya. Wajahnya masih keruh tapi kelihatan berusaha menyunggingkan senyuman untuk Osa.

Cowok itu mengulurkan tangannya ketika mereka berdekatan akan jalan ke pesawat. Lea menyambut tangannya dan Osa menggenggamnya erat, berjanji dalam hati tidak akan melepaskannya selama di pesawat.

Satu hal yang tidak diduga Osa ketika mereka sudah sampai di tempat duduk mereka. Lea menguap panjang, meminta seat di dekat jendela. Memasang ransel kecilnya di samping, cewek itu menata diri untuk tidur. Lea hanya butuh memejamkan mata untuk sedetik saja bisa terlempar ke pulau mimpi. Kedua tangannya bersidekap.

Selama kurang lebih setengah jam Osa sendirian. Dia terlelap sebentar ketika lelah menunggu Lea bangun. Dia sangat tahu, Lea mudah tidur dan sangat susah dibangunkan. Cowok itu menghibur diri dengan kedekatannya dengan Lea, walau cewek itu hanya tidur melulu.

"Hm, masih lama, Os?" suara Lea membangunkannya ketika dia terlelap untuk kedua kalinya. Dia paham Lea butuh tidur, mungkin semalaman dia menangis lagi. Tidur dengan posisi duduk pasti melelahkan cewek itu.

"Kamu mau keluar, ke kamar mandi?" tawar Osa yang duduk di dekat aisle. "Meluruskan kaki yang kaku yang lama tidak bergerak?"

"Kamu mengejekku, ya?"

Osa lega Lea sudah bisa diajak bercanda. Cewek itu menurut, dia mencoba berdiri dan berjalan di gang menuju kamar mandi yang kebetulan antri.

"Kamu nggak bilang sebentar lagi kita mendarat?" kata Lea kesal ketika kembali ke tempat duduk. "Kamu juga tidak membangunkan aku. Aku mau ambil foto awan-awan sebelum silau kena matahari terbit."

Osa memilih Lea marah dan kesal daripada menangis. Dia layani omelan Lea yang sudah kembali seperti biasanya. 

"Masih dua jam, ini juga matahari belum nampak, lihat saja jendelamu," kata Osa sambil tersenyum. 

"Eh, kamu bilang apa sama Iva?" Lea ingat manajer Osa yang galaknya melebihi kucing kelahi.

"Aku cuma menunjukkan tiket kita."

"Oh, dia langsung paham, ya? Kalau Nael produser kamu?"

"Dia bilang aku butuh break setelah full syuting beberapa hari. Peruntungan ada di pihakmu, Lea."

"Kenapa aku untung?"

"Bisa aku antar."

Lea tidak tahu apakah dia beruntung. Dari sisi Osa sebagai seleb, dia sangat beruntung mendapat perhatian spesial dari Osa. Tapi dari apa yang dia rasakan, semuanya serba tidak jelas, ketidakpastian bukan sesuatu yang menguntungkan. 

Dia ingin segera kembali ke Jakarta karena perasaannya pada Osa semakin kuat, Sumba juga mengingatkan proses ini yang sangat tidak menyenangkan.

Lea menghabiskan waktu sekolah SD dan SMP di Sumba. Maka, ketika diajak Osa tanpa berpikir panjang dia menyetujuinya. Setelah SMP, dia tidak pernah lagi menginjakkan lokasi ini. Pengalaman waktu kecil pun tidak banyak, karena semua serba bergantung pada orang tua.

Selain itu, cinta monyet yang terjadi di Sumba berhasil dia lupakan. Hanya saja, pantai dan air memancing semua ingatan yang sudah hilang di memori. 

Waktu SD, Lea suka sama cowok yang sangat populer di sekolahnya. Wajar, kan? Cowok itu cakep, juara, ramah dan jago musik. Semua orang mudah jatuh cinta padanya, termasuk Lea. Keberuntungan di pihaknya karena cowok itu pindah rumah menjadi tetangganya satu gang.

Mereka sering berangkat ke sekolah bersama, satu kelas di kelas V dan VI walau tidak sebangku. Ketika SMP juga di sekolah yang sama. Tidak ada pengumuman tentang hubungan mereka. Tapi Lea merasa sangat dekat dengan cowok itu, sahabat, bahkan mungkin seperti saudara karena orang tua mereka juga dekat.

Ketika lulus SMP, cowok itu bilang kalau ada teman sekolah yang nembak dia tapi belum dia jawab. Dia ingin tahu pendapat Lea. Namun sebelum semua itu terjadi. Cowok itu meninggal karena tenggelam di suatu kolam renang karena kram perut dan terlambat ditolong. Tragis dan penuh misteri. 

Ketika SMA, keluarga Lea pindah ke Jakarta sampai sekarang.

Lea tidak menduga memori ini mempengaruhi hidupnya saat ini. Hanya saja dia tidak siap menceritakan kepada Osa, dan kepada siapapun. Terlalu sakit dan menyedihkan. Keputusan orang tuanya untuk meninggalkan Sumba sangatlah tepat. Lea tidak menderita terlalu lama.

Namun dia tahu, Osa menunggu ceritanya.

+

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun