"Ada apa?" tanya Osa pendek.
"Sumba mengingatkan aku pada seseorang," jawab Lea. Tapi dia langsung menyesali perkataannya. Osa pasti curiga dan ingin tahu tentang seseorang itu. Padahal membicarakan nama itu membuatnya terlempar ke masa lalu yang pedih.
"Ceritakan."
"Bikin aku sedih. Ga usah saja. Nih, pesanan sudah tiba," jawab Lea. Dia menyibukkan diri menerima menu dan mengatur meja. Osa menatapnya tanpa berkedip.
"Aku tidak tahu kita akan ngomong apa kalau bukan tentang Seseorang itu, Lea," jawab Osa tegas dan menuntut.
"Aku berusaha melupakan orang itu dan berhasil," Lea menghela napas panjang sebelum dia meneruskan. Dia tahu, tidak ada gunanya menyembunyikan apapun dari Osa. Cowok itu pasti tidak berhenti mendesaknya. "Tapi aku tidak mengira Sumba mengingatkan semua memori itu."
"Ceritakan."
"Memori yang nggak enak, Os, aku mau berhenti di sini. Kita bicara yang lain saja. Hm, bagaimana senjakala kuda?" Lea berharap Osa masih menghargainya. Dia tetap jujur hanya belum terbuka tentang semua. Osa pasti tidak ingin dia sedih.
"Yang jelas kuda Sumba lebih besar dari semua kuda yang pernah aku temui," pandangan Osa masih menyelidik. Lea sepertinya memang tidak ingin membicarakan seseorang itu. Tapi Osa ingin tahu sisi ini. Dia merasa asing kalau tidak tahu apapun.
"Kuda Sumba juga unik, dianggap berhubungan dengan arwah nenek moyang," Osa menuruti alur yang dibuat Lea. "Menurutku, kuda ini harus masuk salah satu dari keajaiban dan harta warisan dunia dari Indonesia."
"Maka memang kamu harus melakukan film dokumenter ini, Os, aku senang dan bangga," kata Lea. Tapi Osa tidak menangkap rasa senang itu. Lea hari ini tidak sama dengan Lea minggu lalu.