Kepala Iva terasa berat, memilih antara jujur atau melindungi privacy Osa.Â
"Oh, mungkin sama produser standup comedy yang dikenalnya," tiba-tiba saja Iva mendapat ide itu, yang tidak jujur tapi juga tidak bohong.Â
"Oh oke, nomor Osa, Kak, boleh minta?" Diva menaikkan level usahanya.
"Kalau itu maaf, silakan minta ke Osa sendiri. Tapi kalau mau janjian sama Osa, bisa melalui nomor saya yang dipunyai manajer Diva," Iva senang bisa berkelit dengan alasan yang sudah dipakainya ratusan kali pada lawan main Osa, baik itu cewek maupun cowok.
Setelah Diva lenyap dari pandangannya bersama rombongan krunya, Iva kembali mencari Osa yang juga ikutan lenyap dari titik dia telponan dengan Lea tadi.Â
"Aku jemput kalau masih macet," suara Osa terdengar jelas di pintu yang dibuka Iva. Ternyata masih telponan dengan Lea, hanya chargernya nempel di HP dan di colokan. Segitunya, desah Iva.
"Aku bisa kirim chopper, Lea!" teriak Osa dengan nada riang, lalu diikuti tawanya yang merdu di telinga Iva. Sayang itu tawa bukan buat aku, batin Iva. Tapi aku harus bersyukur, masih bisa memandang Osa setiap waktu, sebagai manajernya, bisiknya pada diri sendiri.
Satu kertas kuarto bertuliskan 'sejam lagi cabut' dipampangkan di depan Osa. Cowok itu hanya melambai tanpa berhenti bicara.
"Lea, cepat balik," akhirnya Iva tidak tahan untuk tidak berteriak. Melepaskan kekesalan dan kekecewaannya. Teriakannya ditimpali tawa Osa yang renyah, untunglah cowok itu segera menghentikan percakapannya dengan Lea.
"Lama banget telponan?" Iva terdengar seperti pacar yang cemburu.Â
Osa tertawa, "Karena Lea jauh."