Melihat Osa terlihat bahagia hanya bertelpon ria dengan Lea membuat Iva teringat ketika pertama kali mereka berdua saling mengenal.Â
Waktu itu Osa sangat labil dan sensitif. Sebagai selebriti, dia sudah tidak mempunyai medsos dan tidak eksis di dunia maya, namun fans dan haters tetaplah ada di dunia nyata. Terutama setelah dia menyelesaikan pertunjukan.
"Jangan posting fotoku di hari yang sama, kalau bisa tunggu sehari dua hari, baguslah," itu selalu pesan Osa pada manajer marketingnya. Iva selalu minta bernegosiasi karena ini kebutuhan promosi acaranya.
"Iva, kamu tidak mau mengerti apa yang aku hadapi kalau para fans itu memenuhi hotel kita?" Osa untuk kesekian kalinya mengeluh.
"Itu baik buat pemasaran album terbarumu, Sa," Iva masih protes. "Yang pertunjukan kemarin, aku bikin stand di lobby hotel yang menaruh merchandise album kamu terbaru. Laris manis tuh, bahkan aku minta anak marketing buat ambil stok event minggu depan."
Osa kelelahan untuk berdebat dengan Iva. Kesehatan mental Osa mudah terganggu. Tiba-tiba saja dia merasa lelah tapi tidak bisa tidur. Menarik ujung bibirnya untuk tersenyum saja terasa berat. Semua makanan kesukaannya tidak terasa di lidahnya. Semua hambar.
Iva menyadari perubahan cowok itu ketika salah satu kru mengatakan bahwa emosi Osa jelek sekali ketika membawakan lagu hitsnya. Datar, walau suara tetap bagus dan stabil. Hanya tidak ada emosi dan rasa. "He needs a break," kata krunya.
Ditemuinya cowok tampan itu di ruang makeup. Kakinya berselonjor tidak rapi. Mukanya keruh dan pucat. Matanya kosong walau memegang layar HP yang gelap, mati.Â
"Aku harus meet n greet di mana?" suara Osa terdengar lemas. Matanya tidak bersinar.