Ila perlahan memasuki ruang kantornya yang baru. Dia masih bekerja di perusahaan yang sama, perusahaan sepatu yang multinasional tapi dia dipromosikan ke satu lantai di atas sebelumnya. Ila hanya ingat ada satu teman yang dia kenal di lantai ini, Alin, selain itu semua baru.
Pagi-pagi dia sudah berusaha bangun lebih pagi. Berangkat lebih awal. Sarapan sambil jalan. Semua untuk datang ke kantor baru lebih dulu dari yang lain. Dia tidak mau menjadi pusat perhatian dengan datang setelah yang lain. Tapi di ruangan besar itu sudah ada seseorang yang sudah sibuk bekerja.
"Ila, sudah datang? Wow, awal amat," suara renyah Alin yang sudah dia hubungi semalam menggema di ruang itu. Orang yang sudah datang tadi hanya mendongak sekilas lalu sibuk dengan entah apa di depannya.
"Aku ingin kasih impresi yang baik," bisik Ila.
"Ah, ga usah, kamu sudah cukup terkenal hebat di lantai ini. Gilak, juara desain dan juara favorit! Gampang banget boss kita menentukan kamu dipromosikan," seru Alin lagi. Alin lalu menoleh sekeliling dan berhenti pada orang yang sedang sibuk tadi.
 "Wah, kamu masih kalah sama Oza, dia lebih pagi," tiba-tiba Alin berubah berbisik. "Kamu tahu Oza, kan? Seluruh gedung tahu dia, apalagi lantai bawah, katanya lantai bawah suka cari alasan ke sini buat lihat dia."
Oza? Ila rasanya pernah mendengar nama itu. Apa dia alasan seluruh teman-temannya ikut kompetisi desain bulan lalu? Sebelumnya hadiah kompetisi cuma duit, tapi tahun ini adalah naik gaji dan masuk nominasi promosi ke lantai ini. Kemudian Ila teringat, salah satu kartu ucapan dari temannya adalah: 'selamat bertemu Oza tiap hari, jealous deh.'
Ila tidak pernah bermimpi bertemu Oza atau bahkan satu lantai dengannya. Dia tahu diri. Walaupun kerja di dunia fashion, Ila tidak terlalu memperhatikan penampilannya. Semua kalau nyaman dia pakai, entah merek apa. Lagian dia sayang sama duit, selalu hidup hemat dan sebulan sekali pun belum tentu dia beli baju baru. Dia tahu, Oza pasti melirik ke temannya yang lain.
"Hari ini ada perpindahan meja kerja, semoga aku dapat sampingnya Oza, hanya dia yang nggak pindah, sudah pindah sebulan lalu," kata Alin sambil berjingkat menuju mejanya di ujung lain dari lokasi Oza.
"Mejaku di mana?" Ila ikut-ikutan berbisik.
Sebelum pertanyaannya terjawab, serombongan cowok cewek berpenampilan trendi dan berbau wangi memasuki ruangan. Mereka berceloteh meriah sekali. Seperti lebah keluar dari sarangnya, dari pintu masuk mereka lalu menyebar ke seluruh ruangan. Mereka belum melihat Ila.
Di belakang rombongan itu ada rombongan kecil berjas gelap. Varen, CEO perusahaan itu, bersama direktur desain, boss Ila di lantai ini.
"Nah, ini Ila pemenang desain dan juara favorit tahun ini, Pak Varen," seru Indra sang direktur. Dia melihat Ila di samping pintu masuk. Staff lain di lantai itu langsung terdiam dan mendongak ke arah Ila.
"Selamat Ila," Varen sambil mendekat menyalami Ila. "Saya kagum dengan desainmu yang out of the box tapi sesuai tema dan tren kita. Sangat visioner. Saya tunggu karya-karya kamu di lantai ini."
Varen mengangguk kepada yang lain dan keluar dari ruangan itu untuk meneruskan monitoring paginya.
"Alin," panggil Indra. "Lokasi meja kalian sudah ditentukan, barusan ditempel di dekat lift. Silakan ditengok dan semua beres hari ini."
Alin yang pertama berdiri di depan papan pengumuman. Lalu menjerit tertahan, terdengar kecewa. Lalu dia menjerit lagi, terdengar senang dan kaget.
"Kamu dapat meja di samping Oza, Ila," cicitnya. Ila hanya mengedikkan bahunya, dia tidak tertarik.
"Siapa yang duduk di sampingku?" suara berat Oza terdengar di dekat lift. Ila langsung melesat masuk ke ruangan dan mencari mejanya. Dia ingin segera bekerja. Sudah banyak ide kreatif yang muncul gara-gara keanehan desainnya diterima banyak orang.
"Kamu siapa?" satu sosok berdiri membelakangi jendela kaca besar di samping Ila. Suara berat itu sangat dikenalnya tapi wajahnya menjadi siluet gara-gara sinar jendela dan Ila baru saja mengalihkan matanya dari layar laptopnya. Silau dan kabur.
"Aku Ila," jawabnya singkat. "Anak baru."
"Oza," orang itu mengulurkan tangannya setelah bergeser ke samping Ila yang lain. Saat itulah seperti ada sinar halo di atas kepala Oza. Mata Ila berkejap silau karena wajah Oza yang bersinar. Jantungnya berdebar keras sampai dia sesak napas dan tubuhnya terasa kaku.
Oza menurunkan tangannya yang lama tidak disambut Ila. Dia mendengus kesal lalu kembali sibuk di mejanya.
Ila tersadar dia membiarkan tangan Oza terulur. Malu sekali tapi dia bingung mau bagaimana. Dia tidak mau terlihat seperti cewek lain yang mencari perhatian Oza. Akhirnya Ila diam saja dan kembali dengan cepat tenggelam di laptop dan buku sketsanya.
"Makan siang?" suara berat di sampingnya mengejutkan Ila. Dia terlalu hanyut sehingga tidak merasakan larinya waktu.
"Aku sudah bawa bekal," jawab Ila ketika melihat Oza yang bersinar itu berdiri seakan mau keluar makan. Oza tidak menyahut dan meninggalkannya.
Ila menemui Alin di pantry pojok lantai itu untuk makan bersama. Alin mencercanya dengan banyak pertanyaan tentang Oza. Mereka mengobrol apa, ada info apa tentang Oza, cowok itu suka apa, dan banyak lagi yang tidak terjadi di antara Oza dan Ila.
"Bukannya kamu sudah sekantor dengannya cukup lama, Alin?" Ila heran dengan pertanyaan Alin.
"Oza tidak banyak omong. Dia tidak sombong tapi juga tidak ramah. Deket tapi jauh gitu. Jadi bikin senyumnya yang jarang itu terlihat mahal dan mempesona," pekik Alin. "Kalau keluar makan, dia tidak pernah mengajak siapapun, kecuali cowok. Teman sini tahu dia makan di mana dan makan dengan siapa. Biasanya dengan cowok-cowok beda kantor."
Ila tidak berharap banyak akan diajak makan siang dengan Oza. Dia menetapkan bahwa bawa bekal adalah cara yang paling masuk akal untuk mempersiapkan diri. Tidak makan dengan Oza bukan karena tidak diajak, tapi karena dia bawa bekal. Ila merasa aman.
Hari-hari berikutnya teman Ila tidak hanya Alin, tapi seluruh cewek di lantai itu. Dia tahu kenapa, karena Oza. Semua mendekatinya karena mejanya yang paling dekat dengan meja Oza. Dia juga tahu, lirikan temannya selalu ke arah Oza. Mereka tidak fokus dengan pekerjaan ketika berada di sekitarnya.
"Ila," tiba-tiba suara berat yang lama tidak menyapanya itu terdengar dekat di telinga Ila. Oza memang menggeser kursinya ke dekat Ila.
"Kalau kamu mengadakan rapat, kamu ajak teman-temanmu ke ruang meeting saja, jangan di meja kamu," kata Oza.
Tiba-tiba tawa Ila meledak. Dia merasakan kelucuan yang amat sangat di kata-kata Oza itu. Di ekor matanya dia lihat Oza berkerut tidak senang.
"Besok kamu tidak usah bawa bekal makan siang," sahut Oza di mejanya dengan tetap menatap ke laptopnya.
"Kenapa?" tanya Ila di sela-sela tawanya.
"Kalau mau, besok aku ajak makan siang di dekat sini."
"Kenapa?" tawa Ila langsung lenyap. Tapi dia hanya bisa menemukan kata yang sama.
"Aku ingin dengar tawa kamu di makan siang."
Ila melotot ke arah Oza yang wajahnya tetap lempeng ke arah monitor tapi ada lekukan senyuman kecil di ujung bibirnya.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H