"A-aku Carlo," suara yang keluar sangat lirih, tidak biasanya dia begitu. Seringnya dia pakai suaranya lantang mengatur tim makeup artisnya dan anak buah junior model yang diasuhnya.
Cleo tetap saja tidak bisa mengingat cowok itu walau Carlo sudah memberi tambahan cerita bahwa mereka dulu tetanggaan ketika kecil, bahkan ke sekolah bareng sampai lulus SD. Kemudian Carlo pindah ke luar negeri karena mengikuti tugas ayahnya. Waktu itu belum ada media sosial yang bisa mendekatkan mereka.
"Sorry, aku masih belum ingat kamu siapa, tapi semua yang kamu katakan tentang aku sangat benar," Cleo masih ragu-ragu. Ketika Carlo meminta kontaknya, cewek itu masih juga ragu. Namun ada satu ciri yang disebut cowok itu yang hanya dia yang tahu.
"Kamu sekarang bangun pakai alarm atau masih bicara sama bantalmu buat bangunin kamu?" tanya Carlo. Dulu dia selalu mengejek Cleo yang percaya bantal tidurnya bisa membangunkannya jam berapapun asal dia bilang ke bantal itu.
"Bangunkan aku besok jam enam! Dulu aku nggak percaya, tapi aku pernah mencobanya dan berhasil. Hanya sekali itu saja sih, habis itu aku nggak berani resikonya," cerocos Carlo sambil terbahak.
"Ini nomorku," Cleo mengulurkan satu kartu nama kecil sederhana yang berisi nama dan nomor telpon serta alamat emailnya. "Aku permisi dulu."
HP di saku Carlo bergetar ketika dia memandang Cleo meninggalkan mini market itu. Getaran HP adalah tanda lima belas menitnya sudah habis. Bergegas dia kembali ke studio untuk sesi foto berikutnya.
"Aku bertemu Cleo," katanya ketika bertemu Cece, manajernya sekaligus teman lamanya. Cece membelalakkan matanya, "Lalu dia bilang apa?"
"Dia nggak ingat aku."
"Hm, wajar," kata Cece sambil lalu. Carlo curiga dengan tanggapan Cece namun dia tidak bisa berbuat banyak karena tim lighting, makeup dan fotografer sudah siap mengatur posenya.
Tiga jam yang seperti tiga abad akhirnya berakhir. Carlo sempat mengejar Cece yang sudah bersiap membuka mobilnya untuk pergi.