Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Carlo: Minimarket

4 Maret 2022   22:22 Diperbarui: 4 Maret 2022   22:27 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi minimarket, sumber news.ddtc.co.id

Break lima belas menit sangat berharga bagi Carlo setelah selama dua hari dia hanya beristirahat untuk tidur dan makan. Tumben manajernya hari ini baik, mungkin dia mendapatkan kabar gembira tentang anaknya, pikir Carlo.

"Aku harus ke minimarket dulu, baru ke tempat lain," batinnya. Sebagai model dengan flying hours tinggi, Carlo harus menjaga tubuh dan asupan makanannya. 

Dia ke minimarket tidak untuk belanja tapi mau melihat-lihat perkembangan produk dan memeriksa merek yang diiklaninya masuk rak tertinggi atau malah stok kosong, saking larisnya.

Minimarket terdekat terlihat penuh dengan pelanggan. Model terkenal itu tidak mau menanggung resiko dikerubuti fans dan akhirnya lima belas menit terbuang tanpa break. Dia memilih berjalan agak jauh sambil berlari kecil ke minimarket selanjutnya.

Setelah masuk, baru dia menyadari tempat ini belum pernah dikunjunginya, jadi agak kesusahan mencari produk shampoo dan skincare yang ada wajahnya.

"Oops," teriaknya ketika mau jatuh karena menabrak seseorang yang sedang berjongkok dan tidak dilihatnya.

Keduanya berpandangan dengan muka yang berbeda emosinya. Carlo yang bersiap minta maaf, dan orang itu yang bersiap marah.

"Cleo?" bisik Carlo dengan tenggorokan sedikit tersekat. Tiba-tiba saja kering, entah karena tadi berlari atau karena keberadaan cewek itu.

"Kamu siapa?" cewek itu seperti tidak mengenalinya. Wajahnya masih bersiap untuk marah karena hampir terlindas langkah Carlo yang menyusuri rak-rak.

"Kamu tahu namaku, kamu siapa?" cewek itu punya tambahan alasan untuk marah, karena Carlo tidak segera menjawab pertanyaannya.

"A-aku Carlo," suara yang keluar sangat lirih, tidak biasanya dia begitu. Seringnya dia pakai suaranya lantang mengatur tim makeup artisnya dan anak buah junior model yang diasuhnya.

Cleo tetap saja tidak bisa mengingat cowok itu walau Carlo sudah memberi tambahan cerita bahwa mereka dulu tetanggaan ketika kecil, bahkan ke sekolah bareng sampai lulus SD. Kemudian Carlo pindah ke luar negeri karena mengikuti tugas ayahnya. Waktu itu belum ada media sosial yang bisa mendekatkan mereka.

"Sorry, aku masih belum ingat kamu siapa, tapi semua yang kamu katakan tentang aku sangat benar," Cleo masih ragu-ragu. Ketika Carlo meminta kontaknya, cewek itu masih juga ragu. Namun ada satu ciri yang disebut cowok itu yang hanya dia yang tahu.

"Kamu sekarang bangun pakai alarm atau masih bicara sama bantalmu buat bangunin kamu?" tanya Carlo. Dulu dia selalu mengejek Cleo yang percaya bantal tidurnya bisa membangunkannya jam berapapun asal dia bilang ke bantal itu.

"Bangunkan aku besok jam enam! Dulu aku nggak percaya, tapi aku pernah mencobanya dan berhasil. Hanya sekali itu saja sih, habis itu aku nggak berani resikonya," cerocos Carlo sambil terbahak.

"Ini nomorku," Cleo mengulurkan satu kartu nama kecil sederhana yang berisi nama dan nomor telpon serta alamat emailnya. "Aku permisi dulu."

HP di saku Carlo bergetar ketika dia memandang Cleo meninggalkan mini market itu. Getaran HP adalah tanda lima belas menitnya sudah habis. Bergegas dia kembali ke studio untuk sesi foto berikutnya.

"Aku bertemu Cleo," katanya ketika bertemu Cece, manajernya sekaligus teman lamanya. Cece membelalakkan matanya, "Lalu dia bilang apa?"

"Dia nggak ingat aku."

"Hm, wajar," kata Cece sambil lalu. Carlo curiga dengan tanggapan Cece namun dia tidak bisa berbuat banyak karena tim lighting, makeup dan fotografer sudah siap mengatur posenya.

Tiga jam yang seperti tiga abad akhirnya berakhir. Carlo sempat mengejar Cece yang sudah bersiap membuka mobilnya untuk pergi.

"Ce, ceritakan tentang Cleo," katanya terengah.

Cece melihatnya dengan penuh simpati. Dia bersikap tidak mau bicara tapi Carlo menahan pintu mobilnya.

"Apa yang kamu ingat ketika kamu pindah ke Sydney?" tanya Cece sambil bersidekap dan bersandar ke pilar parkir.

"Apa?" Carlo tidak bisa mengingat apapun.

"Kalau kamu lupa, kenapa Cleo tidak boleh lupa?"

"Ce, jangan main tebak-tebakan gitu. Penting untukku berkontak dengan Cleo lagi."

"Kenapa? Karena dia cinta monyetmu?"

Carlo terhenyak. Dia tidak pernah berpikiran seperti itu. Dia hanya tahu bahwa belum pernah ada teman sedekat dan semengerti Cleo sampai saat ini. Bahkan Cece yang bersamanya berpuluh tahun sampai sekarang pun masih sering tidak mengerti dia.

"Jauhi Cleo, jangan hancurkan hatinya lagi. Kamu tidak tahu betapa susah orang tuanya membuat Cleo tersenyum setelah kamu pergi."

"Jadi Cleo memang sengaja melupakan aku?"

"Tidak, otaknya tidak sengaja menghapus memori tentang kamu yang menyakitkan. Dia bisa tersenyum ketika dia lupa kamu."

Mobil Cece sudah menjauh lama meninggalkan Carlo yang masih berdiri di tengah lapangan parkir yang kosong.

+++

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun