"Kenapa harus spesial?" aku terusik.
"Waktu kamu ke Jepang kemarin, Iko kelihatan kebingungan dan sering ke meja kamu, kangen kali?" jawab Dewi sambil terkikik pelan.
"Oh, semua catatan notulen rapat memang aku yang bikin, lupa nggak aku kasih ke dia," jawabku santai. Aneh juga, Iko tidak menghubungi aku buat bertanya. Ah, anak itu cuma mau ambil untung saja, ngapain dipikirin.
"Anak baru, si Risa, kayaknya suka sama Iko," sambung Dewi sambil menatap ke monitornya. "Hm, siapa sih yang nggak suka sama Iko yang cakep dan bodynya bagus itu. Sayangnya aku sudah mau menikah, nggak sempat nengok kanan kiri lagi."
"Dewi, ingat undangan pernikahanmu yang ada di mejaku, ya," kataku walau Dewi sudah kelihatan menyesal.
"Nah, itu, kamu mau datang sama siapa? Pacar kamu nggak punya! Teman cowok cuma Iko yang nggak suka di kerumunan, gimana, Rim?" Dewi sudah mulai sedih.Â
"Aku akan datang dengan bapakku," kataku sambil lalu.
"Iya, iya, bapak kamu terlihat muda, tapi nanti kalau ada yang nanya, gimana?" Dewi semakin panik. "Masak kamu datang sama om-om?"
Hari itu berlalu dengan cepat, terutama karena aku ditugaskan ke proyek baru bersama Iko. Dia anak yang rajin dan bersemangat. Aku tinggal memuji saja, semua pekerjaanku langsung diambil alih olehnya. Risa memandang aku dengan tampang masam, kecut banget pokoknya. Hey, bukan aku yang menentukan tim, entah siapa.
"Nanti kita jadi pulang bareng, Rim," kata Iko. Jelas kami bisa pulang bareng karena hari ini satu tim. Aku sudah tidak bisa mengelak lagi.
Perjalananku keluar kantor dan ke area parkir diikuti pandangan tajam Risa. Iko sedari dalam kantor sudah menarik-narik tasku supaya aku jalan lebih cepat.