Mohon tunggu...
Uzee D Portgas
Uzee D Portgas Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja serabutan

asal : Wonosobo, Jateng Pekerjaan : Anything.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Bercerita (2)

13 Januari 2018   10:58 Diperbarui: 13 Januari 2018   11:17 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Ani, perempuan berusia 36 tahun. Aku bekerja sebagai penjual makanan ringan seperti resoles, sosis solo, pisang goreng dan gorengan lainnya. Tempatku berjualan adalah sebuah gerobak seperti pedagang kaki lima pada umumnya. Ini bukan usahaku sendiri sebenarnya. Lebih tepatnya aku menjaga gerobak milik bosku. Pekerjaanku sederhana. Hanya duduk menunggu, menggoreng dan melayani pembeli. Gerobak jualanku menetap di satu tempat, jadi tidak perlu repot mendorong gerobak berkeliling.

Stand jualanku berada tepat di depan sebuah bangunan ruko berlantai dua. Ada 10 ruko dengan 9 ruko sudah terisi. Lokasi ruko ini sangat strategis, berada di pinggir jalan utama yang menghubungkan daerah dengan kota. Letaknya juga tidak jauh dari pusat kota. Di kota yang tidak seberapa besar ini, keramaian dan perkantoran penting terpusat pada satu area. Jadi lalu lintas di jalan raya ini sangat ramai. Apalagi saat pagi dan sore menjelang malam.

Di depan ruko tersebut terdapat sebuah sungai kecil yang bersih. Dengan air yang mengalir setiap hari membuatku kadang bisa berlama-lama meandangi aliran sungai. Maklum, di kota kecil ini sungai-sungai masih belum terlalu tercemar oleh sampah. Jadi airnya masih jernih.

Ada sebuah jembatan kecil dengan lebar sekitar 5 meter yang menghubungkan pelataran ruko dengan jalan raya. Dan posisi gerobak jualanku persis di atas jembatan tadi.

Sore ini mendung, tidak seperti sore-sore sebelumnya yang seringkali turun hujan. Musim hujan masih panjang. Jadi hampir setiap sore pasti turun hujan.

Jualanku masih tinggal beberapa resoles dan sosis solo. Jadi hari ini lumayan ramai pembeli sejak buka tadi pagi.

Pekerjaan yang aku lakukan saat tidak ada pelanggan adalah duduk manis sambil iseng main smartphone. Yah meski hanya sekedar membuka-buka media sosial atau ngegosip di grup Whatsapp, lumayanlah buat menghilangkan bosan.

Sedang asyik bermain dengan smartphone, perhatianku teralihkan oleh sepasang sejoli yang terlihat sedang berdebat. Mereka berada di trotoar sekitar 10 meter di depanku. Aku tidak paham dengan apa yang sedang mereka debat atau bicarakan. Usia mereka berkisar 20 tahunan. Aku yakin mereka adalah sepasang kekasih.

Si wanita mengenakan jaket jumper warna abu-abu bercelana jeans pensil berwarna hitam memakai sendal jepit. Aku yakin itu sendal jepit merek swallow.

Sedangkan si pria bercelana jeans pendek berwarna hitam yang sudah kusam dan hanya beratasan kaos jersey sepakbola. Aku tidak tahu jersey klub mana yang ia pakai. Yang jelas warnanya merah dengan garis putih di lengan.

Mereka berboncengan sepeda motor matic warna putih, masing-masing menggunakan helm. Aku tidak tahu sejak kapan mereka berhenti di sana. Dengan motor terparkir begitu saja di pinggir jalan, mereka duduk dipunggung trotoar. Sesekali si pria berdiri sambil berbicara kepada si wanita. Sedang si wanita tertunduk lesu sambil menangis terisak.

Si pria tampak berusaha keras menenangkan kekasihnya. Membujuk untuk naik kembali ke motor dan pergi dari situ. Tapi nampaknya si wanita enggan. Bahkan si wanita bangkit dan terlihat marah. Ia terlihat mendebat si pria, beragumentasi sambil sesekali menyeka air mata yang menetes.

Beberapa orang yang lalu-lalang tampak sejenak menoleh sambil lalu pada pasangan kekasih itu. Beberapa pengunjung dan karyawan ruko juga memperhatikan mereka dari kejauhan.

Si pria tampak tidak nyaman dengan kondisi ini. Ia berusaha keras membujuk si wanita untuk segera beranjak dari situ. Namun sepertinya si wanita enggan, kembali duduk dan terisak.

Aku berprasangka buruk akan hal ini. Dalam pikiranku, mereka pasti sedang menghadapi masalah pelik. Kemungkinan besar si wanita tengah hamil di luar nikah dan si pria itu adalah ayah dari janin yang sedang tumbuh di rahim si wanita. Aku yakin mereka tengah dalam kondisi panik, takut, malu, marah, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sedang si pria berusaha meyakinkan kekasihnya bahwa ia akan bertanggung jawab. Ia akan segera menikahi kekasihnya itu. Si pria pasti sedang berusaha meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja dan mereka hanya harus tenang dan kuat untuk menghadapi masalah ini. Menghadapi orang tua mereka masing-masing.

Dasar, anak muda jaman sekarang. Pergaulan mereka sangat memprihatinkan, kataku dalam hati sinis. Makanya jadi cewek jangan gampangan dong. Gerutuku lagi. Dalam hati lagi.

Sesekali si pria memandang ke arahku. Ia kelihatannya tahu kalau aku tengah memperhatikan mereka berdua. Dari pandangan matanya, terlihat ia sangat tidak suka.

Gerimis tiba tepat waktu, seperti film-film drama suasana menjadi bertambah syahdu.

Tampaknya bualan si pria berhasil. Terlihat ia mendekap kekasihnya sambil digiring untuk naik ke sepeda motor sambil terus membual. Si wanita luluh dan merekapun pergi melewatiku yang masih memperhatikan mereka.

Gerimis yang turun semakin lama semakin deras. Langit sepertinya terlalu terbawa suasana menyaksikan pasangan kekasih tadi. Hujan turun dengan lebat dan aku harus segera mengemasi barang-barang jualanku dan segera pergi dari sini.

**********

Senja tiba dengan awan hitam bergelayut di bawahnya. Sepertinya hujan akan kembali turun sore ini. Ramai lalu lalang kendaraan bermotor menghiasi sore ini. Kebetulan jam-jam ini adalah jam para pekerja pulang dari tempat kerja mereka masing-masing. Mereka seperti kompak berada di kendaraan masing-masing, menuju ke arah yang sama, rumah.

Aku memacu pelan sepeda motor matic yang kukendarai bersama kekasihku. sepanjang jalan kami hanya terdiam, menempatkan diri kami masing masing pada ruang hampa dan sunyi. Tempat kami menekuri sendiri apa yang tengah terjadi.

Ia terisak sudah sedari tadi dan susah payah menahan derai air mata yang tumpah. Dengan tatapan mata yang sayu, ia menahan segala rasa sesak yang ada di dada. Aku hanya bisa menghela nafas dan memastikan diri untuk tidak larut dalam kesedihan. Aku harus bisa menenangkan perasaan kekasihku. Sore ini mendung tidak hanya ada di langit, namun ia juga tengah bergelanyut di hati kami.

"Berhenti dulu Fik,..aku mau turun sebentar." Pintanya padaku.

"Ini sudah hampir sampai rumah say, nanti aja ya kita pulang saja dulu." Sergahku. Hanya sekitar 5 menit lagi memang sudah bisa sampai di rumahnya.

"Enggak, pokoknya aku pengin berhenti!" pintanya memaksa.

"Oke-oke, kita berhenti di depan ya."

Kupinggirkan motorku di depan sebuah bangunan ruko yang tampak ramai. Sebuah kompleks ruko lumayan besar. Kami duduk di punggung trotoar. Sebuah sungai kecil dengan air yang jernih mengalir sejajar dengan trotoar.

Alvi namanya. Ia adalah pacarku yang sudah aku pacari hampir selama 3 tahun. Kali ini kami tengah dihadapkan pada masalah yang cukup pelik.

Ia terisak menahan tangis. Air matanya berderai, kali ini tak lagi bisa ia tahan. Ia tangkupkan tangan pada kedua kakinya sambil tertunduk.

Aku berdiri menengadahkan wajah ke langit. Berusaha menenangkan diri.

"Vi, kamu harus kuat. Kita pasti bisa menghadapi ini bersama-sama. Aku janji sama kamu tidak akan pernah meninggalkanmu dalam kondisi apapun. Kamu harus ingat kalau aku akan selalu ada di sisimu." Kataku berusaha menenangkannya.

"Kita harus bersikap tenang..."

"Tenang? Kamu bilang aku harus tenang? Kamu nggak tahu apa yang aku rasain Fik, kamu nggak tahu beratnya jika kamu dalam posisi aku!" katanya dengan nada meninggi sambil berdiri dari tempat duduknya.

"Aku nggak tahu harus gimana lagi Fik, aku nggak tahu...."

"Semua pasti ada jalan keluarnya Vi, kita hanya harus berpikir jernih." Kataku.

Aku lihat banyak orang yang memperhatikan kami. Aku juga tahu seorang perempuan penjual makanan kecil di atas jembatan memperhatikan kami sedarit tadi. Entah apa yang mereka pikirkan

Ia kembali terdiam dan duduk di punggung trotoar. Aku duduk di sampingnya mengusap punggung dan berusaha merangkulnya. Tapi ia menolak.

Satu minggu lalu, ayah Alvi tiba-tiba tak sadarkan diri setelah jatuh di kamar mandi rumahnya dan harus dilarikan ke rumah sakit. Setelah diperiksa oleh dokter ternyata ayah Alvi menderita penyakit serius yang selama ini dipendam. Dan sekarang kondisinya semakin kritis. Selain kondisi ayahnya yang semakin menghawatirkan, Alvi harus dihadapkan pada biaya pengobatan yang sangat besar. Sedangkan Alvi dan ayahnya hanya hidup berdua selama ini. Ayahnya yang sudah jarang bekerja tidak bisa menopang keluarga. Alvilah yang selama ini menjadi andalan perekonomian keluarga. Karena ia adalah anak tunggal. Sedang ibunya telah lama berpulang mendahului mereka.

Alvi bekerja sebagai pegawai toko komputer dengan gaji yang tidak seberapa. Untuk membiayai pengobatan ayahnya selama ini ia menghabiskan tabungan yang susah payah ia kumpulkan. Itupun tidak cukup.

Ia sudah berusaha meminjam ke sana kemari namun hasilnya sia-sia.

Aku hanya bisa membantu sedikit karena akupun bukan orang kaya. Aku juga bingung harus bagaimana lagi.

Sedangkan satu bulan kedepan kami sudah berencana melangsungkan pernikahan kami. Sesuatu yang sudah sangat kami impikan selama ini.

Dengan kondisi Alvi dan ayahnya saat ini tentu saja menjadi dilema luarbiasa bagi kami. Kami takut dengan kondisi ayah Alvi yang juga calon mertuaku, juga takut dengan bayang-bayang kegagalan rencana pernikahan kami.

Yang bisa aku lakukan saat ini adalah menguatkan Alvi agar tetap tegar dan tenang dalam menghadapi masalah ini. Aku sudah berjanji akan sekuat tenaga membantu mencari jalan untuk beban yang tengah menimpa Alvi. Bagaimanapun ini adalah bebanku juga. Kami akan sama-sama berjuang. Karena aku sangat mencintainya, sangat menyayanginya.

Gerimis turun membasahi bumi. Langit seakan sengaja sedikit menurunkan airnya untuk mendinginkan jiwa kami berdua.

"Kita pulang yuk sebentar, nanti kita kembali ke rumah sakit lagi." pintaku sambil memohon.

Tanpa berkata-kata ia menurut. Kuraih tubuhnya bangkit dari duduk dan kugiring menaiki sepeda motorku. Jaket jampernya sedikit basah oleh gerimis yang turun. Aku sendiri mulai mengigil kedinginan karena hanya mengenakan celana pendek dan kaos jersey MU kesayanganku.

Kami segera pergi dari tempat itu. Gerimis tampaknya tak cukup untuk mendinginkan hati kami. Hujan perlahan turun semakin lebat. Kupacu sepeda motorku menerobos hujan. Sementara Alvi terlihat sudah lebih tenang.

Aku berjanji, aku akan selalu bersamamu. Aku berjanji, kasihku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun