"Vi, kamu harus kuat. Kita pasti bisa menghadapi ini bersama-sama. Aku janji sama kamu tidak akan pernah meninggalkanmu dalam kondisi apapun. Kamu harus ingat kalau aku akan selalu ada di sisimu." Kataku berusaha menenangkannya.
"Kita harus bersikap tenang..."
"Tenang? Kamu bilang aku harus tenang? Kamu nggak tahu apa yang aku rasain Fik, kamu nggak tahu beratnya jika kamu dalam posisi aku!" katanya dengan nada meninggi sambil berdiri dari tempat duduknya.
"Aku nggak tahu harus gimana lagi Fik, aku nggak tahu...."
"Semua pasti ada jalan keluarnya Vi, kita hanya harus berpikir jernih." Kataku.
Aku lihat banyak orang yang memperhatikan kami. Aku juga tahu seorang perempuan penjual makanan kecil di atas jembatan memperhatikan kami sedarit tadi. Entah apa yang mereka pikirkan
Ia kembali terdiam dan duduk di punggung trotoar. Aku duduk di sampingnya mengusap punggung dan berusaha merangkulnya. Tapi ia menolak.
Satu minggu lalu, ayah Alvi tiba-tiba tak sadarkan diri setelah jatuh di kamar mandi rumahnya dan harus dilarikan ke rumah sakit. Setelah diperiksa oleh dokter ternyata ayah Alvi menderita penyakit serius yang selama ini dipendam. Dan sekarang kondisinya semakin kritis. Selain kondisi ayahnya yang semakin menghawatirkan, Alvi harus dihadapkan pada biaya pengobatan yang sangat besar. Sedangkan Alvi dan ayahnya hanya hidup berdua selama ini. Ayahnya yang sudah jarang bekerja tidak bisa menopang keluarga. Alvilah yang selama ini menjadi andalan perekonomian keluarga. Karena ia adalah anak tunggal. Sedang ibunya telah lama berpulang mendahului mereka.
Alvi bekerja sebagai pegawai toko komputer dengan gaji yang tidak seberapa. Untuk membiayai pengobatan ayahnya selama ini ia menghabiskan tabungan yang susah payah ia kumpulkan. Itupun tidak cukup.
Ia sudah berusaha meminjam ke sana kemari namun hasilnya sia-sia.
Aku hanya bisa membantu sedikit karena akupun bukan orang kaya. Aku juga bingung harus bagaimana lagi.