Mohon tunggu...
Yayu Ramdhani
Yayu Ramdhani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Everything is related to everything else, but near things are more related than distant things." (Tobler's first law of geography)

Selanjutnya

Tutup

Money

Perkebunan Sawit, Konservasi, dan Tanah Terlantar

25 September 2013   14:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:25 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Warung kopi di Pontianak, saat matahari tak menampakkan diri selalu ramai dikunjungi. Meja dan kursi digelar dari depan warung memenuhi halaman sampai trotoar Jalan Gajah Mada. Fasilitas wifi jadi pemikat para pengunjung untuk membawa laptop kemudian menikmati kopi dan penganan kecil sambil internetan. Hingar bingar warung kopi terasa khas di malam hari. Kawan lama dan teman baru telah duduk mengelilingi dua meja yang digabungkan, persis di tepi trotoar jalan. Kopi dan penganan kecil terhidang, omongan basa-basi mulai meluncur dari mulut masing-masing.

“Ooy… waaak, jangan habiskan obrolan serunya, aku baru datang niii..!” Ada teriakan dari jalan hampir mengalahkan suara hilir mudik kendaraan.

“Aah… Bocaaaw… kemarilah, bawa kursi kau tu..!” Am melambai dan menunjuk satu kursi di seberang meja. Ternyata yang baru datang itu Bocaw alias Dri ahli taksonomi tumbuhan yang berbadan subur. Peserta kongkow di warung kopi makin marak setelah kedatangan Yon yang tiba hampir berbarengan dengan Yun, bos salah satu Yayasan Konservasi di Kalbar. Kami ber haha hihi cerita-cerita pengalaman masing-masing.

***
Obrolan haha hihi berubah tema menjadi agak serius [tentu saja serius di level obrolan warkop] tentang meningkatnya kesadaran beberapa pengusaha perkebunan sawit anggota RSPO untuk menjadikan sebagian arealnya yang mempunyai nilai konservasi tinggi alias high conservation value (HCV) menjadi kawasan yang tidak dibuka untuk perkebunan. Pertanyaannya, “Apakah wilayah semacam ini nantinya dikategorikan tanah terlantar oleh BPN?”

“Apa? Terlantar? Yang bener aja…. HCV di kebun atau calon kebun itu secara fisik hutan yang bagus… kalo di lahan gambut biasanya hutan habitat orangutan dan kaya biodiversity, terlantar gimana?” Teman-teman dengan jiwa konservasi tinggi, seperti biasa kalau disuguhkan hal seperti ini selalu mengulang-ulang pertanyaan yang sama bernada protes. Konotasi tanah terlantar… tentu saja jelek, dan mereka ngak rela hutan yang bagus dikategorikan terlantar, gitu lah.

Kertas-kertas oret-oretan mulai berserakan di meja di sela-sela gelas kopi, dan piring penganan. Diskusi baru beberapa menit berlangsung tapi kertas putih di antara kami sudah mulai terisi coret-coretan ngak tertata rapih dan gambar sketsa dalam macam-macam bentuk… kotak, lingkaran, garis, dan titik-titik… bahkan buletan berisi dua titik dan satu garis melengkung… Smiley..!

“Undang-undang? Peraturan? Hehehe… tunggu aku lihat database” Yon mengeluarkan laptop, konek ke wifi kemudian googling database peraturan perundangan. Jreeng…!

“Penertiban tanah terlantar… PP no. 11/2010”, Yon membacakan hasil temuannya di internet.

“Ahooy… di situ tidak dijelaskan definisinya, coba lihat di Peraturan Kepala BPN Nomor 4 tahun 2010”, Fif menimpali.

“Ok..”, Yon merengut sambil memijit-mijit tuts keyboard laptopnya, kemudian menggumam…

“Hmmm… peraturan Kepala BPN ini menyebutkan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya, begitoooh kawan-kawan sekalian… hehehe”.

“Oke, sekarang cari PP no. 40 / 1996”, Fif melanjutkan permintaannya

“Bentar…, nah ini dia…”, Yon membaca pasal-pasal berkaitan dengan pelekatan hak atas tanah itu untuk kami… kemudian matanya menerawang… menggumam ngomong sendiri, “Hmm…, usaha perkebunan sawit biasanya berada pada tanah dengan status Ijin Lokasi atau Ijin Usaha Perkebunan, atau dengan status HGU. Dua yang pertama termasuk kategori tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan status tanah dengan sertifikat HGU jelas telah memiliki hak untuk diusahakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

“Tuuuhhh…. PP no. 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa HGU diberikan untuk usaha yang terdiri dari pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. Artinya, pada sebidang tanah dengan
HGU yang diberikan untuk usaha perkebunan sawit harus dijadikan areal perkebunan sawit, kan? Tidak boleh disisakan hutannya gara-gara HCV…” Yun melemparkan pendapat.

”Tunggu dulu, di dalam PP ini juga disebutkan bahwa pemegang HGU berkewajiban untuk memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, boleh dong kawasan HCV di dalam areal kebun tidak dibuka untuk kebun tapi tetep dihutankan untuk kepentingan konservasi?”Yon memotong omongan dengan ideologi konservasi yang kental.

Dengan bijak Am ikut berpendapat, “Dalam konteks perkebunan sawit, kawasan HCV ini mestinya diartikan sebagai kegiatan penunjang dalam usaha perkebunan sawit yang berkelanjutan. Tapi, ya itu tadi… jadi kontradiktif lah… pemanfaatan lahan di dalam areal HGU perkebunan sawit untuk keperluan di luar usaha perkebunan sawit misalnya dibiarkan sebagai hutan untuk tujuan konservasi orangutan dan habitatnya-sebagaimana yang sedang difasilitasi kawan-kawan LSM- dapat menjadikan lahan tersebut dikategorikan sebagai tanah terlantar karena merupakan hasil tindakan sengaja dari pemegang hak yang tidak mempergunakan haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.”

“Eh… menarik niii…. hutan dibilang tanah terlantar, cemana pendapat kau Bocaw? Betulkah tafsiran seperti niii..?” Yon mencolek Dri yang sedari tadi hanya ngangguk-ngangguk sambil mengunyah goreng pisang renyah yang kemriuk.

“Hah? ape bang?”

“Hutan di dalam HGU itu tanah terlantar, betul tak?”

“Aaaah…. betul betul, betul…., salah..!” Bocaw meniru suara Ipin Upin, dua bocah lucu tokoh kartun made in negeri jiran yang pernah digemari hampir sebagian besar anak-anak NKRI.

“Tumpulnya kaaaaauuu….!” Sambil nyengir tangan kiri Yon mendorong bahu Bocaw yang gempal di sampingnya. Bocaw pura-pura limbung mengayunkan badannya ke kiri…kanan… kiri… kanan…

“Jangan tanya macem tu ke aku laaah…. tanya perihal taksonomi tumbuhan, kuhamburkan jawaban…hehehe… pisang goreng Pontianak ni diguyur kopi saring cap obor di tenggorokan, lamaaak niaaan…!” Tingkah Bocaw membuat kami semua ngakak…

***
Penunjuk waktu di sudut kanan bawah layar LCD laptop Yon menunjukkan angka 10:23 PM. Seperti mesin diesel, diskusi makin lama makin hangat.

“Katakanlah wilayah dengan tutupan hutan tetap ada di dalam areal HGU di tengah kebun, tetap jadi areal konservasi karena mempunyai HCV, apa konsekuensinya?” Am melempar pertanyaan.

Yon buka databasenya kemudian buka suara, “Kriminal, pemilik HGU, katakanlah pengusaha kebun
sawit melakukan tindakan kriminal terhadap Negara karena tidak mengindahkan fungsi ruang, itu kata BAB XI UU 26/2007 tentang Penataan Ruang…. Gileee…!”

“Baiklah, mungkin memang begitu, tapi tak sesederhana itu mungkin… yaa….” Pak Wan yang sedari tadi hanya menjadi pendengar yang baik mulai berkomentar. “Tapi mungkin eee... akan lebih aman ketika pengusaha perkebunan tidak memasukkan areal-areal berhutan dengan eee... HCV saat mengurus permohonan HGU ke BPN…mungkin tindakan paling aman, yaaa…. tapi biasanya arealnya eee.... sudah terlanjur dikeluarkan dari kawasan hutan. Naaahh… hutan di kawasan APL seperti ini diurus siapa? Maksudnya diurus supaya dilindungi supaya jadi tetep hutan….Yaaaa… tidak yang dilepas karena permohonan pengusaha saja, tapi hutan-hutan lain yang terpencar-pencar di luar kawasan hutan, itu siapa yang ngurus? Siapa yang melindungi?” komentar dan pertanyaan beruntun Pak Wan membuat kita termenung.

“Pengelolaan hutan di APL mungkin musti ada payung hukum untuk melindunginya, tapi apa ya?” Aku juga hanya bisa melempar pertanyaan.

“Sebenarnnya cukup dengan perda, beberapa teman di Dinas [Kehutanan] dan Pemda serta DPRD sudah memikirkan hal ini. Apalagi sekarang musim hutan dijadikan sebagai komoditi untuk mendapatkan insentif terkait pengurangan emisi karbon, perlu mitigasi pada areal berstatus jelas, kan? Yang menjadi masalah, ya itu dia, payung hukum dan nomenklatur Perdanya apa?” Pak Wan kembali melempar pertanyaan.

Tak ada lagi yang berusaha menjawab atau melontarkan pendapat. Kami hanya membisu sambil mengunyah goreng pisang… kawan lain menghisap rokoknya dalam-dalam… kopi di gelas hampir tandas. Pukul 11:17 PM kami membubarkan diri dengan membawa pertanyaan-pertanyaan ngak terjawab itu. Kertas oret-oretan yang berserakan dibereskan Am… kemudian dimasukkan ke tas punggungnya. Buat koleksi rupa-rupa gambar smiley, katanya.

Hmmm….

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun