”Tunggu dulu, di dalam PP ini juga disebutkan bahwa pemegang HGU berkewajiban untuk memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, boleh dong kawasan HCV di dalam areal kebun tidak dibuka untuk kebun tapi tetep dihutankan untuk kepentingan konservasi?”Yon memotong omongan dengan ideologi konservasi yang kental.
Dengan bijak Am ikut berpendapat, “Dalam konteks perkebunan sawit, kawasan HCV ini mestinya diartikan sebagai kegiatan penunjang dalam usaha perkebunan sawit yang berkelanjutan. Tapi, ya itu tadi… jadi kontradiktif lah… pemanfaatan lahan di dalam areal HGU perkebunan sawit untuk keperluan di luar usaha perkebunan sawit misalnya dibiarkan sebagai hutan untuk tujuan konservasi orangutan dan habitatnya-sebagaimana yang sedang difasilitasi kawan-kawan LSM- dapat menjadikan lahan tersebut dikategorikan sebagai tanah terlantar karena merupakan hasil tindakan sengaja dari pemegang hak yang tidak mempergunakan haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.”
“Eh… menarik niii…. hutan dibilang tanah terlantar, cemana pendapat kau Bocaw? Betulkah tafsiran seperti niii..?” Yon mencolek Dri yang sedari tadi hanya ngangguk-ngangguk sambil mengunyah goreng pisang renyah yang kemriuk.
“Hah? ape bang?”
“Hutan di dalam HGU itu tanah terlantar, betul tak?”
“Aaaah…. betul betul, betul…., salah..!” Bocaw meniru suara Ipin Upin, dua bocah lucu tokoh kartun made in negeri jiran yang pernah digemari hampir sebagian besar anak-anak NKRI.
“Tumpulnya kaaaaauuu….!” Sambil nyengir tangan kiri Yon mendorong bahu Bocaw yang gempal di sampingnya. Bocaw pura-pura limbung mengayunkan badannya ke kiri…kanan… kiri… kanan…
“Jangan tanya macem tu ke aku laaah…. tanya perihal taksonomi tumbuhan, kuhamburkan jawaban…hehehe… pisang goreng Pontianak ni diguyur kopi saring cap obor di tenggorokan, lamaaak niaaan…!” Tingkah Bocaw membuat kami semua ngakak…
***
Penunjuk waktu di sudut kanan bawah layar LCD laptop Yon menunjukkan angka 10:23 PM. Seperti mesin diesel, diskusi makin lama makin hangat.
“Katakanlah wilayah dengan tutupan hutan tetap ada di dalam areal HGU di tengah kebun, tetap jadi areal konservasi karena mempunyai HCV, apa konsekuensinya?” Am melempar pertanyaan.
Yon buka databasenya kemudian buka suara, “Kriminal, pemilik HGU, katakanlah pengusaha kebun
sawit melakukan tindakan kriminal terhadap Negara karena tidak mengindahkan fungsi ruang, itu kata BAB XI UU 26/2007 tentang Penataan Ruang…. Gileee…!”
“Baiklah, mungkin memang begitu, tapi tak sesederhana itu mungkin… yaa….” Pak Wan yang sedari tadi hanya menjadi pendengar yang baik mulai berkomentar. “Tapi mungkin eee... akan lebih aman ketika pengusaha perkebunan tidak memasukkan areal-areal berhutan dengan eee... HCV saat mengurus permohonan HGU ke BPN…mungkin tindakan paling aman, yaaa…. tapi biasanya arealnya eee.... sudah terlanjur dikeluarkan dari kawasan hutan. Naaahh… hutan di kawasan APL seperti ini diurus siapa? Maksudnya diurus supaya dilindungi supaya jadi tetep hutan….Yaaaa… tidak yang dilepas karena permohonan pengusaha saja, tapi hutan-hutan lain yang terpencar-pencar di luar kawasan hutan, itu siapa yang ngurus? Siapa yang melindungi?” komentar dan pertanyaan beruntun Pak Wan membuat kita termenung.
“Pengelolaan hutan di APL mungkin musti ada payung hukum untuk melindunginya, tapi apa ya?” Aku juga hanya bisa melempar pertanyaan.