Mohon tunggu...
Uwlan Nur Rahmi
Uwlan Nur Rahmi Mohon Tunggu... -

Sejuta Mimpi Untuk Satu Harapan. Keep Writing

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sepenggal Kisah di Puncak Awan

13 April 2014   19:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Asap dingin bersemburan dari mulut ketika berbicara. Ini bukan Korea si negeri gingseng. Pikiranku melayang seolah melihat butiran salju, khayalan ini terjadi karena keseringan menonton drama korea. Bukan berlebihan, tapi karena aku belum melangkah sebelumnya. Jalanan terjal mulai kami rasakan saat memasuki jalan Bireun menuju arah Aceh Tengah. Pukul 01.25 pagi, empat mobil beriringan menuju dataran tinggi Aceh. aku tercengang melihat badan jalan yang setengahnya di penuhi tanah longsor. Sangat berbahaya, tapi inilah jalan yang harus kami tempuh selama delapan jam dari Kota Banda Aceh sampai Bener Meriah. “Masih perlu waktu satu jam sampai dua lagi menuju Kota Takengon,” kata Friska, anggota Racana, Pramuka UIN Ar-Raniry. Aku bergabung bersama teman-teman Racana menuju kota Takengon memnuhi undangan senior Racana yang melangsungkan pernikahan. Walaupun bukan anggota Racana, mereka cukup baik menerimaku. Pertama kalinya seperti mandi menggunakan air es. Sensasional. Aku menikmatinya. “Kami sudah biasa seperti ini,” ujar Friska, si tuan rumah. Pukul Sembilan pagi, setelah bersiap-siap dengan menggunakan baju pesta, kami berangkat ke Takengon di pandu oleh bundanya Friska, Khatijah (35). Menelusuri jalan pintas dari desa Blang Mancung menuju Takengon. Khatijah banyak bercerita tentang kota itu. Blang Mancung di kenal sebagai kampung tebu, disana juga terdapat parik yang mengolah tebu menjadi gula. Sepanjang jalan dari blang mancung kami hanya melihat pohon tebu berderet-deret. Sampai masuk desa Pantang Troeng, giliran tanaman kopi yang berjejer mengiringi jalan.

Hampir setiap halaman rumah di Pantang Troeng menjajal kopi untuk di jemur

Salah stu Meunasah di daerh Pantang Troeng yang roboh karena gempa di Gayo beberapa waktu lalu

Pantang Troeng mempunyai daya pikat yang luar biasa, padahal masih pagi tapi jalanan kami ditutupi kabut dingin. Hanya berjarak 5 meter ke depan mata memandang. Dari puncak Pantang Troeng, kita bisa melihat view kota Takengon yang mengelilingi Danau Lut Tawar. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa… aku tak bisa menahan terikan. Dari dalam mobil, sedikit kepalaku keluarkan dan mulai berteriak dengan melempangkan tangan. ‘Surga di atas awan,’ pikirku. Sayangnya, jalanan terjal membuat kami kesulitan menaiki puncak, tiga mobil di belakang kami terjebak di badan jalan yang rusak menaiki puncak. Solusinya, teman-teman harus turun dan mendorong mobil bersama-sama.

Aksi mendorong mobil yang terjebak terjalnya jalan mendaki ke puncak Pantang Troeng

Kawasan Pantang Troeng yang diselimuti kabut dingin

Foto Bareng setelah berhasil mendorong mobil. #Pantang Troeng

Cuaca saat itu ku kira mendung, tapi kata Khatijah cuaca seperti itu adalah yang tercerah di takengon. “Hari ini cuaca bagus, mataharinya cerah,” katanya. Padahal kalau di Banda Aceh, matahari yang seolah enggan keluar seperti itu adalah mendung. Usai makan siang di acara nikahan, kami melanjutkan perjalanan menuju Danau Lut Tawar. Sebelum itu, kami salat zuhur di Mesjid Raya Takengon.

Jepret. Usai salat di dalam mesjid

Teras mesjid

Sudah nonton film The Heirs yang dibintangi si ganteng Lee Min Ho? Oppa, Your So Handsome. Hehee Aku bertanya pada teman-teman, ada yang mengangguk dan ada yang hanya diam. Maksud ku bertanya adalah karena aku teringat salah satu adengan di episode 2 film itu. Saat Eun Sang menunjuk bukit yang tertulis HOLLYWOD. “Jika dilihat dari sini seperti dekat, tapi kalau kesana benar-benar jauh,” kata Kim Tan pada Eun Sang. Kyaaaa, ini bukan demam korea. Tapi yang ku lihat benar-benar seperti itu. Tulisan GAYOHIGHLAND membuatku terpana. Sorak sorai pun terdengar dari teman-teman yang mengerti cerita ku.

Foto saya ambil dari halaman Mesjid. Gayo High Landnya ga nampak jelas. Tapi ceritanya begitu melekat :)

Sang pemandu bersemangat menunjukkan jalan, dari kota Takengon kami bergerak menuju Danau Lut Tawar. Memasuki gapura selamat datang di Danau Lut Tawar, kita sudah bisa melihat hamparan luas Danau yang dikelilingi pengunungan. Indahnya tak membuat jenuh. Aku tak pernah menutup kaca mobil saat memasuki kawasan danau, kedua tangan menyanggah dagu yang kuletakkan di pinggir jendela mobil. Begitu sayang melewati tiap detik view jalanannya. Tidak jauh dari pintu masuk, kami berhenti di goa Putri Pukes, sesuai yang diarahkan oleh Khatijah. Dengan membayar Rp. 5000,-/orang kepada Abdullah baru diizinkan masuk kedalam goa. Menurut sejarah seperti yang diceritakan oleh Abdullah, penjaga goa, Putri Pukes adalah seorang putri cantik yang menjadi batu dalam goa itu. Ia menjadi batu karena tidak mengindahkan ucapan sang ibu, sebelumnya Ibu berpesan agar ia tidak menoleh ke belakang saat perjalanan menyeberangi danau menuju ke rumah suaminya. Tidak sampai hati, sang putrid pun menoleh karena begitu teringat kepada Ibu yang ditinggalkannya. Pada saat itu lah terjadi badai yang menenggelamkan seluruh pengawal Putri Pukes yang kemudian diterjang sampai ke daratan. Saat badai sudah reda, para pengawal yang selamat mencari sang putrid, tapi mereka tidak menemukan putri hidup malah menemukan jasadnya yang telah membatu. Itulah sepenggal kisah Putri Pukes yang abadi dalam goa itu. Aku tidak ikut masuk ke dalam goa bersama teman lainnya. Memilih duduk bersama Abdullah mendengar ceritanya tentang Putri Pukes.

Halaman luar Goa Putri Pukes

Bersama Abdullah, si penjaga Goa

Dari Pukes, kami melanjutkan perjalanan menelusuri Danau Lut Tawar mencari tempat pemberhentian selanjutnya di pinggir danau. Sayangnya, hujan tiba-tiba saja mengguyur deras. Kami harus tetap stay dalam mobil yang terus melaju tak tahu arah. Sampai akhirnya kami masuk ke salah satu bungalow di pinggi danau. Sedikit kecewa karena bayaran parkir yang tinggi, padahal hujan sedang deras, kalau pun kami berhenti di situ tak ada apapun yang bisa kami nikmati.

Danau Lut Tawar di guyur hujan

Mengatasi kekecewaan, kami turun ke bawah bungalow dengan mobil. Bukan lagi terjal, tapi jalanannya benar-benar menurun dan patah, karena hujan, jadi sedikit licin. Berhasil turun, tapi tidak berhasi naik lagi. Alhasil dengan penuh doa dan semangat, menekan pdal gas dalam-dalam lalu mendorong mobil hingga berhasil naik kembali. Hujan semakin deras, satu persatu mobil di dorong kembali ke atas.

Setelah berhasil naik ke atas. Kami semua bergegas pulang

Azan magrib, kami sudah berada di Mesjid Raya Takengon. Usai salat, menuju terminal yang menawarkan berbagai makanan untuk dinner. Pukul Sembilan malam, kami sudah berada di Kampung Balek tempat aneka buah-buahan khas Takengon dijual. Aku memilih tetap dalam mobil karena sangat mengantuk, menitip belanjaan pada teman-teman yang lain. Pukul sepuluh malam, kami melangkah ke pemandian air panas. Teman-teman yang laki-laki memilih mandi, sedangkan kami yang perempuan hanya mencuci muka dan berwudhu. Setelah pemitan dengan bu Khatijah dan keluarga Friska, kami berjalan pulang menuju Banda Aceh. aku sedikit mendesah karena melewati jalan di malam hari, seperti perjalan pergi ke Takengon. Tidak ada kesempatan melihat jalanan di siang hari tapi kami harus segera pulang. Memiliki supir yang lumayan tangguh, mereka benar-benar belum tidur dari berangkat hingga pulang. Sepanjang perjalanan pulang aku menikmati jalanan dan udaranya yang ku hirup dalam-dalam. Impianku pergi ke Takengon tercapai sudah, walau seperti angin yang berlalu. Setidaknya, aku sudah melangkah. Dan aku akan melangkah lagi di kesempatan yang lain. Sementara teman-teman yang lain tertidur dalam mobil, aku sama sekali tidak bisa tidur dan memilih melihat jalanan memandu sang supir, Aj Fadhli. Sesekali rasa mual begitu terganggu, aku membuka jendela mobil dan melihat pemandangan malam. Gempita dan sangat terjal. Bekas longsor di badan jalan membuat ku ngeri. Azan Subuh, kami sampai di mesjid Caleu, Sigli, Pidie Aceh. istirahat sebentar, hingga pukul delapan pagi kami melanjutkan perjalanan pulang ke Banda Aceh. Dan perjalanan kami terus berlanjut sampai akhirnya berenang di mata air Sarah, Leupung, Aceh Besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun