Mohon tunggu...
Uwlan Nur Rahmi
Uwlan Nur Rahmi Mohon Tunggu... -

Sejuta Mimpi Untuk Satu Harapan. Keep Writing

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sepenggal Kisah di Puncak Awan

13 April 2014   19:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bersama Abdullah, si penjaga Goa

Dari Pukes, kami melanjutkan perjalanan menelusuri Danau Lut Tawar mencari tempat pemberhentian selanjutnya di pinggir danau. Sayangnya, hujan tiba-tiba saja mengguyur deras. Kami harus tetap stay dalam mobil yang terus melaju tak tahu arah. Sampai akhirnya kami masuk ke salah satu bungalow di pinggi danau. Sedikit kecewa karena bayaran parkir yang tinggi, padahal hujan sedang deras, kalau pun kami berhenti di situ tak ada apapun yang bisa kami nikmati.

Danau Lut Tawar di guyur hujan

Mengatasi kekecewaan, kami turun ke bawah bungalow dengan mobil. Bukan lagi terjal, tapi jalanannya benar-benar menurun dan patah, karena hujan, jadi sedikit licin. Berhasil turun, tapi tidak berhasi naik lagi. Alhasil dengan penuh doa dan semangat, menekan pdal gas dalam-dalam lalu mendorong mobil hingga berhasil naik kembali. Hujan semakin deras, satu persatu mobil di dorong kembali ke atas.

Setelah berhasil naik ke atas. Kami semua bergegas pulang

Azan magrib, kami sudah berada di Mesjid Raya Takengon. Usai salat, menuju terminal yang menawarkan berbagai makanan untuk dinner. Pukul Sembilan malam, kami sudah berada di Kampung Balek tempat aneka buah-buahan khas Takengon dijual. Aku memilih tetap dalam mobil karena sangat mengantuk, menitip belanjaan pada teman-teman yang lain. Pukul sepuluh malam, kami melangkah ke pemandian air panas. Teman-teman yang laki-laki memilih mandi, sedangkan kami yang perempuan hanya mencuci muka dan berwudhu. Setelah pemitan dengan bu Khatijah dan keluarga Friska, kami berjalan pulang menuju Banda Aceh. aku sedikit mendesah karena melewati jalan di malam hari, seperti perjalan pergi ke Takengon. Tidak ada kesempatan melihat jalanan di siang hari tapi kami harus segera pulang. Memiliki supir yang lumayan tangguh, mereka benar-benar belum tidur dari berangkat hingga pulang. Sepanjang perjalanan pulang aku menikmati jalanan dan udaranya yang ku hirup dalam-dalam. Impianku pergi ke Takengon tercapai sudah, walau seperti angin yang berlalu. Setidaknya, aku sudah melangkah. Dan aku akan melangkah lagi di kesempatan yang lain. Sementara teman-teman yang lain tertidur dalam mobil, aku sama sekali tidak bisa tidur dan memilih melihat jalanan memandu sang supir, Aj Fadhli. Sesekali rasa mual begitu terganggu, aku membuka jendela mobil dan melihat pemandangan malam. Gempita dan sangat terjal. Bekas longsor di badan jalan membuat ku ngeri. Azan Subuh, kami sampai di mesjid Caleu, Sigli, Pidie Aceh. istirahat sebentar, hingga pukul delapan pagi kami melanjutkan perjalanan pulang ke Banda Aceh. Dan perjalanan kami terus berlanjut sampai akhirnya berenang di mata air Sarah, Leupung, Aceh Besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun