Mohon tunggu...
Ruth Alicia Silitonga
Ruth Alicia Silitonga Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik - Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kepentingan Politik Luar Negeri Era Presiden Jokowi dalam Partisipasi Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi PBB ke-29 (COP29) UNFCCC 2024

3 Desember 2024   22:21 Diperbarui: 3 Desember 2024   22:26 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PT PLN menggalang kolaborasi dengan komunitas global dalam COP29 di Azerbaijan (REPUBLIKA/Gita Amanda via esgnow)

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan salah satu penghasil emisi karbon terbesar, memainkan peran penting dalam isu perubahan iklim global. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, politik luar negeri Indonesia diarahkan untuk memperkuat partisipasi aktif dalam diplomasi perubahan iklim. 

Melalui kehadirannya dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB mengenai Perubahan Iklim Yang ke-29 (COP29). Keikutsertaan ini mencerminkan kepentingan strategis nasional Indonesia dalam aspek ekonomi, ekologi, dan geopolitik.

Komitmen Indonesia dalam Diplomasi Perubahan Iklim

Sejak awal masa pemerintahannya, Presiden Jokowi menunjukkan komitmen terhadap isu lingkungan dengan berpartisipasi aktif dalam COP. Pada COP21 di Paris tahun 2015, Indonesia menyampaikan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) yang menetapkan target pengurangan emisi karbon sebesar 29% secara mandiri, atau hingga 41% dengan dukungan internasional, pada tahun 2030.

Komitmen ini mencerminkan upaya Indonesia untuk berkontribusi pada pencapaian target Perjanjian Paris dalam menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius. Kebijakan ini juga sejalan dengan langkah domestik yang diambil pemerintah, seperti pembentukan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), penghentian izin baru di kawasan hutan primer, serta upaya transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. 

Semua langkah ini menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci dalam diplomasi perubahan iklim. Namun, langkah-langkah ini tidak hanya berlandaskan pada tanggung jawab moral atau tekanan internasional, terdapat kepentingan nasional yang mendalam di balik partisipasi Indonesia dalam konferensi perubahan iklim global.

Kepentingan Ekonomi: Membuka Akses Pendanaan Hijau

Partisipasi Indonesia dalam COP membuka peluang besar untuk mengakses pendanaan internasional dalam mendukung transisi hijau. Pendanaan ini sangat penting, mengingat biaya yang diperlukan untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim cukup besar. 

Melalui keterlibatan aktif dalam COP, Indonesia berupaya menarik investasi internasional dalam bentuk bantuan finansial, teknologi, dan pelatihan.Pada COP26 di Glasgow tahun 2021, Indonesia menegaskan komitmennya untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru setelah tahun 2023 dan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. 

Dalam konferensi tersebut, Indonesia berhasil mendapatkan komitmen pendanaan dari berbagai negara dan lembaga internasional, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), yang mendukung transisi energi terbarukan di sektor pembangkitan listrik.

Pendekatan ini tidak hanya mendorong pembangunan berkelanjutan, tetapi juga membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi salah satu pusat investasi hijau di kawasan Asia Tenggara. Hal ini penting mengingat ekonomi global semakin berfokus pada keberlanjutan, dan keberhasilan Indonesia dalam transisi hijau dapat meningkatkan daya saingnya di pasar internasional.

Kepentingan Ekologi: Menjaga Ketahanan Lingkungan Nasional

Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia menghadapi ancaman serius dari kenaikan permukaan laut. Selain itu, fenomena cuaca ekstrem, seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan, semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. 

Partisipasi dalam COP memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk bekerja sama dengan komunitas internasional dalam memperkuat ketahanan ekologi nasional.

Langkah-langkah yang diambil dalam konteks COP, seperti restorasi lahan gambut dan penanaman kembali hutan mangrove, tidak hanya berdampak positif pada pengurangan emisi karbon, tetapi juga membantu melindungi masyarakat yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Restorasi ekosistem ini memberikan manfaat langsung bagi masyarakat lokal, seperti peningkatan hasil perikanan dan perlindungan terhadap abrasi.

Selain itu, komitmen Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam COP juga membantu memperkuat posisi negara dalam negosiasi internasional terkait kompensasi bagi negara-negara berkembang yang terkena dampak perubahan iklim.

Kepentingan Geopolitik: Memperkuat Diplomasi Indonesia di Kawasan dan Dunia

Isu perubahan iklim memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pengaruhnya di kancah internasional. Sebagai salah satu negara berkembang terbesar, Indonesia dapat memainkan peran sebagai jembatan antara negara maju dan negara berkembang dalam negosiasi perubahan iklim. 

Dalam COP, Indonesia sering menjadi suara utama bagi negara-negara berkembang, menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari negara-negara maju dalam memberikan dukungan finansial dan teknologi untuk transisi energi.

Peran ini memperkuat posisi strategis Indonesia di forum multilateral seperti G20 dan ASEAN. Sebagai ketua G20 pada tahun 2022, Indonesia menjadikan transisi energi sebagai salah satu agenda utama, menunjukkan komitmennya terhadap diplomasi hijau yang lebih luas. 

Hal ini tidak hanya meningkatkan citra internasional Indonesia, tetapi juga menunjukkan bahwa negara ini mampu menjadi pemimpin dalam isu global yang mendesak.

Tantangan dalam Pelaksanaan

Meskipun partisipasi aktif Indonesia dalam COP patut diapresiasi, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk memastikan kebijakan ini benar-benar membawa manfaat. Salah satu tantangan utama adalah implementasi kebijakan domestik. 

Banyak proyek restorasi dan transisi energi yang masih terhambat oleh masalah teknis, birokrasi, dan kurangnya pendanaan.Selain itu, Indonesia menghadapi kritik internasional terkait kebijakan deforestasi dan penggunaan batu bara yang masih signifikan. 

Meskipun pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk mengurangi emisi, kenyataan di lapangan seringkali menunjukkan adanya kesenjangan antara komitmen dan pelaksanaan. Tantangan lainnya adalah bagaimana Indonesia dapat menyeimbangkan kepentingan domestik dengan tekanan internasional. 

Sebagai negara berkembang, Indonesia masih bergantung pada sektor-sektor ekonomi yang berkontribusi besar terhadap emisi, seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Transisi menuju ekonomi hijau memerlukan strategi yang hati-hati agar tidak mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun