Kecewa. Perasaan itu muncul ketika hanya bisa berdiri di sebuah bangunan tua yang indah, tapi tidak bisa melihat bagian dalamnya.
Itulah yang saya alami saat memandang keanggunan bangunan bercat putih dengan pilar besar di bagian depan. Ini bukan bangunan biasa. Ini bangunan peninggalan pemerintah Belanda. Bangunan yang berada di Jalan Pemuda, Kota Depok, Jawa Barat.
Rasa kecewa itu akhirnya terobati ketika saya bersama teman-teman Click dan Kreatoria menyusuri ruas Jalan Pemuda. Di sinilah bangunan-bangunan peninggalan Belanda berada.Â
Bangunan itu tidak hanya berupa rumah tinggal, tetapi sekolah, gereja, hingga tugu. Kalau sebelumnya saya cuma bisa melihat bagian depan, pada kesempatan ini saya  bahkan bisa duduk di ruang dalam rumah pastor yang sekarang menjadi kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC).
Di ruang besar berhias foto-foto Presiden Depok, Pak Boy Loen menuturkan kisah yang tersimpan di balik tembok tebalnya. Kisah yang mulai terlupakan, padahal memiliki nilai sejarah dan pendidikan untuk generasi mendatang.
Kisah Cornelis Castelein
Tidak ada sekarang tanpa dahulu. Begitu juga dengan Depok, tidak ada Depok sekarang tanpa Depok di masa lalu.
Depok di masa lalu berupa hamparan tanah yang dipenuhi oleh pepohonan, Perkebunan, dan persawahan. Tempat yang sejuk untuk menepi dari keramaian Batavia.Â
Tanah yang subur dan pemandangan yang asri serta letaknya yang tidak terlalu jauh dari Batavia, membuat pria kelahiran Amsterdam 10 Agustus 1657 itu membeli lahan itu dan menjadikannya sebagai tempat tinggal.
Bersama keluarga dan para pekerja yang berasal dari Bali dan Nusa Tenggara, Chastelein menggelola perkebunan lada, karet, dan tebu. Hasil perkebunan miliknya dijual ke pedagang di Batavia.
Meski menjabat sebagai petinggi di VOC, Chastelein sangat menyintai Depok dan memilih tinggal di tanah miliknya. Chastelein tidak hanya membangun tempat tinggal, ia juga membangun gereja, saat ini masih digunakan, dan sekolah untuk para pekerjanya.
Ya, Chastelein tidak mau para pekerjanya dibohongi di masa datang. Ia yakin pendidikan menjadi kunci sukses di masa depan. Chastelein pun menggunakan bahasa Belanda untuk berkomunikasi dengan keluarga dan para pekerja.
Hubungan yang baik dan tidak biasa antara tuan tanah dan pekerja itu berakhir ketika Chastelein meninggal dunia. Tetapi sebelum maut menjemput, Chastelein telah membebaskan para pekerjanya. Mereka tidak lagi menjadi budak tetapi sepenuhnya menjadi manusia Merdeka.
Dalam surat wasiat yang ditulis pada 13 Maret 1714, Chastelein bahkan memberi marga pada pekerjanya yaitu Soedira. Marga lain yang tersemat pada nama pekerjanya diduga diambil dari alkitab, yaitu Jonathans, Bacas, Laurens, Leander, Loen, Isakh, Samuel, Jacob, Joseph, Tholense dan Zadokh. Marga Zadokh telah hilang karena tak memiliki keturunan anak laki-laki.
Bangunan Tua di Jalan Pemuda
Sepeninggal Chastelein, Depok menjadi daerah otonom dan memiliki presiden yang berasal dari keturunan 12 marga. Setidaknya ada 5 presiden Depok.Â
Terakhir Presiden Depok dijabat oleh Johannes Matijs (JM) Jonathans. Rumah milik Jonathans masih berdiri tegak di seberang bangunan yang dulu dijadikan rumah sakit.
Kehidupan yang semula berjalan dengan baik, tiba-tiba berubah ketika terjadi peristiwa gedoran depok. Masyarakat beranggapan keturunan bekas pekerja Chastelein tidak mendukung kemerdekaan Indonesia karena memiliki UU yang memberikan hal pilih warga yang dewasa. Mereka pun masih memakai bahasa Belanda untuk berkomunikasi.
Warga keturunan bekas pekerja Chastelein pun ditangkap dan ditahan di Kedung Halang. Di sana warga keturunan belajar bahasa Indonesia.Â
Dua tahun berselang, mereka akhirnya bisa kembali ke kampung halamannya. Perubahan tentu terjadi, Depok yang semula dipimpin oleh presiden akhirnya melebur dengan pemerintahan yang berkuasa.
Kini, Depok telah menjadi Kota yang padat dan ramai. Meski demikian, bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda masih berdiri tegak di sepanjang jalan Pemuda.
Beberapa rumah beratap pelana itu masih dihuni dan dijadikan rumah tinggal. Seperti rumah milik Presiden Kelima Depok yang letaknya agak tersembunyi di belakang sebuah warung.Â
Salah satu ruangan yang berada di bagian depan digunakan untuk menyimpan sejumlah barang yang dipakai oleh JM Jonathans, seperti meja, kursi, dan foto-foto.
Di seberang rumah berjendela besar dan tinggi itu terlihat bangunan yang sudah tidak lagi dipakai. Halaman bangunan yang dulu dijadikan rumah sakit Harapan itu dipenuhi rerumputan.Â
Padahal dahulu, bangunan ini adalah Gemeente atau kantor presiden Depok. Salah satu tugas presiden Depok adalah mengatur hasil panen dan menyimpannya di lumbung yang berada di belakang kantor.
Selain rumah presiden, ada beberapa rumah tua yang masih bisa dilihat. Meski letaknya tidak saling bersebelahan, tetapi rumah-rumah itu mudah dikenali berkat arsitekturnya yang khas. Dari depan, bangunan memiliki tiang-tiang besar untuk menopang atap. Pintunya pun berukuran besar dan terdiri dari dua daun pintu. Begitu juga dengan jendelanya yang tinggi dan besar.
Langit-langit dan atap yang tinggi membuat sirkulasi udara di dalam rumah berjalan dengan lancar. Rumah pun terasa sejuk dan nyaman. Apalagi dahulu masih banyak pepohonan, tentu sangat menyenangkan berada di dalam rumah.
Pemakaian pilar-pilar besar juga ditemui pada gedung yang kini dijadikan kantor YLCC dan sekolah. Dahulu gedung ini merupakan tempat tinggal pendeta. Letaknya memang berdekatan dengan Gereja Immanuel.
Sayangnya, saya tidak sempat melihat Gereja Immanuel karena hujan deras. Tetapi, perjalanan menyusuri Jalan Pemuda sudah membuat bahagia.Â
Timbul harapan agar peninggalan masa lalu yang kaya dengan sejarah Kota Depok tidak rusak dan hilang. Kalau bukan kita yang menjaga dan merawat peninggalan bukan tidak mungkin semua akan hilang. Yuk, rawat dan jaga sejarah bangsa karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
referensi:
Sejarah Gedung Yayasan Lembaga Cornelis Charatelein di Depok - Tribunnewsdepok.com
Menilik Gaya Arsitektur Kolonial di Indonesia-Kompas.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI