Mohon tunggu...
Rama Uta
Rama Uta Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Sulit untuk mencuri dunia yang telah bersikap dan menyandarkan punggung dengan kearifan untuk mengetahuinya..

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hingga Tidak Sadar Kita Sama

11 April 2016   16:19 Diperbarui: 11 April 2016   18:44 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber : www.vocaldynamix.com"][/caption]Senja kala tiba. Semua menjadi berlembar dua. Ada yang utuh sempurna dan ada yang terbagi-bagi menjadi setengah, dua pertiga atau tak sesampai setengahnya. Warnanya sama. Datar hitam meraba serupa warna bola mataku yang menangkap tingkahmu yang janggal. Jika kuperhatikan, sesungguhnya cahayalah biang keladi yang tak sengaja mempertemukan kita berdua. Aku membutuhkan cahaya untuk menangkap responmu dan seketika membutuhkan kegelapan untuk menggapai lirihmu. Teman, harus kuakui kau sungguh unik.

 

Pintu selaput mataku mulai mengunci rapat-rapat menandakan bahwa aku sedang berdiam diri di celah-celah rimbunnya danau dirimu. Mungkin aku sedang berbaik hati kali ini. Kubiarkan dirimu masuk ke surga khayalku sembari mencelotehkan berbagai maklumat hingga amanat yang terus berulang-ulang berirama tak berkesudahan. Memang harus kuakui aku sudah mengetahui niat baikmu untuk selalu mencari solusi. Kadangkala aku berpikir setelah berulangkali bernegoisasi, ada baiknya menelan mentah-mentah ucapan yang keluar begitu saja dari mulutku. Namun, kadang ilusimu yang lebih ‘mengena’ untuk beberapa kasus. Ya, kadang aku yang juara dan tak jarang kamu yang jumawa. Dan seringkali perseteruan antara kau dan aku harus ditengahi oleh pihak ketiga, yang merupakan kolaborasi antara kita berdua. Satu menjadi dua lalu terbagi lagi menjadi tiga. Dan hal tersebut menorehkan daftar kerumitan yang baru. Pusingkah? Berdamailah denganku, teman.

[Aku merasa aliran keringat melambat jatuh dari ujung kening yang mulai berkerut, menua untuk memburu nafas yang sejumput]

Aku seperti melewati waktu tanpa sanggup. Ingin mencoba melewati jalan lain yang tak bersua denganmu. Namun takdir tak menjamah anganku. Walau begitu, berhentilah menghardikku dalam diammu. Aku mulai membencimu, disaat jawabanmu yang tak kumau muncul di etalase prajawabku. Kendati kuncinya tak kuberikan padamu, namun kuasamu untuk menduplikat jelas menohokku.

 

Bukankah sudah kubilang api tidak lagi menjadi sahabat kita. Walau cahaya tak jua menjadi primadona di corat-coret hidup kita. Caramu untuk merayuku sungguh licik dan kau pasti tahu itu semua. Tak mau pergi walau berkali kuhina. Mematung hening saat kumaki dan berdiam diri saat kuusir segera. Kucoba memperdayaimu, berpaling darimu, selingkuh dengan yang lain hingga kuludahi dirimu dengan sempurna.

Mengapa engkau ada dan selalu bersemi untukku. Apa untungnya bagimu? Terlebih bagi diriku? Apakah kau cinta padaku? Apakah kau peduli padaku? Atau, mungkin akulah yang justru mencintai dan peduli padamu? Lebih dari semua perilaku itu.

[Kusegel buliran keringat itu dengan tangan yang memungut kasar tak hiraukan badan]

 

Saat terdiam biasanya kau mengiang. Itulah sebisanya dirimu mendekatiku. Tapi aku tak ingin kau seperti itu. Biarlah keputusanku bulat tak tersentuh. “Sudahlah!” Jawabku padamu. Namun kau diam bila kuberkata-kata dan kembali menyala-nyala ketika kubungkam.

“Cukup! Tak malukah kau? Aku hanya ingin sendiri.”

“Apakah kau ingin kubinasakan?”

“Seberani itukah harga dirimu? Yang tak takut secuil kilah pun tertangkap mataku.”

“Atau jangan-jangan kau tahu rahasiaku?”

“Rahasia terbesarku?”

 

“Melawanku adalah hal yang sia-sia, teman.”

 

Aku belum berpikir sejauh itu. Tentunya.

“Kau lebih paham?”

“Ataukah aku yang terlalu dangkal?”

 

Kutebas tanganmu? Hilang.

Kubakar ragamu? Lenyap.

Kusumpal mulutmu? “Arrgghhhhh.”

Aku tersesak senafas. Antara hidup-mati. Kau pun megap-megap.

Rasanya aneh saat aku tahu apa yang ingin kau katakan. Dan mungkin tak wajar bila kau tahu kenyataan yang ingin kubicarakan.

 

Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah padamu, teman. Teman kecilku yang meragu. Teman sebayaku yang melugu. Teman seusiaku yang bergemuruh. Teman dewasaku yang menahun. Sesungguhnya aku bukan lari dari kenyataan. Namun secara alamiah tersadar juga terjaga, bahwa takkan pernah hilang angan dari pandangan. Bawah sadar tersadar dan bersegera teringat akan hal yang menjadi keputusan searah seumpama hasil yang serupa.

 

 

(Hening. Jendela tertutup dengan bingkai hati terjaga. Firasat perlahan mengganti distorsi sebelum memulai memetik dawai jiwa).

 

Teman, Membolak-balik kenyataan tak semudah mengatakan: Aku bisa! Aku benci bila tiba suatu kondisi dimana aku tak bisa memberi penilaian. Apakah sesampai di sini akan memukau atau justru mengecewakan, pun berharga atau murahan. Padahal konsep telah tersusun secara terinci dan sistematis. Sedikit sentuhan artistik nan kreatif yang kupahami akan sedikit hingar bingar di luar sana yang bisa menandingi. Seperti suatu gambaran tingkat kejeniusan sudah tergambar pada awal mula komposisi. Namun, dititik yang telah memuai, aku nelangsa. Seperti tak tahu apa-apa.

Blang...

Blash. …

No flash….  

 

Jujur saja, saat ini kau memang tak butuh impresiku. Sepertinya kau memerlukan suara lain yang berseru-seru. Musik lain yang terjaga harmoni orisinalitasnya. Nada sederhana yang tak pernah pecah titik inti di dalamnya. Mungkin seharusnya lebih merangkai diatonic bukan pentatonic. Kalaupun harus pentatonic, kau harus lebih meneliti lagi apakah pada skala c major penta ataupun f major penta. Huft! Semurni dari cuilan isak pikiran jiwanya. Tidak sumbang oleh kecupan angin malam. Atau apapun itu namanya. Yang Intinya tidak menuju serpihan nepotisme yang dangkal dan berulang. Mengertikah kamu?

 

Hingga saat itulah kau akan merasa seperti berada di ujung lidah. Dekat sekali. Namun, kau mencariku bagai menjerumus ke palung laut terdalam. Di Titik ini aku terpaku. Antara sadar dan khayal.

“Kau dimana?” katamu. Akupun  tak tahu.

“Carilah aku sampai kau menyatu-padu!” kataku.

Harusnya takkan sia-sia.

 

----------------------------------------------------------

 

 

“Hey, ini yang terakhir.” Ultimatumku padamu.

“Aku ini berdikari.”

“Akulah pemegang kendali.”

“Akulah juri.”

“Akulah keputusan akhir.”

“Akulah kuasa abadi.”

“Dan kau hanyalah kemudi.”

.

.

.

“Oh,ya?”

“Kalau begitu, coba tolak perintahku!”

“Jangan biarkan dirimu memikirkanku saat ini!”

.

.

.

“Eh,”

“Arrggghhhhhh…………”

.

.

.

­“kau itu kecil, sayang…”

“Aku pun kerdil………….”

“Berdamailah pada bintang-bintang”

“Lihat titik-titik kemilaunya”

“Jangan terpaku dingin dan kelamnya suasana.”

“Hingga tak sadar kita sama.”

 

 

 

2016

Rama_Uta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun