Mohon tunggu...
Siti Uswatun Khasanah
Siti Uswatun Khasanah Mohon Tunggu... Editor - Novelis dan editor

Menulis dan menyunting, sejalan seirama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dosa yang Terulang

17 Maret 2023   15:09 Diperbarui: 17 Maret 2023   15:11 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tangan Laras gemetaran menggenggam sebuah alat medis berukuran kecil memanjang. Bola mata perempuan berperawakan mungil itu memanas, menahan bulir bening yang siap meluncur. 

Kini, alat yang disebut test pack itu pun jatuh ke lantai bersamaan dengan air matanya yang berderai. Suara isak tangis ia tahan sekuat tenaga agar satu-satunya sosok yang hidup bersamanya tak mendengar. 

Dua garis merah telah tertoreh di sana. Baru saja, Laras memeriksa secara mandiri kondisi tubuhnya dengan alat yang ia beli di apotek sepulang kerja. Ia terlalu takut untuk memeriksakan diri ke bidan ataupun dokter. 

Gadis 20 tahun itu kini yakin, dirinya tengah mengandung benih seseorang yang sangat ia cintai. Ia berniat memberitahu sang kekasih hati tentang hasil perbuatan dosa mereka. 

Secepat kilat, Laras menyambar ponsel android murahannya di atas meja kayu usang yang sudah berderit. Sebuah nomor langsung ia tuju. 

Panggilan tersambung. 

Bibir Laras bergetar, tangisnya pecah sudah. Bahunya terguncang. Mendengar penolakan dari lelaki di seberang seperti menahan pukulan palu godam mahahebat di kepala. 

"Tega kamu, Mas ...." Laras meratap di sela isak tangisnya. "Kenapa kamu nggak mau tanggung jawab?" 

Mendadak, sambungan telepon terputus. 

Tubuh Laras luruh ke lantai semen yang dingin. Dilemparkannya benda pipih di tangannya ke atas kasur. Refleks, tangan kanannya menyambar foto sang kekasih yang terbingkai di atas meja, lalu membantingnya keras. 

Suara pecahan kaca berkeping-keping memancing Dharma (ayah Laras yang tengah berbaring santai di bangku reot) untuk segera bangkit. Langkah kaki tua itu perlahan menghampiri pintu kamar putri semata wayangnya. 

"Kamu kenapa, Laras?" tanya bapak tua itu dari depan pintu. 

Hanya isakan tangis yang terdengar. 

Tanpa menunggu persetujuan, Dharma mendorong pintu di hadapannya. Ia menghampiri putrinya yang meringkuk di tepi tempat tidur dengan wajah tersembunyi di antara dua lutut. 

"Ada apa, Laras?" Dharma mengulangi pertanyaannya. 

"Maafkan aku, Bapak ...."

"Memangnya ada apa?" Wajah Dharma tampak cemas. 

"Maaf, Paaak ...."  

"Iya, kenapa? Bapak nggak paham maksudmu."

"Aku hamil ...."

Tubuh Dharma menegang. 

"A-apa maksudmu?" Pria tua itu tergagap.

Laras mengulangi ucapannya dan menuturkan, Bagas (kekasih yang menghamilinya) tak mau bertanggung jawab, bahkan menitahkan untuk menggugurkan janin yang ada di dalam perutnya. 

Tanpa kata, pria itu beringsut menjauh keluar kamar, berlalu begitu saja. Dengan menahan perih di hati, ia meninggalkan sang putri seorang diri. 

Laras makin terisak di dalam biliknya. Ia mengakui, perbuatannya memang memalukan. Ia menyalahkan diri sendiri yang tak mampu menjaga kehormatan. Termakan hasutan setan hingga berakibat fatal. 

***

Selama beberapa hari, dua sosok beda generasi itu tak saling bertegur sapa meskipun tinggal di dalam satu atap. Dharma kerap membisu meskipun Laras berkali-kali mengajaknya berbicara. 

Lambat laun, perempuan itu berhasil menata hati dan menerima kenyataan atas petaka yang menimpa. Namun, sikap sang bapak yang dingin membuat Laras akhirnya menyerah. 

"Ya sudah, Pak, akan aku gugurkan saja bayi ini. Sama seperti keinginan ayahnya. Kehadirannya hanya akan membuat hidup kita kacau." 

Bulat sudah keputusan Laras. Ia telah bersiap menyambangi jasa pengg*gur janin. Diam-diam, perempuan itu telah mengantongi informasi tentang tempat praktik jasa ilegal itu dari seseorang. 

Di tengah langkahnya menuju pintu, suara Dharma menghentikannya. "Tunggu!"

Laras berhenti tanpa menoleh. Kepalanya tertunduk dalam. 

"Jangan gugurkan anak itu. Bapak akan bantu merawatnya."

Laras terdiam kaku di tempatnya berdiri, lalu perlahan membalikkan badan. 

"Ba-Bapak yakin?" 

Laras tak percaya. Dirinya ragu, dengan ekonomi yang pas-pasan sebagai buruh pabrik, juga sang bapak yang hanya petani suruhan, akan mampu membesarkan anak tanpa seorang ayah. Bagaimana pula dengan gunjingan tetangga, para teman, juga saudara? Ia tak berani membayangkannya. 

"Bapak akan berusaha sekuat tenaga. Bapak masih kuat," ujar Dharma, setengah berdusta. Di usianya yang telah lebih dari setengah abad, bohong jika masih sesegar pria yang masih berusia tiga puluhan tahun. 

Namun, tak ada pilihan lain baginya selain menerima makhluk baru di rumah itu. Meskipun sang istri telah tiada, ia bertekad akan mengasuh sang cucu kala Laras harus bekerja nantinya. 

Akhirnya, Laras menyetujui saran sang bapak. Dirinya juga tak ingin melakukan dosa yang lebih besar dengan menjadi pembunuh janin tak berdosa. Dosa zinanya saja belum tentu terampuni, apalagi ditambah dosa mengg*gurkan janin tanpa alasan. 

Usaha Laras mengejar tanggung jawab sang pacar tak membuahkan hasil. Bahkan, tetangga tempat indekos sang kekasih mengabarkan, lelaki itu telah kabur ke kampung halamannya, di Pulau Sumatra. 

"Dasar brengs*k!" Laras mengumpat. Ia kini hanya bisa menyesali semua perbuatannya, juga pertemuan dengan pria berusia tiga tahun di atasnya itu. 

Pekerjaan sang lelaki yang belum pasti, tak menyurutkan tekad Laras untuk menjalin kasih dengannya. Berkali-kali, pria itu berjanji akan memperoleh pekerjaan yang lebih baik, kemudian akan segera melamarnya. Laras pun terbuai bujuk rayu, bahkan bersedia menyerahkan jiwa raganya. 

Nasi telah menjadi bubur. Hari-hari ia lalui dengan perut makin membesar. Ia mengaku telah menikah siri kepada teman-teman kerjanya. Namun, para tetangga tak bisa ia bohongi. Berbagai gunjingan dan cemoohan ia terima. Ia sadar betul, dirinya memang salah. Sanksi sosial pasti ia terima.

Dalam kondisi rapuh sedemikian rupa, dorongan dari sang bapak adalah satu-satunya penyemangat bagi Laras. Ia berjuang sekuat tenaga untuk terus hidup demi buah hati yang menghuni rahimnya. 

Laras telah mengajukan cuti bersalin. Waktu melahirkan tinggal menghitung hari. 

Tiba saat persalinan. Laras melahirkan seorang bayi yang begitu cantik rupawan di sebuah rumah bersalin dekat tempat tinggalnya. Beruntung, tak ada komplikasi apa pun yang menimpa ibu dan bayi itu. 

Di sisi pintu, Dharma berdiri bak sebuah tiang. Ia yang dari tadi menunggu proses persalinan putrinya, kini terdiam memandang cucunya yang tengah tertidur pulas di samping sang ibu. Mata sayu itu mengembun menatap keduanya. Air mata pria itu luruh, menangisi penyesalan terbesar dalam hidupnya. Kini, putrinya juga harus menanggung kesalahan dan dosa yang sama.

Pikiran Dharma menerawang ke masa lampau, 24 tahun silam. Saat itu, Dharma tega meninggalkan seorang perempuan muda yang terisak dan berlutut di hadapannya. Perempuan itu memohon pertanggungjawaban terhadap bayi yang tengah dikandungnya.

Dengan tega, lelaki itu mengabaikan. Malah meminta si perempuan untuk menggugurkan sang jabang bayi. Tanpa pemberitahuan, ia kabur meninggalkan Pulau Kalimantan, pulau tempatnya bekerja sekaligus tempat gadis itu tinggal, dan melarikan diri ke Pulau Jawa. 

Seolah-olah telah melupakan sang kekasih, dua tahun kemudian, Dharma menikahi perempuan lain hingga memiliki Laras, anak satu-satunya.

Ia kini mengerti, keadaan wanita yang dahulu ia tinggalkan, pasti tak jauh berbeda dengan Laras. Dharma teringat akan ucapan seorang ustaz yang pernah ia dengar di sebuah acara pengajian yang dihadiri. 

"Dosa zina ibarat utang yang bisa saja mengharuskan keluarga atau keturunan pelakunya untuk membayar."

Petuah itu kini terngiang kembali di kepalanya. Tak menyangka, perbuatannya bertahun-tahun silam, kini terulang menimpa putrinya sendiri. 

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun