Laras telah mengajukan cuti bersalin. Waktu melahirkan tinggal menghitung hari.Â
Tiba saat persalinan. Laras melahirkan seorang bayi yang begitu cantik rupawan di sebuah rumah bersalin dekat tempat tinggalnya. Beruntung, tak ada komplikasi apa pun yang menimpa ibu dan bayi itu.Â
Di sisi pintu, Dharma berdiri bak sebuah tiang. Ia yang dari tadi menunggu proses persalinan putrinya, kini terdiam memandang cucunya yang tengah tertidur pulas di samping sang ibu. Mata sayu itu mengembun menatap keduanya. Air mata pria itu luruh, menangisi penyesalan terbesar dalam hidupnya. Kini, putrinya juga harus menanggung kesalahan dan dosa yang sama.
Pikiran Dharma menerawang ke masa lampau, 24 tahun silam. Saat itu, Dharma tega meninggalkan seorang perempuan muda yang terisak dan berlutut di hadapannya. Perempuan itu memohon pertanggungjawaban terhadap bayi yang tengah dikandungnya.
Dengan tega, lelaki itu mengabaikan. Malah meminta si perempuan untuk menggugurkan sang jabang bayi. Tanpa pemberitahuan, ia kabur meninggalkan Pulau Kalimantan, pulau tempatnya bekerja sekaligus tempat gadis itu tinggal, dan melarikan diri ke Pulau Jawa.Â
Seolah-olah telah melupakan sang kekasih, dua tahun kemudian, Dharma menikahi perempuan lain hingga memiliki Laras, anak satu-satunya.
Ia kini mengerti, keadaan wanita yang dahulu ia tinggalkan, pasti tak jauh berbeda dengan Laras. Dharma teringat akan ucapan seorang ustaz yang pernah ia dengar di sebuah acara pengajian yang dihadiri.Â
"Dosa zina ibarat utang yang bisa saja mengharuskan keluarga atau keturunan pelakunya untuk membayar."
Petuah itu kini terngiang kembali di kepalanya. Tak menyangka, perbuatannya bertahun-tahun silam, kini terulang menimpa putrinya sendiri.Â
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H