‘jawabannya ada didepan kamu, Bu’, ucap Althara dalam hati. Namun matanya menatap Pak Kyai dengan pandangan datar.
”AL, jawab atuh. Darimana kamu?”, sentak Bu Wilan. Namun Althara tidak menghiraukan pertanyaan Bu Wilan dan memilih masuk saja ke panti daripada dirinya basah karena rintik hujan mulai deras lagi.
Bu Wilan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Althara. Sepertinya Bu Wilan harus menyetok rasa sabar hanya untuk Althara. Deheman Pak Kyai mengalihkan fokus Bu Wilan,”Boleh saya berteduh sejenak dipanti sekaligus ingin bermain dengan anak-anak disini”
“Panti lumayan adoh, teko dalan gedhe mbak. Kene leren sediluk ing Panti mboten punapa ta?”, tanya Pak Yanto dengan logat jawanya. Belum tahu saja Pak Yanto kalau bahasa jawanya orang Gresik dengan Bandung berbeda.
“Panti lumayan jauh dari jalan raya, kita rehat sebentar disini boleh?”, jelas Pak Kyai yang peka kalau Bu Wilan tidak mengerti sama sekali bahasa Pak Yanto.
“Oh, boleh Pak mari”, Bu Wilan pun mempersilakan Pak Kyai dan Pak Yanto untuk masuk ke Panti.
Panti yang tidak terlalu mewah namun tidak terlalu kecil untuk ditempati. Panti yang sederhana dengan tawa riang anak yatim piatu didalamnya. Sungguh mulia orang-orang yang bersedia membangun rumah untuk tempat pulang anak-anak yang kehilangan tempat yang mereka sebut rumah. Memberikan kasih sayang dan pendidikan untuk menunjang masa depan mereka.
“Althara mungkin masih dikamar, sebentar saya panggilkan dulu Pak”, ujar Bu Neti yang juga termasuk pengurus panti.
Dilain sisi, Althara berdiam diri dikamarnya dengan 4 ranjang ang mengisi ruangan tersebut. Hujan adalah perantara Althara untuk merasakan sakit dan rindu dalam satu waktu. Mengenang masa lampau, dengan darah dan rintik hujan yang menjadi latar bayangannya. Hal terpedih yang harus dirasakan anak usia 5 tahun saat itu. Tragedi yang berhasil merengut empati dan ekspresinya untuk mengenal dunia. Rindu adalah kepastian yang harus Althara rasakan setiap hujan datang. Hujan datang sebagai surat rindu untuk orang tuanya sekaligus pembawa luka dan trauma untuknya.
Althara dengan cutter ditanganya dan pandangan kosong yang terus melihat rekaman rusak kejadian masa lampau. Lengan yang semula mulus kini berubah bercorak karena ukiran dari Althara. Darah yang mengalir seperti pewarna yang menghiasi ukiran itu. Darah mengalir lepas bersama rasa takutnya dan hilang berganti rasa lega.
Bu Neti hanya bisa menjerit tangis melihat anak asuhnya demikian. “Apa yang kamu inginkan Nak?, apa yang membuatmu nekat seperti ini”, pilu Bu Neti berucap sambil menangkup pipi Althara.