MADZHAB PEMIKIRAN POSITIVISME
Aliran positivisme hukum merupakan suatu pendekatan dalam filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum harus dipahami sebagai peraturan yang tertulis dan bersifat objektif, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika. Positivisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran hukum alam yang dianggap memiliki kelemahan, terutama dalam hal ketidakpastian dan spekulasi teoritis. Dalam konteks Indonesia, positivisme berperan penting dalam penegakan hukum, di mana hukum positif dijadikan sebagai alat untuk memastikan kepastian hukum dan stabilitas pemerintahan.
Positivisme hukum memiliki beberapa implikasi, antara lain:
1. Hukum dipandang sebagai perintah dari penguasa yang dituangkan dalam undang-undang, sehingga keadilan tidak selalu menjadi bagian dari hukum itu sendiri.
2. Penegakan hukum cenderung bersifat mekanistik, di mana hakim dan penegak hukum hanya menerapkan undang-undang tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau keadilan.
3. Positivisme dapat berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah, yang dapat berpotensi disalahgunakan untuk menindas hak-hak masyarakaT
Secara keseluruhan, meskipun positivisme hukum memberikan kepastian dan struktur dalam sistem hukum, pendekatan ini juga menghadapi kritik karena mengabaikan aspek moral dan keadilan, yang penting dalam mencapai tujuan hukum yang lebih manusiawi dan adil
SOCIALOGICAL JURISPRUDENCE
Sociological Jurisprudence adalah mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat. Aliran ini menekankan pentingnya hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan berupaya untuk memahami bagaimana hukum dapat berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (social engineering) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam perspektif sociological jurisprudence, tugas hakim tidak hanya sebagai pengontrol sosial formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi juga sebagai perancang penerapan hukum yang berfungsi untuk menciptakan perubahan sosial yang positif.
Sociological jurisprudence menawarkan pendekatan yang ideal, aliran ini juga menghadapi kritik, terutama terkait dengan kurangnya kriteria yang jelas untuk membedakan norma hukum dari norma sosial, serta meragukan posisi kebiasaan sebagai sumber hukum dalam masyarakat modern. 5. UU Cipta Kerja dalam konteks sociological jurisprudence, menunjukkan bahwa undang-undang tersebut menghadapi penolakan dari masyarakat karena dianggap tidak mempertimbangkan aspek sosiologis dan dinamika sosial yang ada. Hal ini mencerminkan rendahnya legitimasi sosial dari UU tersebut.
LIVING LAW & UTILITARIANISME
Living Law menekankan bahwa hukum yang efektif harus berakar dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, bukan hanya dari aturan formal yang ditetapkan oleh negara. Hukum harus mencerminkan realitas sosial dan nilai-nilai masyarakat agar dapat diterima dan dipatuhi, sehingga efektivitas hukum dapat terwujud. Utilitarianisme memberikan landasan etis bahwa hukum seharusnya bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Kriteria etis ini menjadi panduan dalam menilai dan membentuk hukum, dengan fokus pada dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Kombinasi antara Living Law dan Utilitarianisme menunjukkan bahwa hukum yang ideal harus berakar dari nilai-nilai masyarakat (Living Law) dan juga bertujuan untuk menciptakan manfaat terbesar (Utilitarianisme).
PEMIKIRAN EMILE DURKHEIM & IBNU KHALDUN
Durkheim menekankan pada konsep kesadaran kolektif dan pembagian kerja sebagai faktor pembentuk solidaritas, dengan membedakan antara solidaritas mekanis dan organik. Ia juga mengkaji pengaruh agama dan norma sosial terhadap kehidupan masyarakat. Di sisi lain, Ibnu Khaldun, melalui konsep 'asabiyyah', menyoroti pentingnya ikatan persaudaraan dan kepemimpinan dalam membangun solidaritas, serta menganalisis siklus peradaban dan perubahan sosial.