Menarik garis lurus ke belakang, bagaimana sejarah membentuk istilah komitmen dan mengapa hal itu dibutuhkan dalam pelaksanaan kerja untuk mempengaruhi nilai kepuasan kerja.
Kita tanpa sadar mengetahui dan memahami pada jam berapa kita harus bekerja dan jam berapa kita memiliki waktu untuk beristirahat, hal itu semua ada bukan tanpa sebab, melainkan sejarah eropa membentuk itu semua. Pertama kali ketika seorang dari Inggris, James Watt, menemukan mesin uap sebagai bahan dan alat untuk dimanfaatkan dalam pekerjaan yang kemudian hal itu juga diimplementasikan pada kegiatan transportasi untuk menjalankan kereta api uap pertam di Inggris, sehingga dari sanalah awal mulanya bagaimana sistem kerja dibentuk.
Sistem kerja melahirkan kebisaan, kebiasaan yang hingga saat ini kita rasakan, berangkat pagi pukul 7, mendapatkan jam istirahat di siang hari dan pulang di sore hari adalah sebuah sistem yang dibentuk oleh negara eropa kemudian diimplementasikan oleh negara-negara di Asia melalui penjajahan-penjajahan yang dilakukan oleh negara eropa atau pun dari negara Asia itu sendiri.
Sistem kerja itu tidak hanya membentuk bagaimana kita harus bekerja, namun juga membentuk sistem pendidikan yang melahirkan kebutuhan budaya industri yang dibutuhkan.
Namun, berkembangnya jaman, pasar industri saat ini tidak hanya membutuhkan seseorang yang patuh dan mendengar perintah, melainkan perusahaan membutuhkan seseorang yang bisa bekerja lebih atau berkomitmen dengan tekad yang kuat untuk mempengaruhi nilai kepuasan kerja. Banyak perusahaan-perusahaan modern mulai menciptakan sistem win-win solution bagi pekerjanya dalam membentuk sistem kinerja nya sendiri.
Hal itu yang dilakukan oleh Dima Djani, CEO dari perusahaan startup Alami, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang finansial syariah, dalam liputannya di channel youtube Agusleo Halim, dia mengutarakan bagimana peranan perusahaan dalam membentuk sistem kerja untuk meningkatan komitmen dalam bekerja, Dima mengatakan bahwa dirinya mencoba membentuk ekosistem SDM yang baik dengan membuat hari kerja menjadi hanya 4 hari, dari senin hingga hari kamis, yang normalnya sering kita temukan perusahaan menggunakan 5 hari kerjanya secara penuh. Sistem ini tentunya didasari dari keinginannya untuk membentuk komitmen kerja yang lebih baik dari sebelumnya. Hal itu terbukti dari peningkatan kinerja dari ragam indikator perusahaan. Selain itu juga karyawan merasa lebih tertantang dan merasa puas atas pekerjaannya.
Pada era modern ini, banyak pendiri perusahaan terutama stratup berusaha memutar otak dalam memberikan peranan perubahan bagi perusahaannya, salah satu hal yang dilakukan adalah membentuk organisasi belajar atau juga disebut Learning Organization. Pada sistem ini, perusahaan membentuk budaya belajar yang membuat karyawannya secara terus menerus mencapai hasil yang maksimal, sehingga tentunya ini dapat melampui dari sekedar indikator komitmen menjadi sebuah rasa loyalitas demi mendapatkan hasil atau nilai kepuasan kerja yang lebih baik.
Budaya organisasi yang belajar akan menciptakan standar baru yang lebih baik dalam proses kerja, karyawan akan berkomitmen lebih dan berloyalitas tinggi atas kepentingan-kepentingan perusahaan.Â
Budaya organisasi yang belajar artinya membentuk mindset bahwa segala hal yang dikerjakan saat ini adalah proses untuk menjadi lebih baik di masa mendatang, prinsip-prinsip dan pandangan mengenai bagaimana sistem kerja itu dibentuk juga memakan waktu yang tidak sebentar.
Kembali kepada perilaku individu karyawan yang berkomitmen dalam mempengaruhi nilai kepuasan kerja. Kepuasan kerja seorang karyawan seharusnya diciptakan sebaik-baiknya agar moral kerja, dedikasi, kecintaan dan kedisiplinan pada proses kerja karyawan dalam perusahaan meningkat. Indikator kepuasan kerja dapat diukur dari absensi, turn over dan moral kerja. Menurut Hasibuan, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan antara lain:
- Balas jasa yang adil dan layak.
- Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.
- Berat ringannya pekerjaan.
- Suasana dan lingkungan pekerjaan.
- Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.
- Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.
- Sikap kebosanan kerja.
- (Hasibuan, 2001)
Menurut Hasibuan, indikator pada kepuasan kerja sebenarnya dapat diukur dari absensi, turn over, dan moral kerja. Memiliki catatan kehadiran yang baik, memiliki komitmen dalam bekerja pada karyawan yang memiliki kepuasaan kerja lebih baik daripada karyawan yang tidak mendapatkan kepuasaan kepuasan kerja. Semua hal itu berdampak satu sama lain, jika semakin puas karyawan terhadap pekerjaannya, maka komitmen yang ditunjukkan karyawan tesebut akan meningkat, begitu pula prestasi kerja karyawan di perusahaan. Prestasi kerja karyawan yang dapat dilihat salah satunya adalah absensi karyawan. Prestasi kerja karyawan baik jika catatan kehadiran karyawan pun baik. (Hasibuan, 2001).