“Jadi nikah?”
“Saya tanya, kamu ini janda, sebenarnya janda apa, cerai hidup atau cerai mati? Kata dia, ya ditinggal begitu saja. Dua tahun lebih. Saya gak mau nikah di bawah tangan. Ibarat motor, BPKB dan STNK-nya harus jelas. Saya minta nama dan alamat mantan suaminya. Saya cari. Dua hari baru ketemu, di kampung sana lewat rel kereta. Di teras rumah ada empat orang laki berkumpul. Saya tanya, mohon maaf siapa di antara bapak-bapak yang bernama Rastam? Satu orang ngaku. Saya bilang, bisa kita bicara empat mata, ayo cari tempat yang enak. Dia mau. Saya ajak naik di motor saya. Pas di tempat sepi berhenti. Betul yah saudara bernama Rastam? Ya. Saudara pernah punya istri bernama Widia? Betul, tapi sudah lama cerai. Sekarang silakan tandatangani surat pernyataan ini, bahwa saudara menceraikan dia. Saya sudah mempersiapkan suratnya. Saya minta bantuuan Haji Mugeni, pegawai KUA. Dia yang membuatkan. Saya sempat tanya juga kepada Haji Mugeni soal cara supaya si Widia mendapat surat cerai dari pengadilan. Wah, kata Haji Mugeni, sulit, terlalu berliku-liku. Biayanya bisa habis sampai lima juta. Saya cuma minta dibuatkan belangko surat itu saja. Nah, si Rastam ragu-ragu. Saya bentak, mau gak saudara tanda tangan?! Keluarlah mental jawara saya, saya takut-takuti dengan golok. Gemetar dia, ketakutan. Tanda tanganlah dia. Sekarang begini, kata saya, itu istri sah saudara tidak dinafkahi selama dua tahun lebih. Sekarang saudara saya minta ganti rugi lima juta. Waduh Pak! katanya, saya tidak punya duit segitu. Terserah, mau dibayar atau mau saya laporkan ke polisi, atau saya bereskan dengan golok ini. Ketakutan dia. Pura-pura galak saya. Akhirnya saya diajak ke rumahnya. Dia minta bantuan orang tuanya. Dia minta tempo dua hari. Besoknya saya balik lagi. Dibayar lima juta.”
“Terus...”
“Saya gak ke Haji Mugeni, tapi ke Amil Marjuki, kenalan saya di Kampung Jatake. Saya kasih berkasnya, mau saya kasih uang jalan dia menolak. Seminggu saya balik lagi, jadilah akta cerai. Saya kasih saja seratus ribu. Sisa duitnya saya kasih ke si Widia. Punya cukup duitlah dia buat persalinan. Beberapa hari kemudian, melahirkan dia di klinik. Anaknya laki-laki. Sehat.”
Perbincangan kami sesaat terjeda oleh kedatangan dan kepulangan tamu. Bang Kamin pun tidak sepenuhnya menyimak cerita Bang Darino.
“Mirip siapa tu anak?”
“Gak jelas mirip siapa, bapaknya tiga. Entahlah siapa bapak aslinya.”
“Abang gak ikutan menanam sahamnya yah.” Berani sekali si Jodi bercanda.
“Tidaklah. Lagi pula saya nih walau orang bilang playboy cap kadal, gak pernah melakukan gituan di luar nikah, demi Allah. Alhamdulillah masih bisa jaga diri. Tapi keinginan ganti istri mungkin karena keadaan, termasuk keinginan mengawini si Widia. Saya tanya mau atau gak nikah dengan saya? Mau dia. Setelah selesai masa persalinan, saya nikahi dia. Nikah KUA, resmi. Yang mengurus pernikahannya juga Amil Marjuki. “
“Terus, sekarang dia tahu gak bahwa abang bukan bapak kandungnya?”
“Gak tahu dia, dia kira saya bapaknya saja. Saya juga sudah seperti anak sendiri. Sekarang anaknya sudah nikah. Begini ceritanya, dia kan sudah bekerja, sudah punya penghasilanlah. Dia punya pacar, dia bilang ke saya pengen nikah. Saya tanya, memangnya sudah punya tabungan berapa? Tiga puluh juta. Sama siapa Den? Anak bapak Marjuki orang Kampung Jatake. Siapa nama anaknya? Herlina. Saya mulai curiga, jangan-jangan amil Marjuki yang saya kenal. Begitu saya melamar, ternyata betul. Dia juga kaget. Duit tiga puluh juta yang pegang saya serahkan ke Amil Marjuki sepuluh juta. Pertimbangan saya, berapa pun duit yang diserahkan pasti habis.Pantasan saat acara resepsi mukanya kelihat cemberut. Hajatannya juga sederhana saja. Seminggu kemudian duit yang dua puluh juta saja kembalikan ke anak saya, buat biaya hidup. Jadi buat dia-dia juga. Sekarang sudah punya anak satu. Saya jadi kakek.”