“Sampai sesukses itu, itu sekolahnya sampai tingkat apa Bang?” tanya Jodi lulusan SMP.
“Saya, SD saja gak lulus, cuma sampai kelas dua. Berhenti. Tanya tuh Kamin. Saya belajar otodidak. Semua alat berat yang dipunyai bos, saya coba pegang. Belajar, lalu bisa.
Ekskavator, buldozer, beko, silinder, forklift saya bisa. Saya selalu ingin tahu. Setelah itu dipercaya bos. Dari gaji yang terkumpul saya membeli sebuah eskavator. Alhamdulillah,”
“Terus, itu cerita istri bagaimana?” tanyaku.
“Wah saya sih, jangan dicontohlah. Tidak baik. Kawin kontrak. Proyek selesai, cerai. Semuanya enam. Istri yang sekarang, keenam. Saya gak pernah nyandung, poligami. Panjang ceritanyalah.”
“Cerita istri yang sekarang deh!”
“Nah, itu ceritanya begini. Saya kerja di proyek galian pasir. Selesai kerja ada yang datang, perempuan, namanya Widia. Dia bekerja di warung nasi. Pelayanlah. Roman mukanya sih lumayan manis. Hamil. Dia minta tolong. Tolong apa? Saya hamil. Lah, lu yang hamil minta tolong ke gua. Emang laki lu siapa? Dia bilang, itulah masalahnya. Apa masalahnya? Saya janda. Saya tanya, yang bikin lu hamil siapa? Diam dia. Siapa? Suara saya meninggi. Barulah dia jawab, tiga orang. Kaget saya, kok bisa. Coba sebutin siapa saja. Lu takut nyebutinnya, gak usah takut, ada gua. Ternyata pelakunya orang proyek juga. Sugali dan Marjaman kuli proyek, dan Darmadi kepala proyek. Kata saya, aduh, apa yang lu cari neng sampai tiga laki begitu? Dia diam saja, menunduk.”
“Terus...” cetusku.
“Gampang. Orang satu proyek jumlahnya gak lebiih dari lima puluh. Saya cari, ketemulah Sugali. Tegas saya bicara, seperti polisi mau menangkap penjahat. Betul kamu yang bernama Sugali? Betul. Kamu kenal dengan Widia, pelayan warung Pak Jajang. Gak Pak. Tidak mengaku dia. Kalau gak ngaku gua kepret lu. Widia hamil, kamu yang berbuat? Ketakutan dia, ngaku juga akhirnya. Iya Pak. Kamu harus bertanggung jawab, kawini dia! Ampun Pak, saya tidak sanggup. Saya punya anak dan istri. Saya laporin polisi kamu! Ampun Pak. Dia mau cium kaki saya. Gak usah begitu, saya bilang. Kamu gak kasihan, dia hamil tanpa suami? Iya Pak maafkan saya. Sekarang begini, saya bayar kamu dua juta untuk mengawini si Widia. Sanggup? Malah terampun-ampun dia. Kalau tidak sanggup bagaimana kalau saya yang mengawini, kamu bayar kepada saya dua juta? Senang dia, katanya, begitu lebih baik pak, akan saya usahakan. Saya tegaskan, duitnya bukan buat gua, buat biaya persalinan.
“Langsung dikasih duitnya?”
“Minta waktu dia. Besoknya dibayar. Saya serahkan ke si Widia. Nah, hal serupa juga saya lakukan terhadap Marjaman. Ternyata dia juga tidak sanggup mengawini. Keluarlah dua juta. Saya serahkan ke si Widia. Selanjutnya giliran kepala proyek, Pak Darmadi. Saya sudah kenal dia. Pengecut juga dia. Mulanya gak ngaku. Saya desak-desak, akhirnya ngaku juga. Takut dia lihat golok saya. Saya bilang, saya bayar empat juta, tapi bapak kawini dia. Minta damai dia. Kalau begitu, sini empat juta. Mau dia. Besoknya dia serahkan empat juta. Dapatlah semuanya delapan juta. Saya kasih semuanya ke si Widia. Nih delapan juta, buat biaya persalinan. Senang dia. Terima kasih Pak. Saya pantau terus kondisinya, kasihan. Kata saya, itu kandungan makin besar, berhentilah kerja. Saya ajak tinggal di kontrakan saya.Nurut dia. Tinggallah satu kontrakan dengan saya, tapi gak saya apa-apain. Beda kamar juga kok. Gak ada hasrat saya buat macam-macam. Yang saya pikirkan, saya ingin persalinannya selamat, sehat ibu dan bayinya. Alhamdulillah, pada waktunya selamat dan sehat. Selanjutnya, tiga bulan setelah bayi lahir, saya tanya, mau gak kalau saya nikahi? Dia bilang, mau Pak, alhamdulillah.”