Mantan ketua RT tujuh periode, Bang Kamin, menelepon aku untuk datang ke acara hajatannya pada malam rasul, yakni malam persiapan. Khawatir pada hari H-nya aku tak dapat hadir bergegaslah aku berangkat. Kurang dari sepuluh menit tibalah. Acara hajatan resepsi pernikahan anak kelimanya sembilan puluh persen telah siap. Tenda telah terpasang, meja dan kursi juga telah tertata. Pelaminan telah selesai dikerjakan, seorang pekerjanya tengah menyempurnakan posisi lampu taman. Sejumlah pemuda berkaraoke menyanyikan lagu dangdut menjadikan suasana bertambah meriah.
Setelah bersalaman dengan Bang Kamin aku duduk di kursi yang disediakannya. “He, kenal dengan orang ini?” tanya Bang Kamin pelan. Jarinya menunjuk kepada seseorang di seberang meja.
Seketika itu pula mataku memokus. Aku langsung mengenalinya. “Wah, tamu dari jauh rupanya. Bang Darino, alias Sylvester Stallone, bintang film Amerika!” Aku menyalaminya lalu duduk.
“Ah, bisa aja ente. Kenal dengan saya?”
“Pasti kenallah, siapa yang gak kenal dengan orang terkenal.”
Di masa lalu, menurutku, tampangnya mirip Sylvester Stallone, terutama ketika mengenakan kacamata hitam.
“Siapa?” Dia bertanya kepada Bang Kamin.
Bang Kamin mencoba menjelaskan identitasku dengan menyebut nama almarhum ayahku, tapi gagal. Ternyata dia tidak hafal.
Ini kali pertama aku beraudensi dengan Bang Darino. Dia tidak mengenal aku. Pastilah. Usianya terpaut jauh, mungkin sekira lima sampai tujuh tahun. Dia seangkatan Bang Kamin dan masih keterkaitan saudara. Ini kesempatan pertama aku bisa bercakap-cakap dengan Bang Darino.
Ingatanku melesat ke masa tiga puluhan tahun lalu. Dia pemakai sepeda motor Kawasaki Merzy yang tidak banyak orang punya. Di mata kami anak-anak angon kerbau, dialah pemuda sukses yang paling keren sekelurahan, mungkin juga sekecamatan. Sekali waktu aku juga mendapati dia mengendarai mobil Jip Willis yang konon milik bosnya.