Pak Darmin heran, tak menyangka akan mendapati reaksi seperti itu. Ingin rasanya dia menampar muka Abdul Majid dan bibirnya yang serupa knalpot akibat merokok.
"Biasa ajah kali Pak. Yang lain juga pasti belum baca." Nada bicara Abdul Majid datar namun terkesan kurang ajar.
Pak Darmin menghela napas, menahan emosi. Disuruhnya Abdul Majid kembali ke tempat duduknya.
"Saya pintar kan Pak? Jujur saja Pak."
"Ya, kamu kelewat pintar."
 Pak Darmin menunjuk seorang siswi yang terbilang pintar dengan perintah yang sama. Tak ada penolakan. Penceritaan ulang berlangsung lancar meskipun masih kurang rinci. Beberapa siswa berikutnya ditunjuk secara acak berdasarkan nomor absensi.
"Selanjutnya, bergabung dengan kelompok masing-masing, silakan diskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsiknya!" Pak Darmin menghampiri tiap kelompok. Sementara itu, Abdul Majid tampak belum paham maksud Pak Darmin. Â Â
***
Hari berganti, ternyata Pak Darmin tidak sendiri, rekan-rekannya pun mengeluhkan keberadaan Abdul Majid di kelas. Abdul Majid tidak sambung dan kerap tertidur saat kegiatan belajar berlangsung. Dia juga mudah tersinggung dan arogan. Pak Darmin mendapat beberapa pengaduan dari siswanya. Abdul Majid dipanggilnya dan dinasihati. Namun sikapnya tidak membaik. Pengaduan demi pengaduan diterima Pak Darmin. Ketika Pak Darming ingin mengundang orang tua Abdil Majid, kepala sekolah melarangnya. Â
"Ini tanggung jawab saya, nanti saya yang mengundangnya untuk menghadap saya. Tugas Pak Darmin mengawasi anaknya saja. Anak itu masih dalam pemulihan, harap Bapak maklum."
"Baik, Pak." Pak Darmin enggan membantah meskipun dia tahu bahwa masalah Abdul Majid dapatdiatasi leh wali kelas dan guru BK.