"Juga ada yang ingin aku jelaskan kepadamu, tapi tidak di sini. Sudahlah, sampai nanti yah, aku harus segera membeli sesuatu pesanan bapakku. Dia bisa marah jika pesanannya tak segera aku belikan."
"Apa itu?"
"Pupuk urea."
Pertemuan tak terduga itu menyisakan berbagai perasaan pada diri Salma. Ketertarikannya terhadap Suradin kembali menguat, tapi bayang-bayang kegagalan juga membuatnya merasa was-was. Andai Suradin menyatakan kesunguhannya, dia tidak sanggup menolaknya. Memang, pada kepolosan Suradin tak tampak sifat pengkhianat, tapi bukankah pada diri Hamid pun dulu begitu? Â Menyadari bahwa Suradin belakangan lebih dari setahun berada di Jakarta Salma merasa minder. Pikirnya, banyak perempuan lain yang lebih menarik karena penampilan dan pendidikan yang memadai. "Apalah artinya aku bagi Suradin. Aku hanya gadis penenun, sedangkan menenun adalah pekerjaan yang telah ditingalkan banyak orang, terlebih para perempuan muda zaman kini." Salma juga berusaha meneguhkan keyakinannya bahwa apa pun yang akan terjadi adalah atas kuasa-Nya. Dia berharap Suradin menjadi jodoh terbaiknya.
Meskipun pada mulanyanya sebagai keisengan tapi lama-lama kesukaannya menenun menjadi kian tak tergantikan. Dia mendapat kepuasan dan tentu saja penghasilan. Tabungannya bertambah sedikit-sedikit. Dia ingin menekuni tenun sampai nanti, kecuali jika kelak suaminya melarangnya.
Tak tak tak! bunyi kayu beradu saat Salma menenun di beranda rumah panggung seolah berpacu bersama denyut nadi dan debaran jantungnya yang teraliri kimia cinta. Suradin menjadi pemantik semangat hidupnya untuk terus bersemangat bekerja. Seorang perempuan penjual minasarua menawarkan dagangannya. Salma menyambutnya antusias. Serasa sudah lama dia tidak menyeruput minuman yang menghangatkan badan itu, juga kadodo yang legit. Karena menikmatinya jarang-jarang, tidak setiap hari dan tidak tentu, sehingga sensasinya lebih terasa. Hangatnya bersinergi dengan rasa kangen. Â Ayahnya biasa memanfaatkan minasarua unuk mengusir batuk akibat hawa dingin.
***
Kahadiran Suradin dibahasakan dengan baik oleh kedua orang tua Salma. Suradin menyampaikan niatnya untuk tidak kembali ke Jakarta. Dia ingin mencari nafkah di daerah sendiri, sesuai saran ibunya. Diyakininya hal itu akan berdampak pada hubungannya dengan Salma. Salma senang. Hatinya berdentang-dentang menerima kehadiran Suradin, pemuda yang disukainya sejak lama. Malam itu menjadi malam yang amat berarti baginya.
Ayah Salma menghargai niat baik Suradin untuk menjadi bagian dari keluarga mereka. "Sampaikanlah juga niat baikmu kepada kedua orang tuamu. Mohonlah restu mereka," imbuhnya.
Sesunguhnya ayah Salma mengenal ayah Suradin, tapi dia tidak mengatakannya. Di masa lalu, ketika sama-sama sedesa, keduanya bisa disebut sebagai lawan politik. Mereka pernah saling berselisih dan bersitegang gara-gara perbedaan pilihan calon kepala desa. Ayah Salma tidak tahu, apakah ayah Suradin masih menyimpan dendam atau tidak.
"Baiklah, Pak. Saya akan segera menyampaikannya. Semoga mereka setuju."