Jiwanya terguncang. Keluarganya goncang. Istrinya menuntut cerai sampai ke pengadilan. Ketukan palu hakim membuatnya tak berdaya. Genaplah penderitaannya. Dia nyaris bunuh diri. Istrinya membawa serta kedua anaknya pulang ke rumah orang tuanya. Selanjutnya, Jumarin pun meninggalkan rumah guna mengobati luka batinnya.
Saudara dan para tetangganya tak ada yang tahu kemana Jumarin pergi. Rumahnya dibiarkan kosong. Selang beberapa bulan tersiar kabar bahwa Jumarin diurus oleh guru spiritualnya. Jumarin menjalani tirakat. Ketika rasa rindu ingin pulang tak dapat dibendungnya, maka pulanglah dia. Kepulangannya mengejutkan orang-orang di sekitar rumahnya. Mereka mengira Jumarin gagu. Sebenarnya tidak, Jumarin menjalani puasa tanpa bicara. Itu sebabnya dia cenderung menyendiri dan pantang bicara sepatah kata pun.
Jika amat terpaksa, dia berkomunikasi dengan isyarat. Jika isyarat yang dimaksudkannya tidak terpahami, terpaksa dia menulisnya pada secarik kertas. Hanya sepekan dia berada di rumahnya, selanjutnya dia pergi lagi. Dia berpesan agar kepergiannya jangan ada yang mencari. Katanya, kelak dia pasti kembali. Namun tak jelas entah kapan. Saudara-saudaranya berharap Jumarin dapat kembali menjalani hidup normal. Mereka memahami betapa berat beban derita Jumarin akibat kebangkrutan usaha dan rumah tangganya. Tak ada yang mereka bisa bantu kecuali sumbang saran dan doa.
Sementara itu kabar bahwa mantan istrinya telah menikah lagi dengan lelaki beristri tidak disampaikan kepada Jumarin. Mereka khawatir Jumarin bertambah terpuruk. Mereka hanya menyampaikan bahwa kedua anaknya dalam keadaan baik dan Jumarin tidak perlu bertemu. Mereka khawatir pertemuan dengan kedua anaknya membuat luka batinnya bertambah nyeri.
Ketika Jumarin berpamitan adik perempuannya membahasakannya dengan nada pilu. "Pergilah Kak kemana kau suka. Carilah orang yang kau yakin bisa menjadi perantara bagi kebaikan hidup lahir-batinmu. Kami orang bodoh, mengobati nyeri hati sendiri karena melihat penderitaanmu saja belumlah purna. Sepanjang waktu doa kami untukmu Kakak."
Jumarin pergi tanpa sepatah kata pun. Wajahnya yang tirus mengisyaratkan harapan akan adanya kebahagiaan di hari kelak. Namun adik perempuannya itu tak kuasa menahan lelehan air mata. Mendung jelang magrib seperti pertanda babak akhir episode sebuah cerita seiring raibnya deru sepeda motor yang membawa Jumarin pergi.
Sepeninggalan Jumarin rumah itu kembali kosong. Karena tak ada yang membayar, aliran listriknya pun kemudian dicopot petugas. Tahun berganti, sedikit demi sedikit bagiannya mengalami keruntuhan. Hingga pada suatu malam terdengar bunyi berdebum yang mengejutkan. Genting bersama semua penyangganya ambruk. Beberapa ekor ayam yang bernaung mendadak berhamburan. Tak ada yang menyampaikan kabar itu kepada Jumarin karena tak ada yang tahu persis tempatnya berada. Tak penting juga menyampaikan kabar buruk itu kepada Jumarin.
Setelah sembilan tahun tujuh bulan, Jumarin pulang. Wajahnya pias dan kumuh. Kumis, brewok dan janggutnya panjang, beberapa ada yang memutih. Dia kikuk dan merasa asing. Terlebih saat mendapati rumahnya ambruk, napasnya sesak. Dia tak punya cukup biaya untuk memperbaikinya. Yang bisa dilakukannya kemudian adalah membangun gubuk di belakang rumah itu dengan bahan seadanya, tanpa meminta bantuan siapa pun. Berumahlah dia di situ. Masak sendiri, tidur pun sendiri. Dia juga tak suka menerima bantuan dari siapa pun. Ketika adik perempuannya membawakan makanan dia menolak.
Kesehatannya memburuk. Dia menolak ketika ditawari hendak diantar berobat ke puskesmas. Dia hanya berharap penyakitnya sembuh dengan sendirinya. Sejak penolakan itu tak ada yang menengoknya tiga hari. Pintu gubuknya terkunci. Karena punya sayur ayam masak kunyit adiknya mencoba mengantarnya.
Dipanggil-panggil, Jumarin tak menyahut. Dikiranya Jumarin sedang tidur. Lama-lama dia curiga, jangan-jangan terjadi sesuatu dengan sang kakak. Baeitu diintip, Jumarin tampak kaku dengan posisi miring dan kedua tangan memagut lutut. Pintunya didobrak. Jumarin didapati tak bernyawa. Adiknya menjerit histeris. Para tetangga berdatangan. Sungguh kematian yang mengenaskan.
Kabar kematian Jumarin segera tersiar melalui pengeras suara di puncak masjid, sore itu. Mendung menggelayut di atas kampung yang masih dilingkupi kebun bambu itu seakan turut menyampaikan bela sungkawa. Menyusul gerimis disambung dengan hujan deras malam harinya. Pemakaman Jumarin dilakukan pagi hari di tanah wakaf ujung kampung. Kedua anaknya yang beranjak dewasa dan mantan istrinya hadir. Mereka tak kuasa menahan pilu.