(Bersama Si Manis Rosdiana Tohira dari Jembatan PenanaE-Kota Bima)
Teks sastra adalah teks yang senantiasa membawa konteks bagi dirinya sendiri. Sebuah puisi misalnya, tak dapat dipahami jika pembaca tidak memahami konteks dari teks secara menyeluruh.Oleh karena itu, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam memasuki dunia sastra. Gampangnya, teks asstra seperti puisi dari saudara kita Rosdiana Tohira berikut, mengajak kita untuk menyelaminya dan pada gilirannya setelah menemui nilainya, kita jadikan sebagai salah satu konsumsi dalam keseharian. Mengapa tidak? Mari kita bersama mencari, menemukan makna yang tersirat dari yang tersurat, hingga kita terseret ke dalamnya. OK!
Ramadhan ini, semua umat berusaha menemukan dirinya melalui kegiatan introspeksi. Maka hadirlah sejumlah ide cemerlang. Ide-ide tersebut terkadang lewat begitu saja tanpa bekas. Seperti ide terkait jati diri, terutama untuk meminta ketetapan hati kepada Allah. Terkadang ide cemerlang itu hilang saja tanpa didokumentasikan oleh mereka yang hadirkan ide tersebut.
Bersyukurlah Saudara kita Si Manis Rosdiana Tohira. Pasalnya, dia senantiasa mendokumentasikan ide cemerlang dalam catatan hariannya usai shalat. Rosdiana paham, setiap kita tidak ada yang mampu menjamin apakah di kemudian hari akan sama keadaannya seperti sekarang ini (baca Bulan Suci Ramadhan), tidak berubah. Tentu saja tidak ada yang menjamin. Mengapa? Karena hati manusia berada di jari-jemari Allah subhanahu wa ta’ala.
Itulah sebabnya, si Manis Rosdiana Tohira menghadirkan tanya,”Saya?” Pertanyaan mengganjal,”Mengapa ‘saya’ dalam “aku-lirik” (aku yang diceritakan) itu?”Jika dicermati secara njelimet, simpulan kita adalah, si “saya”, sedang mencari makna terindah dari Ramadhan yang dikenal tersuci itu. Karena itu, ketika dia membidik makna tersirat dari yang tersurat Ramadhan itu. Itulah sebabnya, dia berpesan agar jangan diganggu./ Ramadhan satu momen terbaik / kita adalah pemburu hidayah Nya /Saya sedang membidik//. Jadi , pesan penyairnya seperti terungkap di atas.
Kepada penikmat juga Si Manis Rosdiana Tohira menyaksikan hujan datang. “Hujan itu romantis”. Tapi dia yakin, seyakin-yakinnya,/Allah lebih lagi Maha Romantis /. Untuk memahami keromantisan Allah, penyair yang sring berusaha menutupi wajahnya ini, memberi simpulan, /Hujan yang selalu membiarkan dirinya terus jatuh demi bumi//.Karena itu, dengan menikmati ,/ Kembali jatuh seperti sebelumnya//. Mari kita senantiasa berusaha dengan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas demi memahami hujan,yang / Jatuh, terus jatuh lagi hingga subukan alam semesta// Untuk apa? Inilah simpulannya: /moga kita (aku) belajar makna pengorbanan dan ketulusan//.
Di Subuh ini, meski sebelumnya, boleh jadi kita banyak melalkukan hal yang sesat, tokh kita harus kiblat kita , harus mencermati semua akibat dari kesesatan yang melilit kita. Kemudian, setelah semuanya ditemui, marilah kita /kembali pada Nya, sekarang/dan waktunya, adalah / Waktunya bersyukur usai Subuh//.
Kita sebagai penikmat, diberitahu oleh penyairnya untuk memperhatikan nyali. Perhatikan puisi yang berjudul “Nyali?”. Sengaja penyairnya menghadirkan pertanyaan dengan kata “Nyali?” Untuk apa?”tanya kita sekenanya ketika berhadapan dengan puisi tersebut. Menurut KUBI, nyali adalah : Nomina (kata benda) bermakna , (1) empedu; (2) Kiasan perasaan: tidak punya nyali orang yang memukuli anak kecil itu; (3) Kiasan keberanian: pecah nyali nya, hilang keberaniannya; (4) Istilah biologi proliferasi lokal jaringan tumbuhan yang menghasilkan pembengkakan dengan bentuk khas dan amat berbeda dengan organ normal lain, biasa terbentuk sebagai responsi terhadap serangan patogen.
Denagan memahami makna seperti yang dideskripsikan KUBI di atas, jadi, jelas bagi kita bahwa perlu ada keberanian untuk menemui makna di balik bulan suci Ramadhan itu. Tentu berawal dari sebuah pertanyaan,/ sanggupkah aku terus melangkah untuk melewatinya//. Tentu perlu dijawab melalui pencarian kita . dan sebelum shalat diharapkan sudah ditemui semuanya. /Kini, aku mencari makna katamu//.
Dan, ujung dari semuanya ini, kita tokh berusaha menjadi manusia impersonal (terasing tapi mau mencari makna dari kata yang hadir), kita masih bisa menemukan penyair (Si Manis Rosdiana Tohira) yang menciptakan puisi yang mengembalikan diri kita kepada sisi terdalam dari kemanusiaan personal kita. Maka kita berterimaksih sekaligus bersyukur, kita menemukan satu penyair di tengah hiruk pikuk serbuan berbagai kekuatan impersonal dan banjir teks artifisial yang menggila itu. Selamat menlis lagi Non Rosdiana, aku selalu menunggu karya-karyamu!
OK! Inilah selengkapnya larik-larik yang terdapat dalam puisi berjudul “Saya?” ; Nyali? “Waktunya bersyukur usai Subuh”; dan “Hujan itu romantis”
Saya?
Tolong jangan dibayangkan
Saya merasa konyol membayanginya
Bantu doanya.
Ramadhan satu momen terbaik
kita menjadi pemburu hidayah Nya
akuhina dan jauh dari sempurna
untuk membidik
Nyali?
Satu kata sekejap luruh dari otak
Satu kata pernah disematkan dengan bangga oleh mereka
Tapi aneh bagi ibuku untuk berutak-atik
Kini, aku mencari makna katamu
sanggupkah aku terus melangkah untuk melewatinya
Bila di depan mataku dia lewat
dengan angkuhnya gunung itu berdiri kokoh
Bila sebelum gunung
Pohon menjulang tinggi menghalangi langkah kakiku nan lemah
Tempat pijakku seperti berguncang
Gempa mematikan seluruh mimpi-mimpiku
Tak hanya impian, tapi jiwaku
Akhirnya, kalian mengenangku bersama batu nisan
Dari jauh, batu nisan itiu terlihat basah
Cukup mengenang semuanya dalam kesendirian
Waktunya bersyukur usai Subuh
Tersesat sendiri di antara kabut
Belum nampak arah ke jalan berkiblat
hanya terlihat arah pulang
kembali pada Nya, sekarang
mungkin itu jalan hidayah
Waktunya bersyukur usai Subuh
Hujan itu romantis
Allah lebih lagi Maha Romantis
Hujan seperti mengajarkan kita tentang pemahaman hidup
Meski jatuh berkali-kali d ibumi
Ia selalu datang kembali, kembali, terus kembali
Jatuh, terus jatuh lagi hingga subukan alam semesta
Setiap orang mungkin pernah berada di posisi jatuh dan kembali.
Setelah jatuh dan jatuh lagi
Namun tetap kembali lagi
Kembali jatuh seperti sebelumnya
Hujan yang selalu membiarkan dirinya terus jatuh demi bumi.
Subhanallah semesta selalu beri pelajaran
Pada hujan, moga kita (aku) belajar makna pengorbanan dan ketulusan
Itulah inspirasiku tentang hujan di bulan juni
Kota Kesultanan Bima, 6/6/2016 (Usman D.Ganggang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H