Mohon tunggu...
Usman D. Ganggang
Usman D. Ganggang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan penulis

Berawal dari cerita, selanjutnya aku menulis tentang sesuatu, iya akhirnya tercipta sebuah simpulan, menulis adalah roh menuntaskan masalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertanya tentang Nyali, Usai Subuh dalam Bulan Suci Ramadhan

8 Juni 2016   03:14 Diperbarui: 8 Juni 2016   03:18 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Bersama Si Manis Rosdiana Tohira dari Jembatan PenanaE-Kota Bima)

Teks sastra adalah teks yang senantiasa membawa konteks bagi dirinya sendiri. Sebuah puisi misalnya, tak dapat dipahami jika pembaca tidak memahami konteks dari teks secara menyeluruh.Oleh karena itu, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam memasuki dunia sastra. Gampangnya, teks asstra seperti puisi dari saudara kita Rosdiana Tohira berikut, mengajak kita untuk menyelaminya  dan pada gilirannya setelah menemui nilainya, kita jadikan sebagai salah satu konsumsi dalam keseharian. Mengapa tidak? Mari kita bersama mencari, menemukan makna yang tersirat dari yang tersurat, hingga kita terseret ke dalamnya. OK!

Ramadhan ini, semua umat berusaha menemukan dirinya melalui kegiatan introspeksi. Maka hadirlah sejumlah ide cemerlang. Ide-ide tersebut terkadang lewat begitu saja tanpa bekas. Seperti ide terkait jati diri, terutama untuk meminta ketetapan hati kepada Allah. Terkadang ide cemerlang itu hilang saja tanpa didokumentasikan oleh mereka yang hadirkan ide tersebut.

Bersyukurlah Saudara kita Si Manis Rosdiana Tohira. Pasalnya, dia senantiasa mendokumentasikan ide cemerlang dalam catatan hariannya usai shalat. Rosdiana paham, setiap kita tidak ada yang mampu menjamin apakah di kemudian hari akan sama keadaannya seperti sekarang ini (baca Bulan Suci Ramadhan), tidak berubah. Tentu saja tidak ada yang menjamin. Mengapa? Karena hati manusia berada di jari-jemari Allah subhanahu wa ta’ala.

Itulah sebabnya, si Manis Rosdiana Tohira menghadirkan tanya,”Saya?” Pertanyaan mengganjal,”Mengapa ‘saya’ dalam “aku-lirik” (aku yang diceritakan)  itu?”Jika dicermati secara njelimet, simpulan kita adalah, si “saya”, sedang mencari makna terindah dari Ramadhan yang dikenal tersuci itu. Karena itu, ketika dia membidik makna tersirat dari yang tersurat Ramadhan itu. Itulah sebabnya, dia berpesan agar  jangan diganggu./ Ramadhan satu momen terbaik / kita adalah  pemburu hidayah Nya /Saya sedang membidik//. Jadi , pesan penyairnya seperti terungkap di atas.

Kepada penikmat juga Si Manis Rosdiana Tohira menyaksikan hujan datang. “Hujan itu romantis”. Tapi dia yakin, seyakin-yakinnya,/Allah lebih lagi Maha Romantis /. Untuk memahami keromantisan Allah, penyair yang sring berusaha menutupi wajahnya ini,  memberi simpulan, /Hujan yang selalu membiarkan dirinya terus jatuh demi bumi//.Karena itu, dengan menikmati ,/ Kembali jatuh seperti sebelumnya//. Mari kita senantiasa  berusaha dengan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas demi memahami hujan,yang / Jatuh, terus jatuh lagi hingga subukan alam semesta// Untuk apa? Inilah simpulannya: /moga kita (aku) belajar makna pengorbanan dan ketulusan//.

Di Subuh ini, meski sebelumnya, boleh jadi kita banyak melalkukan hal yang sesat, tokh kita harus kiblat kita , harus mencermati  semua akibat dari kesesatan yang melilit kita. Kemudian, setelah semuanya ditemui, marilah  kita /kembali pada Nya, sekarang/dan waktunya,  adalah / Waktunya bersyukur usai Subuh//.

Kita  sebagai penikmat, diberitahu oleh penyairnya untuk memperhatikan nyali. Perhatikan puisi yang berjudul “Nyali?”. Sengaja penyairnya menghadirkan pertanyaan  dengan kata “Nyali?” Untuk apa?”tanya kita sekenanya ketika berhadapan dengan puisi tersebut. Menurut KUBI, nyali adalah : Nomina (kata benda) bermakna  , (1) empedu; (2) Kiasan perasaan: tidak punya nyali orang yang memukuli anak kecil itu; (3) Kiasan keberanian: pecah nyali nya, hilang  keberaniannya; (4) Istilah biologi proliferasi lokal jaringan tumbuhan yang menghasilkan pembengkakan dengan bentuk khas dan amat berbeda dengan organ normal lain, biasa terbentuk sebagai responsi terhadap serangan patogen.

Denagan memahami makna seperti yang dideskripsikan KUBI di atas, jadi, jelas bagi kita bahwa  perlu ada keberanian untuk menemui makna  di balik bulan suci Ramadhan itu. Tentu berawal dari sebuah pertanyaan,/ sanggupkah aku terus melangkah untuk  melewatinya//. Tentu perlu dijawab melalui pencarian kita . dan  sebelum shalat diharapkan  sudah ditemui semuanya. /Kini, aku mencari makna katamu//.

Dan, ujung dari semuanya ini, kita tokh berusaha menjadi manusia impersonal (terasing tapi mau mencari makna dari kata yang hadir), kita masih bisa menemukan penyair (Si Manis Rosdiana Tohira) yang menciptakan puisi yang mengembalikan diri kita kepada sisi terdalam dari kemanusiaan personal kita. Maka kita berterimaksih sekaligus  bersyukur, kita menemukan satu penyair di tengah hiruk pikuk serbuan berbagai kekuatan impersonal dan banjir teks artifisial yang menggila itu. Selamat menlis lagi Non Rosdiana, aku selalu menunggu karya-karyamu!

OK! Inilah selengkapnya larik-larik yang terdapat dalam puisi berjudul  “Saya?” ; Nyali? “Waktunya bersyukur usai Subuh”; dan “Hujan itu romantis”

Saya?

Tolong jangan dibayangkan

 Saya merasa konyol membayanginya
 Bantu doanya.
 Ramadhan satu momen terbaik

 kita menjadi pemburu hidayah Nya

akuhina dan jauh dari sempurna

untuk membidik

Nyali?
Satu kata  sekejap luruh dari otak

 Satu kata pernah disematkan dengan bangga oleh mereka

Tapi aneh bagi ibuku untuk berutak-atik
 Kini, aku mencari makna katamu

sanggupkah aku terus melangkah untuk  melewatinya

 Bila di depan mataku dia lewat

dengan angkuhnya gunung itu berdiri kokoh

 Bila sebelum gunung

 Pohon menjulang tinggi menghalangi langkah kakiku nan lemah

Tempat  pijakku seperti berguncang

Gempa mematikan seluruh mimpi-mimpiku

 Tak hanya impian, tapi jiwaku
 Akhirnya, kalian mengenangku bersama batu nisan

Dari jauh, batu nisan itiu terlihat  basah

 Cukup mengenang semuanya dalam kesendirian

Waktunya bersyukur usai Subuh

Tersesat sendiri di antara kabut
 Belum nampak arah ke jalan berkiblat
 hanya terlihat arah pulang
 kembali pada Nya, sekarang
 mungkin itu jalan hidayah
 Waktunya bersyukur usai Subuh

Hujan itu romantis

Allah lebih lagi Maha Romantis
 Hujan seperti mengajarkan kita tentang pemahaman hidup
 Meski jatuh berkali-kali d ibumi
 Ia selalu datang kembali, kembali, terus kembali

 Jatuh, terus jatuh lagi hingga subukan alam semesta
 Setiap orang mungkin pernah berada di posisi jatuh dan kembali.

Setelah jatuh dan jatuh lagi

 Namun tetap kembali lagi

Kembali jatuh seperti sebelumnya

Hujan yang selalu membiarkan dirinya terus jatuh demi bumi.
 Subhanallah semesta selalu beri pelajaran

 Pada hujan, moga kita (aku) belajar makna pengorbanan dan ketulusan

Itulah inspirasiku  tentang hujan di bulan juni

Kota Kesultanan Bima, 6/6/2016 (Usman D.Ganggang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun