Karakteristik Pemilih
Partai politik dan kandidat sepertinya sadar betul bahwa kemenangan dalam kompetisi elektoral ditentukan oleh kemampuan dalam mengenali karakter pemilih. Absennya edukasi publik mengenai hak-hak politik warga negara membuat pemilih masih berkutat pada dua karakter utama, yakni pemilih emosional dan pemilih transaksional.
Pemilih emosional menentukan pilihannya berdasarkan kedekatan personal, kekerabatan, hingga kedekatan ideologis dan latar belakang: agama, budaya, kedaerahan. Inilah yang membuat politik identitas terus terpelihara dan diproduksi serta direproduksi tanpa henti. Pemilih transaksional lebih didasarkan pada kebutuhan pragmatis, kepentingan jangka pendek. Diktum wani piro seolah menjadi kesalahan yang dimaklumi. Maka, politik uang (money politics) menjadi tren abadi.
Tentu saja masih ada jenis pemilih rasional, pemilih berbasis gagasan dan bagaimana gagasan dikawal hingga implementasi. Namun, sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, partai-partai peserta pemilu serta para kandidat hampir tidak pernah memperhatikan pemilih rasional.
Jumlahnya yang sangat minim membuat mereka dianggap tidak ada sehingga agenda untuk menggaet pemilih rasional tidak pernah menjadi prioritas partai dan kandidat. Suara pemilih rasional cukup nyaring, tapi dianggap tidak memadai sebagai penentu kemenangan.
Partai-partai besar dan kandidat sepertinya sadar betul bahwa kemenangan dalam kompetisi elektoral ditentukan oleh kemampuan dalam mengenali karakter pemilih.
Kondisi inilah yang membuat partai politik (dan para kandidatnya) lebih fokus ke politik kekuasaan ketimbang politik gagasan. Politik kekuasaan lebih memberikan kepastian mengenai keuntungan yang akan didapat oleh kelompoknya. Politik gagasan justru sebaliknya, selalu berorientasi pada kemaslahatan publik, bukan kepentingan individu atau kelompok. Tidak aneh jika politik gagasan selalu terpinggirkan (atau sengaja dipinggirkan) dalam proses-proses kontestasi politik.
Pemilih Mileneal dan Generasi Z