Politik Gagasan Versus Politik Kekuasaan
Kehadiran generasi milenial dan Gen Z yang cenderung rasional sebagai pemilih terbesar merupakan tantangan bagi parpol. Parpol peserta pemilu harus beralih ke politik gagasaan ketimbang mempertahankan politik kekuasaan.
Hingga memasuki pemilu keenam pascareformasi, kontestasi elektoral belum beranjak dari politik kekuasaan dalam terminologi Machiavelli dan Thomas Hobbes.
Menurut Machiavelli, kekuasaan memiliki otonomi yang terpisah dari moral sehingga merebut dan mempertahankan kekuasaan bisa dilakukan dengan segala cara. Hobbes menganggap manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (hohmo-homoni lupus). Karena itu, negara harus menjadi Leviathan, makhluk pemangsa yang ditakuti agar manusia tidak saling memangsa satu sama lain.
Politik kekuasaan yang diperagakan partai-partai peserta pemilu mungkin tidak seganas yang digambarkan Machiavelli dan Hobbes. Namun, indikasinya cukup kuat untuk menegaskan bahwa orientasi politik kekuasaan jauh lebih dominan ketimbang politik gagasan.
Meminjam terminologi demokrasi, jika politik kekuasaan berbicara soal bagaimana kekuasaan direbut dan dikelola, politik gagasan berbicara soal bagaimana kekuasaan diawasi dan untuk kepentingan siapa kekuasaan dikelola.
Orientasi politik kekuasaan sudah sangat terasa mulai dari Pilkades, Pilkada, Pemilihan Legislatif, hingga pemilihan DPD dan Pilpres. Dalam rangka memenangkan agenda demokrasi tersebut para pelakunya berupaya semaksimal mungkin untuk mengumpulkan segenap kekuatan.
Partai-partai besar sibuk membangun koalisi untuk memenangi pertarungan. Lembaga-lembaga survei juga ikut berkontribusi dengan suguhan elektabilitas dari setiap kandidat, baik calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres).
Yang absen dari seluruh hiruk pikuk di atas adalah politik gagasan. Hingga sosok-sosok para calon makin jelas, kompetisi untuk menduduki jabatan tersebut masih berkutat di seputar "bagaimana memenangi pertarungan"; hampir tidak ada gagasan-gagasan besar mengenai kemajuan lima tahun ke depan, baik dari partai politik maupun dari para kandidat.
Yang ada adalah koalisi: Koalisi Perubahan, Koalisi Indonesia Bersatu, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya dan berpikir bagaimana memengkan kompetisi. Koalisi-koalisi ini diprediksi tak akan abadi, tergantung arah angin kepentingan.
Penyampaian gagasan mengenai "bagaimana kekuasaan dikelola dan untuk kepentingan siapa" biasanya hanya ada dalam debat kandidat dan sebatas visi dan misi belaka. Di luar debat kandidat, kampanye hampir tidak menyentuh gagasan. Materi kampanye lebih banyak pencitraan ketimbang gagasan.
Karakteristik Pemilih
Partai politik dan kandidat sepertinya sadar betul bahwa kemenangan dalam kompetisi elektoral ditentukan oleh kemampuan dalam mengenali karakter pemilih. Absennya edukasi publik mengenai hak-hak politik warga negara membuat pemilih masih berkutat pada dua karakter utama, yakni pemilih emosional dan pemilih transaksional.
Pemilih emosional menentukan pilihannya berdasarkan kedekatan personal, kekerabatan, hingga kedekatan ideologis dan latar belakang: agama, budaya, kedaerahan. Inilah yang membuat politik identitas terus terpelihara dan diproduksi serta direproduksi tanpa henti. Pemilih transaksional lebih didasarkan pada kebutuhan pragmatis, kepentingan jangka pendek. Diktum wani piro seolah menjadi kesalahan yang dimaklumi. Maka, politik uang (money politics) menjadi tren abadi.
Tentu saja masih ada jenis pemilih rasional, pemilih berbasis gagasan dan bagaimana gagasan dikawal hingga implementasi. Namun, sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, partai-partai peserta pemilu serta para kandidat hampir tidak pernah memperhatikan pemilih rasional.
Jumlahnya yang sangat minim membuat mereka dianggap tidak ada sehingga agenda untuk menggaet pemilih rasional tidak pernah menjadi prioritas partai dan kandidat. Suara pemilih rasional cukup nyaring, tapi dianggap tidak memadai sebagai penentu kemenangan.
Partai-partai besar dan kandidat sepertinya sadar betul bahwa kemenangan dalam kompetisi elektoral ditentukan oleh kemampuan dalam mengenali karakter pemilih.
Kondisi inilah yang membuat partai politik (dan para kandidatnya) lebih fokus ke politik kekuasaan ketimbang politik gagasan. Politik kekuasaan lebih memberikan kepastian mengenai keuntungan yang akan didapat oleh kelompoknya. Politik gagasan justru sebaliknya, selalu berorientasi pada kemaslahatan publik, bukan kepentingan individu atau kelompok. Tidak aneh jika politik gagasan selalu terpinggirkan (atau sengaja dipinggirkan) dalam proses-proses kontestasi politik.
Pemilih Mileneal dan Generasi Z
Menghadapi Pemilu kedepannya, partai-partai peserta pemilu beserta para kandidatnya tidak bisa lagi terus bertahan pada orientasi kekuasaan karena pertarungan elektoral ditentukan oleh seberapa jauh memenangkan hati pemilih milenial dan generasi Z (Gen Z).
Gabungan suara milenial dan generasi Z diprediksi mencapai 70 persen dari total suara pemilih. Disadari atau tidak, kelompok milenial dan generasi Z menjadi penentu kemenangan pertarungan kompetisi elektoral.
Hasil survei tim Riset dan Analitik menunjukkan tingginya antusiasme kaum milenial (lahir tahun 1981-1996) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012) untuk mengikuti Pemilihan kedepannya. Sebanyak 86,7 persen menyatakan bersedia untuk berpartisipasi pada pemilu. Sementara 10,7 persen masih menimbang dan 2,6 persen lainnya menolak mengikuti ajang elektoral tersebut (dirilis 8 April 2022).
Lebih dari separuh Gen Z punya harapan pada lembaga ini untuk menguatkan kinerja. Hasil ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak lagi mengikuti tren pemilih emosional dan transaksional.
Hasil survei Aksara Research and Consulting (dirilis 21 Desember 2022) menunjukkan kecenderungan yang sama. Antusiasme untuk berpartisipasi dalam Pemilihan kedepannya cukup tinggi.
Karena itu, pemilih dari kelompok milenial dan Gen Z pada dasarnya memiliki karakter yang berbeda dengan pemilih emosional ataupun pemilih transaksional. Meski tidak persis, mereka cenderung lebih dekat dengan pemilih rasional ketimbang pemilih emosional dan pemilih transaksional.
Karena itu, partai peserta pemilu dan kandidat tak bisa lagi mempertahankan politik kekuasaan dalam pertarungan kompetisi elektoral.
Karena itu, partai politik peserta pemilu serta kandidat tak bisa lagi mempertahankan politik kekuasaan dalam pertarungan kompetisi elektoral. Harus ada upaya serius untuk beralih ke politik gagasan yang mengedepankan agenda politik pembangunan ke depan yang spesifik dan terukur.
Parpol peserta pemilu dan kandidat tidak bisa lagi hanya menjawab pertanyaan "bagaimana memenangi pertarungan elektoral", tetapi juga harus mampu menjawab pertanyaan "bagaimana kekuasaan diawasi dan untuk siapa kekuasaan dikelola". Jawaban parpol dan kandidat akan menentukan ke mana arah pilihan kelompok milenial dan Gen Z akan berlabuh. Kehadiran kelompok milenial dan Gen Z sebagai pemilih terbesar merupakan tantangan yang tidak bisa ditolak.
Generasi milenial dan generasi Z memiliki karakter yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi milenial dan generasi Z mulai bisa melepaskan diri dari ikatan-ikatan primordial yang membelenggu pemilih emosional; mereka juga berani menolak politik uang yang menjadi basis pemilih transaksional. Mereka relatif lebih terbuka, kritis, dan inovatif sehingga parpol harus ambil ancang-ancang strategis untuk memenangkan hati generasi milenial dan generasi Z.
Saatnya parpol dan kandidat melakukan pembaruan radikal menghadapi perubahan ini. Jika tidak, mereka akan ditinggalkan generasi milenial dan generasi Z!
PENULIS: USMAN, M. Pd.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H