"Kalau begitu, tolong jemput Nurma di Bank BRI dekat pasar."
Suradin terhentak dan jengah sejenak, tapi tak ada alasan untuk menolaknya. "Baiklah Mi."
"Tolong segera Sur, takut keburu selesai urusannya di sana. Cuma tarik tunai uang pembayaran kedelai dari orang Makasar."
Suradin segera tancap gas.Â
Keempat mata tertuju pada keberangkatan Suradin, lalu beradu pandang seraya berurai senyum.
"Dari Makasar ada transferan dua puluh juta ke rekening aji," Umi Salimah menegaskan. Â Dua hari lalu Haji Murad mengirim dagangan kedelai kepada pelanggannya melalui pelabuhan Kota Bima.
***
Seperti biasa Bank BRI disesaki nasabah. Namun Suradin tidak mengalami kesulitan mendapati Nurma di antara banyak orang. Setelah hampir sepuluh menit Suradin menanti, Nurma pun keluar. Tak ada ketekejutan pada Nurma begitu melihat Suradin karena sejak awal sudah tahu bahwa ibunya akan menyuruh Suradin untuk menjemputnya.Â
Inilah pertemuan kali pertama sejak orang tua mereka serius menyepakati perjodohan. Suradin berusaha menunjukkan sikap berempati kendati sebenarnya perasaannya biasa saja. Tak ada rasa tak suka, juga tak ada ketertarikan sebagai lawan jenis. Namun  demi memenuhi harapan Mak Badriah, Suradin berusaha menepis egonya. Dia pun menyadari, jika tuhan berkenan, dalam waktu dekat Nurma akan menjadi jodohnya. Seperti kata orang, pikir Suradin, cinta bisa tumbuh belakangan.
"Sur, boleh aku minta antar ke rumah temanku di Rasabou?"
Suradin mengangguk.