"Saya gak punya telpon, udah saya kasih nomor telpon tempat kursus aja ya? Ntar kalo telpon suruh pas saya kursus aja"
"Boleh, boleh".
Maka surat itu pun saya balas kembali tapi kali ini saya minta Kang Wawan aja yang nulis. Terus pas dia nelpon ke tempat kursus juga saya minta Kang Wawan aja yang ngomong. Kang Wawan sepertinya senang membantu saya. Dia suka cekikikan di telpon pas ngobrol sama dia. Saya yang duduk didepannya bengong aja sampai giliran Kang Wawan menterjemahkan apa yang mereka bicarakan dengan dia. Kadang2 cekikikannya terhenti karena harus nanya saya, terus dia balik lagi ke telpon. Dia dengan sabar menterjemahkan percakapan dan semua surat dari dia yang datang sebulan sekali. Surat yang selalu diselipi beberapa lembar uang Yen, buat Kang Wawan katanya karena sudah membantu. Jadi kasarnya Kang Wawan ini jadi perantara bayaran kami.
Hingga masanya dia datang, satu tahun kemudian. Saya menyambutnya di bandara, ya dengan Kang Wawan. Kang Wawan lalu mengajak kami jalan-jalan beberapa hari berikutnya. Dia jadi pemandu kami. Saya dan dia menggantungkan nasib kami pada Kang Wawan ini. Suatu hari sepulang dari Lubang Buaya (Kang Wawan aneh deh, masa ngajak jalan2 turis ke Lubang Buaya? Itu kan biasanya tempat wisata buat anak2 yang mau belajar Sejarah terutama sejarah PKI), Kang Wawan bilang, kalau Take-san (Kependekan dari Takeshi, yang saya tahu orang Jepang namanya suka dipendekin begitu namanya dalam keseharian) esok harinya mau jalan2 sendiri aja. Saya bilang oke, nggak apa2.
Esok hari yang dia bilang mau main sendiri aja itu ternyata adalah hari dimana Take-san main langsung ke rumah saya sendirian. Saya sampai kaget karena nggak kebayang ini orang Tokyo, Jepang bisa nyungsep nyampe ke gunung pedalaman di Sukabumi. Saya bengong melihatnya ketika dia nyampai di depan rumah saya dengan ngos-ngosan keringat bercucuran ditemani dua orang anak kecil tetangga kami.
"Take-san, bagaimana sampai di sini?" saya buru2 memberikan air minum yang ditolaknya langsung. Eh, kok ditolak? Oh, baru sadar, saya kasih teh panas sama dia. Maklum di rumah nggak ada air dingin, orang nggak punya kulkas. Kan kebiasaan emang minum itu dimasak dulu airnya terus dikasih teh daun. Aduh, kasian ini orang, mau minum nggak ada air. Dia lalu mengeluarkan air mineral botol dari tas gendongnya. Alah coba dari tadi keluarinnya, Aa, kan saya gak cemas mikirin kamu yang kehausan.
"Saya cari-cari alamat kamu, dan syukurlah saya sampai" dia tersenyum sambil duduk di atas tikar. Kalau ingat itu saya jadi ingat lagu Ayu Ting Ting yang Alamat Palsu itu... wkwkwkwk. Untung saya ngasih alamat bener, kalo nggak, ini orang Jepang depan saya bakal jadi pencipta lagu pertama Alamat Palsu itu.
Setelah beristirahat dan dia merasa hilang capeknya, sebisa2 dia mencoba bercerita. Yang saya tangkap sih katanya dia itu maunya jalan2 tanpa ada Kang Wawan, karena Kang Wawan itu katanya menghalangi jalannya. Jalannya untuk main berdua aja sama saya katanya. Saya yang waktu itu biarpun sudah berusia 19 tahun, tapi kok nggak ngerti ya maksudnya kenapa mau jalan berdua aja, saya manggut2 aja.
Terus dia bilang, di Lubang Buaya itu, Kang Wawan mengenalkan dirinya sama adik perempuannya yang kebetulan kerja di Lubang Buaya itu. Itu terjadi ketika saya pipis dan masuk WC disana ceritanya. Oooh, saya oh oh oh aja. Ya, nggak ngerti inti ceritanya, waktu itu di pikiran saya ya emang kenapa gitu kalo ngenalin adik perempuannya sama dia?
Sewaktu saya oh oh oh aja begitu terus kepala saya ditimpuk sama Kakak saya yang kebetulan dia kuliah di jurusan Sastra Jepang. Dia bilang, saya ini oon.
"Kamu oh oh oh aja, maksudnya dia itu guru bahasa Jepangmu itu mau ngambil dia dari kamu dan mau ngasihin sama adiknya tapi untung dianya nggak kena jebakan, dia lurus makanya dia sampai disini nemuin kamu sendirian" gerutu dia kesal sama saya.