Mohon tunggu...
🍀 Usi Saba 🍀
🍀 Usi Saba 🍀 Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

🎀 Menolak Tenar 🎀

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putus Kasih dengan Pria Jepang

27 Februari 2016   08:33 Diperbarui: 27 Februari 2016   08:48 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika itu, tahun 1996 ada study tour dari sekolah ke Yogyakarta dimana salah satu tujuannya adalah Candi Borobudur. Waktu itu saya masih SMP. Pas berada di area Candi Borobudur, saya dan teman2 yang anak gunung heboh banget melihat banyak turis dari mancanegara disana. Ya, maklum di kota kecil kami tak pernah melihat satu pun hidung bule atau sipitnya mata orang Jepang. Pas di Borobudur? Wuiiih berlimpah banget itu manusia2 berkulit putih berhidung mancung sama manusia2 mungil bermata kecil itu. Maka seperti anak2 udik lainnya, kami pun sibuk minta foto2 dengan mereka dengan bahasa Inggris seadanya. Saya yakin mereka mau melakukan foto bersama itu karena mereka memahami bahasa isyarat kami, bukan karena faham apa yang kami minta. Whatever itu, cekrek-cekreklah kami beberapa kali dengan para turis yang berbeda-beda.

Nah, ada yang menarik. Salah satu dari turis itu adalah pria muda Jepang yang ngomplot sama keluarganya kayaknya. Kami pun minta difoto sama mereka. Dan kami berbaris melingkar. Posisi saya waktu itu kebetulan berada didepan si pemuda itu, terus pas 1-2-3 trek foto diambil sama salah satu kawan kami, si pemuda itu memegangi pundak saya. Saya waktu itu nggak curiga sih, wong anak SMP masih bau kencur sama bau bawang daun, ya nggak nyangka apa2. Di akhir sesi foto2, kami bersalaman semua dan mereka membungkuk2 begitu badannya bilang terima kasih aka arigatou gozaimasu katanya. Nggak ngerti waktu itu tapi bertahun2 kemudian setelah kursus bahasa Jepang baru saya ngerti.

Nah, habis salaman semua (ini habis difoto pake salaman segala ya, kayak habis menandatangani tender aja), si pemuda ini memberikan sebuah buku tulis kecil sama saya. Kayak notes begitu. Saya senang2 aja dan menerimanya. Saya simpan dan kami pun bubar. Kelompok keluarga Jepang ini kemana, kami kemana, mengikuti acara masing2.

Buku dari si pemuda ini saya simpan dan baru dibuka lagi ketika saya memasuki usia SMA, ketika saya sama seorang teman mengambil kursus bahasa Jepang. Saya bilang eh ingat dulu difoto sama orang Jepang, mau nulis ah di notes pemberiannya. Notes itu gak pernah dibuka sama sekali dan ketika saya buka2 waktu itu saya baru tahu ada nama dan sebuah alamat lengkap. Wah saya senang banget.  Kebetulan saat itu saya senang bersahabat pena.

Maka saya pun menulis surat kepadanya yang kalau diingat sekarang aduh malunya, pake bahasa Jepang acak-acakan, hahaha. Tapi untung saat itu gak ingat malu. Surat itu saya sertakan pula versi bahasa Indonesianya, plus foto saya waktu di Borobudur bersama keluarganya dulu itu. Intinya sih mau nanya, masih ingat nggak sama foto itu?.  Surat pun dikirim. Dua bulan kemudian saya mendapatkan balasan. Aduh senenngnya. Nah, parahnya dia balas pake bahasa Jepang dengan huruf keriting Kanji yang campur sama Hiragana dan Katakana. Wah, saya nggak ngerti. Biarpun saya waktu itu lagi kursus bahasa Jepang, tapi dikasih tulisan ikal begitu ya nggak ngerti banget.

Saya bawalah sama guru bahasa Jepang di tempat kursus. Kebetulan dia itu eks penerima beasiswa di Jepang yang tinggal di Jepang 5 tahun jadi saya percayalah dia bakal ngerti apa yang ditulis si Takeshi-san ini. Oh iya, nama pemuda ini Takeshi ya, lupa tadi nggak bilang kalo di notesnya itu tertulis nama dia.  Guru bahasa Jepang saya, Kang Wawan tertawa membaca surat itu. Saya pun tertawa. Nggak tahu dia tertawa karena apa, tapi saya tertawa karena nggak ngerti.

"Dia bilang dia mau main kesini lagi tahun depan, dan berharap bisa bertemu sama kamu katanya"

"Panjang begitu cuma itu isinya?" saya heran karena perasaan itu surat ada satu halaman penuh deh.

"Ya, intinya begitu cuma yang lain-lainnya dia itu memperkenalkan diri lebih detail. Katanya dia masih ingat betul sama kamu dan dia senang sekali dapat surat dari kamu yang katanya sebetulnya dinanti-nanti dari 3 tahun lalu, sejak kalian ketemu itu"

"Hah? Dinanti2? Memangnya dia juga suka sahabat penaan juga?"

"Ya, nggak tahu. Pokoknya dia senang aja. Oh iya, dia minta nomor telpon kamu  biar gampang menghubungi katanya"

"Saya gak punya telpon, udah saya kasih nomor telpon tempat kursus aja ya? Ntar kalo telpon suruh pas saya kursus aja"

"Boleh, boleh".

Maka surat itu pun saya balas kembali tapi kali ini saya minta Kang Wawan aja yang nulis. Terus pas dia nelpon ke tempat kursus juga saya minta Kang Wawan aja yang ngomong.  Kang Wawan sepertinya senang membantu saya. Dia suka cekikikan di telpon pas ngobrol sama dia. Saya yang duduk didepannya bengong aja sampai giliran Kang Wawan menterjemahkan apa yang mereka bicarakan dengan dia. Kadang2 cekikikannya terhenti karena harus nanya saya, terus dia balik lagi ke telpon. Dia dengan sabar menterjemahkan percakapan dan semua surat dari dia yang datang sebulan sekali. Surat yang selalu diselipi beberapa lembar uang Yen, buat Kang Wawan katanya karena sudah membantu. Jadi kasarnya Kang Wawan ini jadi perantara bayaran kami.

Hingga masanya dia datang, satu tahun kemudian. Saya menyambutnya di bandara, ya dengan Kang Wawan. Kang Wawan lalu mengajak kami jalan-jalan beberapa hari berikutnya. Dia jadi pemandu kami. Saya dan dia menggantungkan nasib kami pada Kang Wawan ini. Suatu hari sepulang  dari Lubang Buaya (Kang Wawan aneh deh, masa ngajak jalan2 turis ke Lubang Buaya? Itu kan biasanya tempat wisata buat anak2 yang mau belajar Sejarah terutama sejarah PKI), Kang Wawan bilang, kalau Take-san (Kependekan dari Takeshi, yang saya tahu orang Jepang namanya suka dipendekin begitu namanya dalam keseharian) esok harinya mau jalan2 sendiri aja. Saya bilang oke, nggak apa2. 

Esok hari yang dia bilang mau main sendiri aja itu ternyata adalah hari dimana Take-san main langsung ke rumah saya sendirian. Saya sampai kaget karena nggak kebayang ini orang Tokyo, Jepang bisa nyungsep nyampe ke gunung pedalaman di Sukabumi. Saya bengong melihatnya ketika dia nyampai di depan rumah saya dengan ngos-ngosan keringat bercucuran ditemani dua orang anak kecil tetangga kami.

"Take-san, bagaimana sampai di sini?" saya buru2 memberikan air minum yang ditolaknya langsung. Eh, kok ditolak? Oh, baru sadar, saya kasih teh panas sama dia. Maklum di rumah nggak ada air dingin, orang nggak punya kulkas. Kan kebiasaan emang minum itu dimasak dulu airnya terus dikasih teh daun. Aduh, kasian ini orang, mau minum nggak ada air. Dia lalu mengeluarkan air mineral botol dari tas gendongnya. Alah coba dari tadi keluarinnya, Aa, kan saya gak cemas mikirin kamu yang kehausan.

"Saya cari-cari alamat kamu, dan syukurlah saya sampai" dia tersenyum sambil duduk di atas tikar. Kalau ingat itu saya jadi ingat lagu Ayu Ting Ting yang Alamat Palsu itu... wkwkwkwk. Untung saya ngasih alamat bener, kalo nggak, ini orang Jepang depan saya bakal jadi pencipta lagu pertama Alamat Palsu itu.

Setelah beristirahat dan dia merasa hilang capeknya, sebisa2 dia mencoba bercerita. Yang saya tangkap sih katanya dia itu maunya jalan2 tanpa ada Kang Wawan, karena Kang Wawan itu katanya menghalangi jalannya.  Jalannya untuk main berdua aja sama saya katanya.  Saya yang waktu itu biarpun sudah berusia 19 tahun, tapi kok nggak ngerti ya maksudnya kenapa mau jalan berdua aja, saya manggut2 aja.

 Terus dia bilang, di Lubang Buaya itu, Kang Wawan mengenalkan dirinya sama adik perempuannya yang kebetulan kerja di Lubang Buaya itu. Itu terjadi ketika saya pipis dan masuk WC disana ceritanya. Oooh, saya oh oh oh aja. Ya, nggak ngerti inti ceritanya, waktu itu di pikiran saya ya emang kenapa gitu kalo ngenalin adik perempuannya sama dia?

Sewaktu saya oh oh oh aja begitu terus kepala saya ditimpuk sama Kakak saya yang kebetulan dia kuliah di jurusan Sastra Jepang. Dia bilang, saya ini oon.

"Kamu oh oh oh aja, maksudnya dia itu guru bahasa Jepangmu itu mau ngambil dia dari kamu dan mau ngasihin sama adiknya tapi untung dianya nggak kena jebakan, dia lurus makanya dia sampai disini nemuin kamu sendirian" gerutu dia kesal sama saya.

"Lha memangnya kenapa kalau begitu?"

Tiba2 Kakak saya itu melempar kacang kapri di piring didepan kami ke muka saya, ih gak sopan banget padahal ada tamu itu kok main lempar2 kacang kapri "Dia kayaknya suka kamu, oon. Ngerti?"

Saya tertawa mendengarnya. Suka? Masa iya? Dari surat2nya, dari acara jalan2 selama ini, dia gak pernah bilang apa kok.

"Ah kamumah salah kali, masa dia suka aku?" tanya saya ragu.

"Lha kamu ini, dia udah berbusa2 ngomong kesana kemari, udah jalan ke kanan ke kiri sampe dibawa nyasar ke Lubang Buaya terus sekarang ngos-ngosan begitu nyampe sini, masih nggak ngerti juga?. Coba mana surat-suratnya itu bawa sini. Biar aku yang terjemahin. Gue curiga itu si Wawan nggak nerjemahin dengan bener. Begini nih kalo kamu terlalu percaya sama orang dibanding kakakmu sendiri"

Saya lalu mengambil surat2 dari Take-san selama ini dan memberikannya sama Kakak saya yang terus terang saya meragukan kemampuan Bahasa Jepangnya karena dia gak ada wajah2 pinternya gitu. Dulu ngambil jurusan Bahasa Jepang aja cuma karena dia suka Tamagochi, itu mainan yang katanya kalo laper bisa minta makan. Kan aneh ada orang punya motivasi belajar bahasa hanya karena mainan begitu.

Ceritanya setelah saya mendapatkan pengertian tentang situasi semuanya, saya baru mengerti kalau Take-san ini suka saya. Hahaha.... saya jadi malu tapi kami pada akhirnya memutuskan untuk berpisah juga. Kenapa? Karena kami berbeda keyakinan. Ya, sesimpel itu saja. Cerita kami berakhir di perbedaan keyakinan. Saya yakin dia salah menyukai saya (saking mindernya saya sama wajah sendiri, sementara dia yakin kalau dia mencintai saya. Bukan keyakinan kepercayaan atau agama kami yang berbeda karena kami sama2 muslim, dia malah sudah Haji 10 kali. Hahaha... enak banget ini bikin cerita. Udah ah segitu aja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun