Ketika itu, tahun 1996 ada study tour dari sekolah ke Yogyakarta dimana salah satu tujuannya adalah Candi Borobudur. Waktu itu saya masih SMP. Pas berada di area Candi Borobudur, saya dan teman2 yang anak gunung heboh banget melihat banyak turis dari mancanegara disana. Ya, maklum di kota kecil kami tak pernah melihat satu pun hidung bule atau sipitnya mata orang Jepang. Pas di Borobudur? Wuiiih berlimpah banget itu manusia2 berkulit putih berhidung mancung sama manusia2 mungil bermata kecil itu. Maka seperti anak2 udik lainnya, kami pun sibuk minta foto2 dengan mereka dengan bahasa Inggris seadanya. Saya yakin mereka mau melakukan foto bersama itu karena mereka memahami bahasa isyarat kami, bukan karena faham apa yang kami minta. Whatever itu, cekrek-cekreklah kami beberapa kali dengan para turis yang berbeda-beda.
Nah, ada yang menarik. Salah satu dari turis itu adalah pria muda Jepang yang ngomplot sama keluarganya kayaknya. Kami pun minta difoto sama mereka. Dan kami berbaris melingkar. Posisi saya waktu itu kebetulan berada didepan si pemuda itu, terus pas 1-2-3 trek foto diambil sama salah satu kawan kami, si pemuda itu memegangi pundak saya. Saya waktu itu nggak curiga sih, wong anak SMP masih bau kencur sama bau bawang daun, ya nggak nyangka apa2. Di akhir sesi foto2, kami bersalaman semua dan mereka membungkuk2 begitu badannya bilang terima kasih aka arigatou gozaimasu katanya. Nggak ngerti waktu itu tapi bertahun2 kemudian setelah kursus bahasa Jepang baru saya ngerti.
Nah, habis salaman semua (ini habis difoto pake salaman segala ya, kayak habis menandatangani tender aja), si pemuda ini memberikan sebuah buku tulis kecil sama saya. Kayak notes begitu. Saya senang2 aja dan menerimanya. Saya simpan dan kami pun bubar. Kelompok keluarga Jepang ini kemana, kami kemana, mengikuti acara masing2.
Buku dari si pemuda ini saya simpan dan baru dibuka lagi ketika saya memasuki usia SMA, ketika saya sama seorang teman mengambil kursus bahasa Jepang. Saya bilang eh ingat dulu difoto sama orang Jepang, mau nulis ah di notes pemberiannya. Notes itu gak pernah dibuka sama sekali dan ketika saya buka2 waktu itu saya baru tahu ada nama dan sebuah alamat lengkap. Wah saya senang banget. Kebetulan saat itu saya senang bersahabat pena.
Maka saya pun menulis surat kepadanya yang kalau diingat sekarang aduh malunya, pake bahasa Jepang acak-acakan, hahaha. Tapi untung saat itu gak ingat malu. Surat itu saya sertakan pula versi bahasa Indonesianya, plus foto saya waktu di Borobudur bersama keluarganya dulu itu. Intinya sih mau nanya, masih ingat nggak sama foto itu?. Surat pun dikirim. Dua bulan kemudian saya mendapatkan balasan. Aduh senenngnya. Nah, parahnya dia balas pake bahasa Jepang dengan huruf keriting Kanji yang campur sama Hiragana dan Katakana. Wah, saya nggak ngerti. Biarpun saya waktu itu lagi kursus bahasa Jepang, tapi dikasih tulisan ikal begitu ya nggak ngerti banget.
Saya bawalah sama guru bahasa Jepang di tempat kursus. Kebetulan dia itu eks penerima beasiswa di Jepang yang tinggal di Jepang 5 tahun jadi saya percayalah dia bakal ngerti apa yang ditulis si Takeshi-san ini. Oh iya, nama pemuda ini Takeshi ya, lupa tadi nggak bilang kalo di notesnya itu tertulis nama dia. Guru bahasa Jepang saya, Kang Wawan tertawa membaca surat itu. Saya pun tertawa. Nggak tahu dia tertawa karena apa, tapi saya tertawa karena nggak ngerti.
"Dia bilang dia mau main kesini lagi tahun depan, dan berharap bisa bertemu sama kamu katanya"
"Panjang begitu cuma itu isinya?" saya heran karena perasaan itu surat ada satu halaman penuh deh.
"Ya, intinya begitu cuma yang lain-lainnya dia itu memperkenalkan diri lebih detail. Katanya dia masih ingat betul sama kamu dan dia senang sekali dapat surat dari kamu yang katanya sebetulnya dinanti-nanti dari 3 tahun lalu, sejak kalian ketemu itu"
"Hah? Dinanti2? Memangnya dia juga suka sahabat penaan juga?"
"Ya, nggak tahu. Pokoknya dia senang aja. Oh iya, dia minta nomor telpon kamu biar gampang menghubungi katanya"