Pertanian merupakan andalan mayoritas wilayah di Indonesia terhadap PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto). Tetapi bila dicermati, sayangnya tidak menjadi fokus pemerintahan kita dari periode ke periode. Termasuk periode Jokowi-JK sebagaimana tertuang dalam Nawacitanya.
Anggaran Kementerian Pertanian pada pemerintahan Jokowi-JK tidak ekuivalen dengan kebijakan yang mengarah pada Indonesia menjadi lumbung pangan dunia. Masih terjadinya importasi bahan pangan adalah salah satu indikator bahwa cita-cita itu hanya isapan jempol belaka.
Memang menuju swasembada itu tidak instan, merubah mainset dari ketahanan ke kedaulatan hingga swasembada pangan sejatinya dimulai dari regulasi yang dilahirkan. UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan misalnya, ia belum bisa merubah mainset dari ketahanan pangan menjadi swasembada pangan. Begitupun UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, tidak clear bertujuan peningkatan tarap hidup dan kesejahteraan petani.
Penulis kira, tak sedikit problem mendasar yang dialami petani kita: pertama, soal lahan. UU 41 TH 2009 dan empat PP turunannya tidak berjalan baik, akibatnya: petani tidak memiliki akses pemanfaatan lahan, banyak lahan terlantar (HGU), banyak lahan pertanian digunakan untuk non pertanian.
Kedua, soal tata niaga. Pasar dikuasai pedagang dan profit marjinnya lebih banyak dinikmati pedagang. Â Setiap tahun masyarakat kita tak jarang dihantui lonjakan harga-harga bahan pangan pokok, termasuk daging. Situasi itu, hampir dipastikan tidak dinikmati oleh para petani, mereka tetap saja "kere".
Ketiga, soal pembiayaan. Alokasi KUR hanya 15%, lebih kecil daripada sektor perdagangan yang melebihi 68%. Sementara akses petani terhadap pembiayaan masih sangat rendah. Bank pemerintah pun tak berani berikan akses pembiayaan bagi petani, aneh kan.
Keempat, soal infrastruktur. Anggaran pertanian kita masih berorientasi pada produksi, sementara pasca panen tidak dipikirkan. Akibatnya, infrastruktur pasca panen masih relatif terbatas dan pembangunan atau perbaikan jalan dan transportasi ke pasar relatif kecil.
Kelima, soal sumberdaya manusia. Sudah menjadi rahasia umum bila pemerintah belum terlalu memperhatikan aspek peningkatan sumberdaya manusia petani. Faktanya, hak peningkatan kapasitas petani belum merata di seluruh wilayah NKRI.
Keenam, soal perlindungan petani. Musim hujan maupun musim paceklik petani seringkali dihadapkan pada kondisi gagal panen akibat bencana banjir ataupun kekeringan. Sementara, jaminan asuransi terhadap resiko pertanian masih terbatas.
Ketujuh, pemanfaatan teknologi dan sistem informasi pertanian kita belum menjadi salah satu fokus pemerintah. Padahal, Singapura saja yang tidak memiliki lahan, ia mampu mengkonversi industri jasa bidang pertanian dan pangan menjadi sumber pendapatan utama negara.
Kedelapan, soal produktivitas pertanian. Distribusi produktivitas pertanian kita tidak diurus mulai dari hulu hingga hilirnya sehinga tidak merata. Kedelapan problem dasar inilah yang telah memberi akibat terhadap buntunya regenasi petani kita.